Pelangi Tak Berwarna [Bag.2](Habis)
Tujuh hari bukanlah waktu yang singkat untuk pengangguran macam Urip. Persediaan beras, yang dibawanya dari kampung saat mudik kemarin, sudah mulai menipis. Setiap pagi sarapan koran dengan menu halaman lowongan kerja. Diejanya satu per satu tiap kolom. Dia harus mendapatkan penghasilan sebelum perutnya berkokok lebih kencang.
“Masih cari-cari, Rip?”, tanya Jono. Karjono memang teman kost dan satu kampung dengannya, bahkan dulu satu tempat kerja.
“Ada yang cocok nggak?”, sambung dia lagi.
“Nggak ada, Jo!”, singkatnya.
“Kamu sendiri, pake sok-sokan keluar pabrik segala. Sudah, mending kamu temui Pak Suma, kepala gudang. Kamu minta balik saja ke pabrik!”, sarannya. Urip masih menyisir barisan-barisan huruf di depannya.
“Nggak mungkin Jo. Nggak mingkin. Kamu tahu. Saat ini banyak para perantau anyaran yang datang ke Jakarta. Pasti sudah penuh lowongan itu.”, jelasnya kecewa.
“Iya juga ya. Tiap tahun semakin menbludak saja kota ini. jutaan perantau meletakkan mimpinya di sini. Mereka berduyun-duyun mencoba menjajakan keahlian, kemampuan, bakat, tekad, dan nekat!”, komentar Jono berapi-api.
Dia memang berbakat mengolah kata. Seharusnya dia tak jadi karyawan di toko sandal, tetapi jualan sandal itu sendiri di tepi jalan. Batin Urip dalam hati.
“Salah kamu sendiri kan, enak-enak dapat tempat. Eh, malah keluar. Udah hapus aja impianmu itu, Rip. Ini Jakarta, Rip. Segalanya bisa berubah!”, nasihatnya kali ini benar-benar serius.
“Yang bilang ini Kalimantan siapa!”, dia beranjak dari duduknya. Diletakkannya Koran pagi itu, dan beralih berbaring di atas kasur.
Urip teringat mimpinya. Mimpi saat pertama kali dia menginjakkan kaki di sini, Dia lulus bulan Juni. Dengan bermodal semangat dia mencoba mengadu nasib di Jakarta. Dia jadi karyawan di pabrik sandal, ikut Karjono yang sudah lebih dulu bekerja. Pertengahan bulan Agustus, sebelum lebaran, dia menyatakan keluar. Dengan dalil dia tak betah dengan pekerjaannya. Pekerjaan yang menguras habis tenaga. Untuk apa dia sekolah sampai SMK, berfikir setiap hari, kalau cuma jadi buruk pabrik. Tidak bisa. Aku harus mengangkat dan menbanting keras setir itu!, itu katanya.
“Rip, Rip. Kamu itu. Keluar dari lubang rayap, masuk ke lubang semut. Jadi buruh pabrik, eh, sekarang beralih jadi tukang keliling. Katanya mau kerja kantoran, jadi asisten manajer! Mana?”, sindir Jono. Dia masih setia memikirkan masa depan temannya, walaupun sebenarnya malah menyusahkan.
Urip masih melamun kosong. Dia masih percaya dengan impiannya. menurutnya, semua itu hanyalah batu loncatan yang akan menghantarkannya ke jalur cita-cita. Dan harus berhati-hati karena batu sandungan selalu menantinya di depan.
Hari penantian itu tiba. Tujuh hari dilaluinya, masih bersama sarapan koran dengan menu sama, tetapi kali ini di tambah lalapan browsing internet. Diletakkannya hand phone di saku kemejanya. Tak ada aktivitas komunikasi hari ini. 24 jam. Kemana-mana harus dibawa. Ke warteg, ke masjid, ke kamar mandi, maupun ke WC sekali pun. Dia yakin akan ditelepon langsung oleh salah satu penguji yang kemarin. Dia optomis masuk dalam jajaran pendaftar karyawan yang diterima.
Ditunggunya hingga sore. Matanya tak diizinkan tidur sejenak pun, hingga kelelahan terdeskripsi jelas di raut wajahnya. Dibukanya jendela kecil dekat kamar kontrakan. Suara gemericik hujan, sedikit mengurangi rasa kecewa. Hujan itu pun mengingatkan pada simbok-bapak di kampung, yang tak henti-hentinya mengalirkan doa agar putranya sukses di perantauan, seperti motto kabupaten. Wonogiri Sukses!
“Urip…Urip sini!”, ujar Jono lantang. Teriakan jono membubarkan kediamannya.
“Urip, ada pelangi! Ada pelangi bagus banget kayak di kampung, Rip. Sini!”, perintahnya segera.
“Iya, iya! Bentar!”, sahutnya lemas. Dikejarnya suara Jono dengan lari ringan. Dilepaskannya pandangan ke langit tepat di pelangi itu. Wajahnya yang diharapkan cerah, sekarang malah berubah murung. Tampak cacat warna pelangi itu. Tak seindah saat dilihatnya di kampung dulu. Yaa, karena dia belum bisa mewarnai impiannya. Hingga petang ini.