Novel Kemi 2
Oleh: Dr Adian Husaini
“Memang siapa yang mau sama kamu. Hei Ben, saya ini begini-begini juga muslimah. Meskipun saya mendukung kawin lintas agama, tapi saya juga mikir-mikir kalau kawin sama kamu. Saya masih ragu, kamu ini laki-laki beneran apa bukan, sampai sekarang nggak kawin-kawin,” Doktor Ita tidak mau mengendorkan nada bicaranya.
“Sudahlah Ita, nggak usah kita buka-bukaan. Nanti tambah runyam,” kata Ben Rushact.
“Ya sudah kalian buka-bukaan saja, sekalian saya dapat tontotan gratis!” Rajil menukas sambil senyum-senyum, “Ingin tahu juga seperti apa sih tubuh tokoh gender…Otak saya ini bersih kok, lihat objek yang bagaimana pun saya tidak terpengaruh. Makanya saya menentang UU anti-Pornografi. Tidak seperti orang fundamentalis! Baru lihat sedikit terbuka sudah tergiur. Otak mereka ngeres-ngeres. Kalau kita-kita ini, lihat yang telanjang-telanjang, mau bulat mau lonjong, mau hitam, putih, merah, sudah tidak ada pengaruhnya, karena otak kita suci, bersih, murni…. ha…ha… ha… ya nggak Ben?” Rajil nerocos sambil tertawa keras-keras.
“Bangsat kamu Rajil, otak kamu itu yang ngeres,” Doktor Ita membentak sambil melayangkan tamparannya ke muka Rajil. Tapi Rajil sudah siap. Tangan Doktor Ita ditangkapnya. “Sabar-sabar, Nyonya...” Ini kan cuma bercanda. Kalau kamu nggak bisa diajak bercanda, nanti cepat tua, dan kasihan suamimu. Kamu kan doktor, selalu tampil coolkalau di televisi, yak an! Katanya nggak mau dibeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Tapi kenyataannya, kamu sendiri, tokoh gender, begitu mudah tersulut emosi kamu.”\
“Sudahlah kalian memang brengsek. Saya pulang saja,” Doktor Ita membentak sambil angkat kaki meninggalkan ruang rapat.
Ben Rushact cepat bergerak. Ia memburu Ita, menghadangnya sebelum keluar dari ruang tengah kantor Yayasan. “Ita, Ita, jangan pergi… Pliiiis, pliiiiis, … jangan pergi. Kita mau rapat penting,” kata Ben sambil berusaha memegang pundak Ita.
Tapi, Ita menepis tangan Ben. Emosi tokoh gender terkemuka ini sepertinya sudah mendidih. Tak mudah didinginkan. Ben pun ikut terpancing, dan mengeluarkan ucapan yang justru tambah memancing emosi Ita: “Ya sudah, sana pergi, terserah apa mau kamu. Ternyata perempuan di mana-mana sama saja! Yang gender lah, yang feminis lah, yang lesbian lah… sama saja! Sana…. pergi….!”
Mata Ita memerah, meneteskan air mata. Amarahnya memuncak. Tangannya mencengkeram baju Ben Rushact. “Ternyata kalian tak henti-hentinya melecehkan kaum saya. Saya masih punya harga diri. Go to hell with your money,” Ita membentak sambil mendorong tubuh Ben. Setengah berlari ia keluar dari kantor Yayasan She-Cooler. Nia, yang duduk di ruang depan, terbengong-bengong melihat kelakuan Doktor Ita.
“Memang kenapa dia Mister Ben?” tanya Nia, setelah suara mesin mobil Doktor Ita lambat laun menghilang.
“Ya, biasa… ndak ada apa-apa. Hanya salah paham. Biar saja,” kata Ben. “Nia, tolong kamu ikut rapat ya, jadi notulen.”
“Oke Mister!”
Sesaat di ruang rapat.
“Sudah-sudah, kita lupakan Doktor Ita dulu. Saya paham kondisi kejiwaan dia sejak dulu, Kurang stabil. Tetapi saya tidak menyangka dia begitu emosi sampai meninggalkan kita,” Ben Rushact mengajak teman-temannya kembali memasuki ruang rapat. Doktor Rajil dan Prof. Malikan sempat mengikuti keluarnya Doktor Ita dan sempat melihat insiden antara Ben dan Ita.
Tak berapa lama, Ben Rushact sudah mulai membuka rapat. “Saya minta maaf, undangan ini mendadak. Saya ingin minta masukan tentang kasus Kemi. Yayasan ini dianggap terkait dengan kasus Kemi, karena sebagian kegiatan liberalisasi oleh kelompok Roman memang berasal dari dana yayasan ini.”
“Tuduhan apa yang dikenakan kepada Roman?” tanya Rajil.
“Penganiayaan berat dan human trafficking,” jawab Ben.
“Itu tuduhan mengada-ada. Nanti saya cek ke atasan jaksanya. Kita juga harus waspada dengan aksi-aksi kelompok Roman yang ngawur dan menghalalkan kekerasan. Tapi ini sudah terlanjur. Siapa yang menjadi pembela Roman?” Rajil bertanya lagi.
“Saya dengar Pak Benardi Putar-putar sudah siap,” kata Ben.
“Wah, kalau dia mau, itu sangat bagus. Pak Benardi, kawan kita yang satu itu sudah teruji kepiawaiannya. Saya dengar lobi-lobinya di dunia peradilan juga luar biasa. Roman sudah selayaknya mendapatkan hukuman atas tindakan kriminalnya, tetapi kasus ini jangan sampai merembet kemana-mana, sehingga menjatuhkan martabat semua aktivis liberal. Kita yang nggak ikut-ikutan kriminal bisa tersangkut masalah,” Rajil berkata dengan mimik serius.
“Karena itulah saya perlu masukan dari Anda semua,” kata Ben Rushact lagi.
Prof. Malikan sebenarnya tidak begitu paham dengan seluk-beluk dan asal muasal dan aliran dana liberalisasi di Indonesia. Dia hanya tahu, bahwa sebagian mahasiswanya memang diberi beasiswa oleh Yayasan She-Cooler. Dia juga tahu, yayasan ini banyak mendanai kegiatan mahasiswa di kampus yang dipimpinnya. Ia pun sadar, gaji dan tunjangan yang diterimanya kemungkinan besar juga berasal dari yayasan She-Cooler dan sejenisnya. Tapi, ia tak terlalu peduli. Ia sudah terlanjur berpikiran positif terhadap pemikiran dan kegiatan-kegiatan liberalisasi.
“Rajil, saya minta tolong kamu usahakan agar Yayasan ini tidak disangkut-pautkan dengan kejahatan Roman,” lanjut Ben Rushact dengan nada serius.
“Saya akan usahakan. Mudah-mudahan kita bisa lakukan lobi-lobi yang efektif. Toh, sudah banyak tokoh-tokoh dan lembaga Islam yang mendapatkan manfaat dari pendanaan Yayasan ini.”
“Ya, saya percaya kamu. Dalam soal begini, kamu ahlinya.”
“Ini profesinal lho Ben, bukan gratisan! Teman ya teman, tapi kerja tetap kerja. Ilmu saya ini mahal harganya.”
“Okelah… Tapi, secara jujur saya katakan, semangat materialis seperti ini yang saya khawatirkan. Jauh sekali bedanya dengan kaum Islamist yang bekerja karena keyakinan mereka. Ada atau tidak dana mereka bekerja menyebarkan pahamnya. Beda sekali sama kamu dan beberapa aktivis liberal di sini. Begitu dana terhenti, kegiatan terhenti juga. Kurang ada kegigihan dan semangat pengorbanan”
“Ah.. Ben…., kamu jangan sok ngajari kita-kita soal keikhlasan semacam itu. Masalahnya, kamu kan ditugaskan di sini untuk menyalurkan dana liberalisasi. Jadi uangnya ada. Kalau tidak ada, lain perkara. Saya tahu, di kepala kamu tidak ada konsep amal jariyah. Kamu mati ya mati saja. Kamu kan nggak percaya akhirat. Hidup kamu itu sampai di sini, di dunia ini, dan saat ini. Itu namanya kamu sekuler.”
“Ya sudahlah, saya memang sekuler. Kamu juga yang mendorong. Malah kamu orang Islam, tapi sekuler. Lebih aneh dari saya. Tapi oke…. nanti kita atur… ada fee spesial untuk kamu.”
“Nah, gitu dong. Itu baru namanya profesional.”
“Nah, lalu saya untuk apa diundang ke sini?” Prof. Malikan menyela.
“Oh ya maaf, Prof. Posisi dan peran anda sangat penting, untuk menjelaskan kepada publik, bahwa paham Pluralisme Agama adalah satu keharusan dan kebaikan bagi umat Islam. Sebagai guru besar bidang agama, saya harapkan Prof Malikan lebih gencar lagi menulis artikel-artikel di media massa tentang Pluralisme Agama. Sebab, fatwa MUI bahwa Pluralisme Agama bertentangan dengan ajaran Islam, ternyata cukup berpengaruh di masyarakat. Gara-gara fatwa MUI itu istilah Pluralisme jadi rusak, jadi jelek maknanya. Malah di sini digunakan istilah sipilis penyakit kelamin yang menjijikkan, seolah-olah kita ini pembawa kuman sipilis,” kata Ben Rushact, dengan mimic muka agak serius
Prof Malikan sebenarnya paham arah pembicaraan Ben Rushact. Tapi, ia juga mau menggunakan posisinya sebagai seorang pakar professional di bidang pemikiran Islam. Dengan nada menyelidik, ia bertanya, “Lalu, apa kaitan dengan kasus Roman?”
Ben Rushact pun menjelaskan, “Kasus Roman ini mau dikaitkan juga dengan delik pidana human trafficking. Seolah-olah, kami merekrut santri-santri cerdas dengan alasan memperjualbelikan mereka, untuk tujuan yang meresahkan masyarakat. Ini semua ada kaitan dengan fatwa MUI yang mengharamkan paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Padahal, yang kita sebarkan dan kita ajarkan ke masyarakat Indonesia adalah paham-paham itu. Profesor perlu menjelaskan ke masyarakat, bahwa paham-paham yang mereka sebut “sipilis” adalah sesuatu yang sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Paham “sipilis” ini sebenarnya adalah rahmat. Jadi, definisi bahwa Nabi Muhammaddatang membawa rahmat, perlu ditafsirkan ulang. Sebab yang sekarang terbukti membawa rahmat bagi bangsa Indonesia melalui paham “sipilis” itu justru bangsa saya, bangsa Barat, bukan bangsa Arab, bangsanya Nabi Muhammad. Malah bangsa Arab itu lebih membawa kerusakan melalui fundamentalisme dan terorisme. Makanya, proyek ini harus didukung oleh bangsa Indonesia, jika mereka mau menjadi maju, tidak terlalu jauh tertinggal dari bangsa saya. Bangsa sayalah yang terbukti membawa rahmat bagi sekalian alam, khususnya bagi bangsa Indonesia”… *
(Dikutip dari Novel Kemi 2, GIP, Oktober 2012. Pemesanan bisa hubungi Yudha: 081383257453)