Luasnya Pemikiran Siti Walidah
Suara Dakwah - Siti Walidah, seorang pahlawan nasional yang lahir di Yogyakarta tahun 1872. Namanya cukup asing di telinga, namun jika disebutkan ‘Nyai Ahmad Dahlan’ maka lebih banyak orang yang mengenalnya. Begitulah sapaan Siti Walidah, Nyai Ahmad Dahlan.
Dalam masa pertumbuhannya Nyai Ahmad Dahlan tidak pernah mengenyam pendidikan formal, pendidikan yang ia dapatkan merupakan pendidikan agama yang berasal dari sang ayah yang merupakan ulama yang disegani masyarakat, K.H Muhammad Fadli. Pada waktu itu, sekitar tahun 1870-an, anak perempuan harus tinggal didalam rumah sampai saatnya untuk menikah. Budaya kala itu tidak lantas menyurutkan semangat Nyai Ahmad Dahlan dalam memberikan pencerdasan kepada kaum perempuan. Sebagai seorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, Nyai Ahmad Dahlan memiliki pemikiran yang luas. Ia mengharapkan kaum perempuan mampu ambil bagian dalam pergerakan nasional yang waktu itu Indonesia masih berada dalam masa penjajahan. Tentu saja peran yang dimaksud haruslah sesuai dengan syariat Islam.
Perjuangan dan keterlibatannya dimulai ketika Nyai Ahmad Dahlan menikah dengan K.H Ahmad Dahlan yang juga pendiri Muhamadiyah. Ia merintis kelompok pengajian kaum perempuan ‘Sopo Tresno’ yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘Sapa Cinta’. Pengajian yang diisi bergantian oleh Nyai dan K.H Ahmad Dahlan tersebut mengupas ayat-ayat Al-Quran dan Hadist yang menerangkan hak dan kewajiban perempuan. Pondasi dasar yang diajarkan adalah agama. Kaum perempuan kala itu diberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban seorang muslimah. Mimpi besar Nyai Ahmad Dahlan adalah kaum perempuan untuk menyadari kewajibannya sebagai manusia, isteri, hamba Allah dan warga negara.
Akhirnya tahun 1918 ‘Sopo Tresno’ menjadi Aisyiyah yang merupakan organisasi perempuan bagian dari Muhamadiyah. Di Aisyiyah inilah Nyai Ahmad Dahlan mengajarkan agama, kemasyarakatan sampai ditanamkannya rasa kebangsaan untuk berperan aktif dalam pergerakan nasional. Aktivitasnya dalam menjalankan Aisyiyah yang merupakan organisasi kewanitaan Muhamadiyah membuat Nyai Ahmad Dahlan disebut-sebut sebagai tokoh gerakan perempuan Muslim Indonesia. Hal ini tidak mengherankan karena di usianya yang 62 tahun kala itu, Nyai Ahmad Dahlan masih memimpin Kongres Aisyiyah ke-23. Nyai Ahmad Dahlan tidak hanya menunjukkan pemikiran yang luas dan perjuangan tanpa henti dari seorang perempuan, tetapi juga membuktikan bahwa semangat Islam mampu mendorong kemajuan kaum perempuan.
Luasnya pemikiran Nyai Ahmad Dahlan mengenai pencerdasan kaum perempuan tidak hanya pemikirannya saja tetapi didukung oleh pemikiran suaminya.
“Jika engkau meminta izin tidak memenuhi tugas tersebut karena alasan tidak mampu, maka beruntunglah engkau! Aku akan mengajarkan kepadamu bagaimana memenuhi tugas tersebut. Tapi, jika engkau meminta izin tidak memenuhi tugas tersebut hanya karena sekedar enggan, maka tiadalah orang yang bisa mengatasi seseorang yang memang tidak mau memenuhi tugas. Janganlah persoalan rumah tangga dijadikan halangan memenuhi tugas kemasyarakatan!” –K.H Ahmad Dahlan- (Listiya Kurnia)