Nasionalisasi Aset Penerus Bangsa
“KEBIJAKAN Pendidikan yang Mengindonesiakan.” Satu kalimat pendek dari Prof Winarno Surakhmad, namun cukup untuk menggambarkan apa landasan yang seharusnya ada dalam setiap kebijakan pendidikan Indonesia. Kebijakan pendidikan indonesia saat ini terlalu mengagungkan “berbasis Internasional”. Setiap pendidikan yang berlabel internasional dianggap sebagai bentuk kemajuan pendidikan, padahal pendidikan itu bersifat universal. Tidak ada pendidikan lokal, tidak ada pendidikan nasional, tidak pula pendidikan internasional. Tetapi yang ada hanyalah pendidikan universal.
Kuatnya arus internasionalisasi pendidikan di Indonesia sangatlah membahayakan masa depan bangsa. Menurut Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, internasionalisasi pendidikan ini diwujudkan antara lain dalam bentuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang justru menguntungkan pihak asing. Hal ini disebabkan sekolah di Indonesia harus membeli kurikulum berikut buku-buku asing. Bahkan, guru asing pun didatangkan dengan fasilitas dan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan guru Indonesia.
RSBI telah merendahkan martabat guru Indonesia.Guru asing dianggap jauh lebih berkualitas dibandingkan guru-guru asli Indonesia. Keadaan seperti ini tentunya akan sulit menumbuhkan kebanggaan terhadap bangsa sendiri, tentunya dapat kita bayangkan seperti apa Indonesia di masa depan, semua orang akan lebih bangga hal-hal berbau asing, dibandingkan hal-hal yang menjadi jati diri bangsa Indonesia.
Diskriminasi tidak hanya dirasakan oleh guru, namun juga oleh siswa. Internasionalisasi pendidikan menimbulkan diskriminasi sosial karena hanya anak keluarga kaya yang bisa menikmati pendidikan ”internasional”. Kalaupun diberikan kuota 20 persen untuk siswa miskin, hanyalah untuk pencitraan bahwa pemerintah memperhatikan keluarga miskin. Karena pada kenyataanya siswa miskin di RSBI tidak mencapai angka 20 persen.
Sesuai data dari Kemendikbud, hingga 2009, ada 1.110 sekolah RSBI di Indonesia. Pada anggaran tahun 2011, alokasi dana RSBI/SBI mencapai Rp289 miliar, sementara untuk SSN atau umum yang jumlahnya lebih banyak hanya Rp250 miliar (Fitra). Jumlah sekolah RSBI yang kurang dari 20 persen jumlah sekolah di Indonesia ternyata mendapatkan subsidi lebih dibandingkan dengan sekolah umum yang hanya mendapatkan dana Rp250 miliar. Sangat jelas bahwa pemerintah lebih mengistimewakan RSBI yang notebenenya diisi oleh orang-orang mampu.
Pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Dalam pasal 31 ayat 1 UUD 45 tertulisk, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.” Para founding fathers pendidikan Indonesia, sangat menentang pendidikan yang mendiskriminasi. Mereka membawa semangat bahwa semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Ketika Indonesia terjajah dan pendidikan hanya untuk kaum priyayi, para pendiri bangsa juga memperjuangkan agar rakyat miskin punya hak untuk mendapatkan pendidikan.
KH Ahmad dahlan dengan Muhammadiyahnya mengajarkan kita bahwa fakir miskin punya hak untuk mendapatkan pendidikan. Sekolah Rakyat yang didirikan Tan Malaka juga membawa semangat pendidikan untuk rakyat tertindas. Begitu juga dengan Taman Siswa Ki Hajar Dewantara yang memprioritaskan rakyat pribumi untuk mendapatkan pendidikan. Seharusnya kita sadar bahwa pendidikan Indonesia dibangun atas dasar pendidikan untuk semua, tidak ada kastanisasi di dalamnya. Si kaya tidak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas dari si miskin, begitu juga sebaliknya. Pendidikan yang meng-Indonesiakan adalah pendidikan tanpa kastanisasi.
Perlu juga kita ketahui KH Ahmad Dahlan, Tan Malaka, dan Ki Hajar Dewantara membangun pendidikan Indonesia dengan semangat menjaga nilai-nilai kearifan lokal, dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) para founding fathers dengan bangganya senantiasa menggunakan bahasa lokal atau bahasa Indonesia, tanpa perlu merasa rendah diri meski saat itu semua institusi pendidikan Belanda menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar pendidikannya. Tentunya kita harus menjaga risalah semangat ini, bahwa pendidikan yang meng-Indonesiakan senantiasa menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Franklin D Roosevelt berkata, “Kita tidak dapat membangun masa depan bagi generasi muda kita, tetapi kita dapat membangun generasi muda kita untuk masa depan.” Nasionalisasi aset penerus bangsa harus segera dilakukan karena pendidikan Indonesia seharusnya memberi pencegahan hilangnya jati diri bangsa ini. Kitalah saat ini yang menentukan apakah Indonesia akan berjaya atau hanya menjadi sebuah cerita bahwa dulu negara Indonesia itu pernah ada.
follow me on twitter @ihsanamuslim