Aktivis Kah Kita
Terkadang sering kali banyak orang, khususnya mereka yang tengah aktif dalam suatu organisasi ataupun sebuah perkumpulan dengan terang-terang dan bangga menyatakan diri sebagai seorang “aktivis”. Memiliki label sebagai seorang aktivis sungguh merupakan salah satu primadona dan sesuatu yang hebat dalam pandangan mereka. Padahal jika ditilik langsung dari segi kehidupan mereka, sungguh mereka amat jauh dari kondisi ideal makna seorang aktivis.
Sering kali terjumpai pribadi-pribadi yang menyatakan diri sebagai sorang aktivis, baik aktivis dakwah, aktivis pergerakan, aktivis lingkungan, aktivis HAM, aktivis BEM, aktivis kampus, aktivis akademisi, dan lain-lain. Tidak sedikit dari mereka, ada yang diselimuti oleh kabut pragmatis dan mencari kenikmatan dunia serta tidak murni niatan mereka hadir dalam jalan juang ini untuk ikhlas berkorban membantu saudara-saudara kita yang lemah, seperti mencari posisi atau kekuasaan, mencari ketenaran atau agar dapat dikenal oleh banyak orang, dan bahkan ada yang sampai mencari penghidupan melalui label ke-“aktivis”-annya tersebut.
Sungguh parah dirasa realitas tersebut ternyata tidak hanya pejabat-pejabat di kalagan elit pemerintahan pusat dan daerah saja yang menyatakan diri “membela dan mengutamakan kepentingan rakyat atau orang banyak”, tetapi juga para orang-orang biasa tidak terlepas para mahasiswa yang hanya garang ketika perutnya lapar dan hidupnya sengsara namun berbah menjadi lembut, ramah, bersahabat, serta diam menyuarakan kepentingan orang banyak (rakyat) ketika sudah diberi khusus beberapa miliyar rupiah oleh seseorang demi memuluskan kepentingan. Inilah potret realitas negeri ini, mereka yang muda seperti mahasiswa bukannya idealis sekuat karang tapi justru lemah selemah kertas basah berdiri bahkan tidak kalah hebat dengan orang-orang tua terdahulu dalam urusan pragmatis.
Zaman sepertinya telah membuat kaum muda negeri ini khususnya mahasiswa yang dulunya sering beridealis tinggi mengangkasa bak burung garuda yang terbang lepas, kini idealis itu hanya mampu terbang rendah karena garuda kini telah menjadi emprit. Dulu familiar rasanya paradigma seperti, ”yang muda yang mengubah dunia”, namun kini di negeri ini paradigma tersebut hanyalah bermakna sampah dan menjadi paradigma seperti, ”yang muda yang menikmati dunia”.
Sungguh lucu dan miris akan kondisi kaum muda negeri ini khususnya mahasiswa yang kini justru tengah terkungkung dengan paradigma seperti di atas dan seperti sudah hal biasa budaya marah, hedonis, vandalis, dan anarkis. Kaum muda negeri ini khususnya mahasiswa, kini seperti telah dididik untuk dapat melestarikan dan mengembangkan budaya marah agar bangsa ini menjadi bangsa pemarah di masa depan, jika tidak percaya? Tenggoklah berita di surat kabar setiap hari, perpecahan, permusuhan, konflik horizontal antar umat beragama, dan bahkan tergambar jelas budaya bangsa pemarah itu dengan realita mahasiswa yang tauran saling serang antar berbagai kampus bahkan dalam satu kampus namun hanya berbeda fakultas ataupun jurusan, adalah hal biasa terpampang dalam tajuk rencana.
Kembali kepada label ke-“aktivis”-an seperti yang dibahas di atas, jadi teringat perkataan sederhana seorang kakak tingkat, ketika itu pada suatu masjid saat malam hari.Dengan santai beliau berkata yang intinya menyindir makanya kalau aktif yang jelas biar dapet “posisi”. Kemudian langsung saja saya tepis dengan penyataan bahwa saya berorganisasi tidak untuk mencari posisi tapi saya berorganisasi untuk beramal. Mendengar pernyataan saya beliau seperti terkekeh dan tersenyum sumir sambil terus mencoba menyindir.
Ada pula cerita lucu lainnya seperti, beberapa aktivis dakwah yang kini mulai rajin ngajinya, rajin memperbanyak hafalan Qur’annya, mulai rajin mentoring, dan ibadahnya, agar hanya dapat mengisi penuh lembah mutaba’ah sehingga nantinya dapat diputuskan oleh musyawarah untuk terpilih menjadi ketua BEM atau ketua-ketua lembaga. Lain lagi cerita para aktivis pergerakan gadungan yang ingin agar dapat selalu tampil orasi di atas mobil sound ketika aksi, namun ketika aksi itu keos dan barisan militer telah meradang, para aktivis itu yang tadi sebelumnya menggebu-gebu ingin tampil orasi agar terlihat seperti pemimpin besar revolusi, justru mereka hilang entah kemana. Sungguh payah orang-orang seperti itu, ada lagi para ketua-ketua BEM atau presiden mahasiswa mungkin karena merasa telah menjadi berjasa untuk kampusnya dan bagi lembaga yang dipimpinnya, maka mereka menjadi arogan dan merasa seperti manusia langit yang selalu benar.
Dari cerita singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang tidak sedikit orang-orang, kaum muda negeri ini, khususnya mahasiswa yang kini tengah aktif dalam perkumpulan, dalam dakwah, dalam pergerakan, dalam organisasi masyarakat dan kampus, serta bahkan dalam partai politik mungkin. Mereka telah mengklaim dirinya sebagai “aktivis” dan mengklaim bahwa dirinya telah berjasa, serta mengklaim dirinya telah memberi banyak bagi semua. Padahal apa yang mereka kerjakan hanyalah merupakan bentuk kejahatan dan penyakit dalam bentuk yang lain dan kasat mata.
Terakhir, tentunya kita semua sepakat bahwa masa depan bangsa dan negara ini sangat bergantung pada tangan-tangan pemudanya, terlebih khususnya para mahasiswa. Hadirnya secuplik tulisan ini tidak lain hanyalah bertujuan agar semakin bertambah penyadaran orang-orang yang mengaku dirinya sebagai “aktivis” khususnya pemuda dan mahasiswa negeri ini untuk kembali dapat memurnikan niat keikhlasan mereka hadir dalam jalan juang ini, kembali dapat memurnikan tujuan mereka hadir dalam jalan juang ini. Benar-benar ikhlas dan teguh tanpa bertujuan untuk posisi, kekuasaan, uang, wanita, ketenaran, dan bahkan penghidupan.
Dan semoga akan semakin berkurang pemuda dan mahasiswa negeri ini yang masih memiliki paradigma bahwa “yang muda yang menikmati dunia”, sehingga semakin banyak mereka pemuda dan mahsiswa negeri ini yang kembali memekik paradigma “yang muda yang mengubah dunia”. Kemudian mudah-mudahan kita semua tidak termasuk seperti para“aktivis-aktivis” dan pemuda penikmat dunia di atas yang sengaja bekerja hanya untuk meninggikan arus pragmatis bukan justru meninggikan idealis yang semakin pudar.
Cukuplah orang lain, masyarakat, dan lingkungan kita yang menyatakan kita sebagai seorang aktivis, bukan diri kita sendiri yang dengan bangga menyatakan diri sebagai seorang aktivis, agar setiap label “aktivis” benar adanya bagi mereka yang benar-benar berkontribusi dengan niatan ikhlas membantu sesama dan mengentaskan masa-masa jahiliah negeri ini, Indonesia Raya. Periksa kembali niatan kita semua...!