[Cembung] Muhammad Daffa Al-Fatih (Bag.1)
Sejenak suara hening-menakutkan itu menghantui tubuhku dan Irul, tak ada kehidupan di rumah kosong ini, pikirku. Namun, anak jalanan tadi yang menyuruhku menunggu bila ingin bertemu dengannya. Pikiran buruk-vakumku mendominasi, tak banyak yang ku kerjakan. Hanya duduk dan merenung di kursi tua ini. Hal yang terburuk telah kubayangkan. Rasa takut ini semakin menjadikanku lebih diam. Kulihat wajah Irul, ternyata dia lebih takut dariku.
Aku pun segera tersentak, baru kali ini kulihat Irul sekaget itu. Siapa juga yang mau lama-lama di tempat yang penuh dengan keganasan ini. Tempat yang tak ada sedikit pun tata krama, etika, dan norma. Yang ada hanyalah hukum rimba purba yang kini Bang Mamat pemimpinnya, yang dilantik oleh alam dalam habitat stasiun.
Yaa, Bang Mamat. kepala preman Stasiun Bekasi-Kota. Tak layak disebut pengamen, copet, pedagang asongan, bocah gaul kreta, bahkan penumpang tetap jika tak mengenal sosok manusia yang satu ini. Telinga yang penuh ditanami berbagai macam jenis anting. Kaos oblong hitam yang sudah tak jelas lagi sablonannya. Ikat pinggang berkepala tengkorak yang seakan membuat aura premannya semakin menakutkan. Mungkin jika aku jadi ibunya, bakalanku balikin lagi dia keperutku. Mukanya membuatku emosi, ujar Irul saat bertolak dari rumah kosong itu, tentunya diucapkan lirih.
“Kita mau minta tolong Bang”, jelasku yang terdengar tak jelas.
“Minta tolong apaan. Gue gak ngerti!”, bentaknya sambil menggebrak bangku di hadapan kami.
“Gini Bang, kita ini sebenarnya mau ngadain penelitian. Nah, kita mau minta izin ma abang, mau ngamen Bang!”, jelasku santai, yang sepertinya jelas bagi telinga Bang Mamat.
“Ngamen? Loe semuakan orang kaya! Mau ngapain ngamen?”, tanyanya dengan lidah betawi yang khas.
“Yee….kaya mah kelihatannye Bang!”, cletuk Irul keceplosan, yang sebenarnya sudah takut dari tadi.
“Kite ngamen tuh, biar irit. nggak bayar. Coba kalau kite jadi penumpang biasa, mondar-mandir stasiun tiap hari. Penelitian belom, dah tekor duluan kite Bang!”, sambungku, Irul menutup mulutnya lebih rapat.
“Iye ye….. pinter juga lue”, ujarnya ringan.
“Ya udah. lu pade besok ke sini lagi! Ntar gue atur semua”
“Udah! Mau ngapain lagi!”, bentaknya keras, mengusir.
“Ya….iya, Bang!”, jawabku refleks.
“ Rul, cabut!”, ajakku lirih.
Aku pun segera tersentak, baru kali ini kulihat Irul sekaget itu. Siapa juga yang mau lama-lama di tempat yang penuh dengan keganasan ini. Tempat yang tak ada sedikit pun tata krama, etika, dan norma. Yang ada hanyalah hukum rimba purba yang kini Bang Mamat pemimpinnya, yang dilantik oleh alam dalam habitat stasiun.
Yaa, Bang Mamat. kepala preman Stasiun Bekasi-Kota. Tak layak disebut pengamen, copet, pedagang asongan, bocah gaul kreta, bahkan penumpang tetap jika tak mengenal sosok manusia yang satu ini. Telinga yang penuh ditanami berbagai macam jenis anting. Kaos oblong hitam yang sudah tak jelas lagi sablonannya. Ikat pinggang berkepala tengkorak yang seakan membuat aura premannya semakin menakutkan. Mungkin jika aku jadi ibunya, bakalanku balikin lagi dia keperutku. Mukanya membuatku emosi, ujar Irul saat bertolak dari rumah kosong itu, tentunya diucapkan lirih.