Baabullah, Pembebasan Nusantara dan “Jihad” Kita Hari Ini
Oleh: Nuim Hidayat
SULTAN Baabullah risau. Ia tidak ingin kematian ayahnya (Sultan Khairun) memadamkan semangat jihad rakyatnya. Segera setelah dilantik, ia mengumumkan perang jihad melawan Portugis di seluruh negeri. Rakyat pun bersegera menyambut seruannya. Lebih dari 120 ribu penduduk menjadi mujahid sukarela melawan Portugis saat itu.
Dalam perang itu, Sultan Baabullah minta pembunuh ayahnya gubernur Lopez de Mesquita diserahkan kepadanya untuk diadili. Tapi Lopez menolak. Sultan pun menyerbunya. Tidak lama kemudian benteng-benteng Portugis di Ternate yakni Tolucco, Santo Lucia dan Santo Pedro jatuh. Hanya benteng Sao Paulo kediaman Lopez yang bertahan. Benteng Sao Paulo dikepung dan diputuskan hubungannya dengan dunia luar. Suplai makanan dibatasi hanya sekedar agar penghuni benteng bisa bertahan hidup. Sultan Baabullah bisa saja menguasai dengan cepat menghancurkan benteng itu, tapi ia masih kasihan banyak rakyat Ternate yang telah menikah dengan orang Portugis dan mereka tinggal dalam benteng itu. Karena tertekan dan frustasi, akhirnya Portugis memecat Lopez de Mesquita dan menggantinya dengan Alvaro de Ataide.
Baabullah pun melebarkan perlawanan. Ia mengobarkan perang Soya-Soya (perang pembebasan negeri). Kedudukan Portugis di berbagai tempat digempur habis-habisan. Tahun 1571 pasukan Ternate berkekuatan 3000 pasukan, pimpinan Kapita Kalakinka (Kalakinda) menyerbu Ambon dan berhasil mendudukinya. Pasukan Portugis dibawah Kapten Sancho de Vasconcellos yang dibantu pribumi Kristen berhasil memukul mundur pasukan Ternate di pulau Buru untuk sementara. Namun tidak lama kemudian Portugis pun jatuh setelah pasukan Baabullah kembali menyrang di bawah pimpinan Kapita Rubuhongi.
Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan suku-suku atau kerajaan pribumi yang mendukung mereka telah berhasil ditundukkan. Demikianlah, tanggal 15 Juli 1575, orang-orang Portugis pergi secara memalukan dari Ternate.
Dengan kepergian orang Portugis, Sultan Baabullah menjadikan benteng Sao Paulo sebagai benteng sekaligus istana, ia merenovasi dan memperkuat benteng tersebut kemudian mengubah namanya menjadi benteng Gamalama. Sultan Baabullah masih melanjutkan hubungan dagang dengan bangsa barat termasuk Portugis dan mengizinkan mereka menetap di Tidore. Sultan Baabullah bahkan mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap bangsa Eropa yang tiba di Ternate untuk melepaskan topi dan sepatu mereka, sekedar untuk mengingatkan mereka agar tidak lupa diri.
Tahun 1580 Sultan Baabullah mengunjungi Makassar dan mengadakan pertemuan dengan raja Gowa Tunijallo, mengajaknya masuk Islam dan ikut serta dalam persekutuan melawan Portugis dan Spanyol. Sang raja tak langsung menyetujui ajakan Sultan untuk memeluk Islam namun setuju untuk ikut dalam persekutuan. Sebagai tanda persahabatan, Sultan Baabullah menghadiahkan Pulau Selayar kepada Raja Gowa.
Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 negeri” yang semuanya memiliki raja yang tunduk kepadanya hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur.
Sultan Baabullah tetap melanjutkan kebijakan ayahnya dengan menjalin persekutuan dengan Aceh dan Demak untuk mengenyahkan Portugis dari Nusantara. Persekutuan Aceh-Demak-Ternate ini merupakan simbol persatuan Nusantara, karena ketiganya sebagai yang terbesar dan terkuat di masa itu merangkai wilayah Barat. Tengah dan Timur Nusantara dalam satu ikatan persaudaraan.
Sultan lahir pada 10 Februari 1528. Ia adalah Sultan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570-1583. Baabullah ketika itu berhasil mengusir Portugis dari Ternate-Maluku, yang selain menginginkan monopoli rempah-rempah juga berniyat mengkristenkan penduduk di sana. Misionaris yang terkenal Portugis, Francis Xavier (1506-1552) menyatakan,”(Jika) setiap tahunnya selusin saja pendeta datang ke sini dari Eropa, maka gerakan Islam tidak akan dapat bertahan lama dan semua penduduk kepulauan ini akan menjadi pengikut agama Kristen. “ (lihat Alwi Shihab, Membendung Arus Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Misi Kristen di Indonesia, 1998)
Portugis pergi, datanglah penjajah Belanda. Hampir sama dengan Portugis, Belanda juga mempunyai misi Kristenisasi di Indonesia. Van Goens, di akhir masa jabatannya sebagai gubernur, 1675 menulis: “Betapa orang Moor (Islam) di pulau ini sangat menghalangi kita setiap hari terlihat melalui aktivitas mereka, sungguh mereka tidak lebih dari kanker yang menggerogoti keuntungan kompeni dan perusak moral yang utama.” (lihat Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), 1995).
Idenburg, Gubernur Jenderal Belanda di Indonesia (1906-1916) juga menyatakan,”Saya cukup sibuk dengan Kristenisasi atas daerah-daerah pedalaman.” Pidato Kerajaan Belanda pada 1901 menyatakan: “Sebagai sebuah bangsa Kristen, Belanda punya kewajiban meningkatkan kondisi orang-orang pribumi di kepulauan Nusantara, untuk memberi bantuan lebih banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan misi, dan untuk memberitahukan kepada seluruh jajaran pemerintah bahwa bangsa Belanda punya kewajiban moral terhadap para penduduk di daerah-daerah itu.”
Baabullah, Antasari, Tjut Nyak Dien, Fatahillah, Diponegoro, KH Hasyim Asyari dan Natsir adalah beberapa pejuang Nusantara yang melawan kaum penjajah dengan ‘Bismillah’. Mereka tidak peduli dengan harta dan nyawa mereka yang bisa hilang dalam perlawanan. Niat menegakkan kalimah Allah di bumi Nusantara menjadikan ghirah mereka terus menyala.
Jihad memang lafadz yang bisa membuat penjajah berdiri bulu romanya. Jihad yang salah satunya bermakna perang fisik ini menjadi landasan bagi pahlawan-pahlawan Islam di negeri ini dalam mengusir penjajah. Baik Portugis, Belanda, Jepang atau Sekutu. Mereka tidak rela tanah air ini dirampas kekayaannya dan agama Kristiani menjadi mayoritas di negeri ini. Maka jangan heran meski Portugis dan Belanda khususnya, yang menjajah negeri ini ratusan tahun dan mencoba mengkristenkan penduduk-penduduk Nusantara mereka mengalami kegagalan. Islam yang telah tegak di Nusantara ini sejak abad ke-7, berkat para pejuang dan ulama, tetap menjadi mayoritas di negeri subur loh jinawi ini.
Jihad adalah roh kaum Muslimin. Dari Ibnu Umar beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridho dengan pertanian serta meninggalkan jihad maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud)
Ibnu Taimiyah menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa jihad melawan orang yang menyelisihi para rasul dan mengarahkan pedang syariat kepada mereka, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan mereka untuk menolong para nabi dan rasul, dan untuk menjadi pelajaran berharga bagi yang mengambilnya sehingga dengan demikian orang-orang yang menyimpang menjadi jera, termasuk amalan yang paling utama yang Allah perintahkan kepada kita untuk menjadikannya ibadah mendekatkan diri kepada-Nya.”
Kata jihad berasal dari kata Al Jahd (الجَهْد) dengan difathahkan huruf jimnya yang bermakna kelelahan dan kesusahan. Atau berasal dari Al Juhd (الجُهْدُ) dengan didhommahkan huruf jimnya yang bermakna kemampuan. Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna mengeluarkan kemampuannya.
Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah adalah orang yang mencapai kelelahan karena Allah dan meninggikan kalimat-Nya yang menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga.
Maka dalam Islam ada istilah mujahid dan mujtahid. Keduanya melaksanakan jihad baik dengan fikiran maupun fisiknya. Mujtahid lebih mengerahkan kemampuannya dalam berfikir atau berkarya. Sedangkan mujahid lebih mengerahkan kemampuan fisiknya. Imam Ibnul Qayyim menjelaskan jihad memiliki empat tingkatan, yaitu (1) jihad memerangi hawa nafsu, (2) jihad memerangi syetan, (3) jihad memerangi orang kafir dan (4) jihad memerangi orang munafik.
Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal shaleh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan”.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Jihad memerangi musuh Allah yang di luar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda Nabi saw, “Mujahid adalah orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan kepada Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan Allah.” (HR. Ahmad). Juga sabdanya,“Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud).
Dengan spritit “jihad” di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Sulawesi Utara, Tengah dan Timur di bagian Barat hingga kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina (Selatan) di bagian utara hingga sejauh kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Sultan Baabullah dijuluki “penguasa 72 negeri” yang semuanya memiliki raja yang tunduk kepadanya hingga menjadikan kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur.
Dengan sprit “jihad” pula, benteng Konstantinopel (kini Istambul, Turki) di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodok yang legendaris akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani.
Sultan Baabullah dan Sultan Muhammad al-Fatih adalah dua contoh pejuang Muslim yang menyerahkan waktu, tenaga, pikiran, ilmu dan hartanya untuk berjuang di jalan Allah. Lantas apa “jihad” kita hari ini?
Penulis aktif di Institute for the Study of the Islamic and Civilization (INSISTS)