Kontrak Blok Mahakam: Menanti Keputusan Bermartabat dan Bebas Korupsi
oleh : Marwan Batubara (IRESS)
Tahun 2013 ini adalah tahun kelima bagi IRESS melakukan advokasi terkait Blok Mahakam, agar kontraknya tidak diperpanjang dan pengelolaanya diserahkan kepada BUMN. Namun hasilnya masih belum sesuai harapan rakyat. Pemerintah terus mengulur waktu dalam mengambil keputusan dan terkesan lebih memihak asing untuk tetap mengelola Mahakam. Bahkan terpantau sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian ESDM (KESDM) justru telah berperan menjadi jubir perusahaan asing, dan menghambat Pertamina mengelola Mahakam.
Padahal Pertamina telah mengemukakan keinginan mengelola Mahakam kepada pemerintah sejak Juni 2008. Februari 2009, Pertamina mengadakan pertemuan dengan BP Migas membahas keinginan tersebut. September 2009 Pertamina menyampaikan minat memperoleh PI Mahakam sebelum 2017, yang dibalas oleh Total dengan penawaran asset swap pada Januari 2010. Pertamina mengulang permintaan resmi kepada pemerintah untuk mengelola Mahakam pada Juli 2011 dan Juli 2012. Klimaks dari permintaan Pertamina tersebut adalah pernyataan kemauan dan kemampuan mengelola Mahakam oleh Dirut Karen pada September 2012.
Semula tanggapan pemerintah yang diwakili almarhum Wamen Prof. Widjajono Partowidagdo cukup memberi harapan. Pada Februari 2012, Prof Widjajono mengatakan kontrak Mahakam tidak akan diperpanjang, dan pengelolaannya akan diserahkan kepada Pertamina. Namun sejak Jero Wacik menjadi Menteri BUMN, sikap pemerintah berubah. Sambil mengancam Pertamina, Jero mengatakan (12 Oktober 2012) Pertamina tidak mau dan tidak mampu mengelola Blok Mahakam. Jero pun mengatakan, jika mengelola Mahakam, sementara kemampuan keuangannya terbatas, maka Pertamina akan bangkrut! Jero memastikan pemerintah telah berhitung secara rasional untuk kembali menyerahkan Blok Mahakam kepada Total, Perancis dan Inpex, Jepang.
Dengan adanya pernyataan Jero yang pro asing di atas, manajemen Pertamina seolah lenyap ditelan bumi. Keinginan mengelola Mahakam yang telah diungkap sejak 2008 dan diulang-ulang setiap tahun hingga September 2012 tidak pernah lagi terdengar. Manajemen Pertamina pun berubah menjadi bisu untuk mengungkap keinginan yang sangat strategis dan menguntungkan bagi BUMN migas dan bagi rakyat tersebut. Direksi Pertamina harus tunduk patuh kepada keputusan atasan yang memang berwenang melengserkan mereka jika membangkang. Terlihat betapa sang atasan, terutama Jero Wacik, telah bersikap sangat arogan dengan wewenang yang dimiliki. Diperkirakan Jero telah membuat kesepakatan dengan Total untuk tetap mengelola Mahakam sesudah 2017, saat berkunjung ke Prancis pada Juli 2012.
Selain Jero yang lebih memilih asing, perlu diungkap kembali sikap sejumlah pejabat lain terkait Mahakam. Wamen Profesor Rudi Rubiandini misalnya mengatakan (September 2012) untuk mengelola Mahakam diperlukan kemampuan teknologi tinggi dan dana yang besar, dan Pertamina tidak akan sanggup. Rudi mengatakan Pertamina telah menguasai sekitar 40% wilayah kerja migas nasional, dan meminta fokus mengurus wilayah tersebut. Rudi pun menyatakan cadangan Mahakam pada 2017 akan tersisa kurang dari 2 tcf, untuk mengesankan kepada rakyat cadangan blok ini kecil, sehingga Pertamina tidak perlu ngotot mengelolanya. Pada 19 Januari 2013, Wamen ESDM yang baru, Susilo Siswoutomo, menyatakan keraguan atas kemampuan Pertamina karena resiko dan dana untuk mengelola Mahakam sangat besar. Jika Pertamina mengelola Mahakam, lifting migas terancam!
Potensi Cadangan Mahakam
Berdasarkan penjelasan BP Migas pada Seminar di MPR pada 2010, cadangan tersisa Blok Mahakam pada 2010 adalah sebesar 13,7 tcf (triliun cubic feet). Dengan asumsi laju ekstraksi gas sekitar 0,6 tcf/tahun (sesuai data produksi Mahakam BP Migas, 2000 MMSCFD pada 9/2012), maka pada 2012 cadangan gas yang tersisa menjadi [13,7 tcf - (2 tahun x 0,6 tcf/tahun)] = 12,5 tcf. Oleh sebab itu, jika tingkat ekstraksi/pengurasan gas dipertahankan pada level 2000 MMSCFD, maka pada awal tahun 2017, cadangan yang tersisa adalah: [12,5 tcf – 4 tahun x 0,6 tcf/tahun)] = 10,1 tcf. Dengan demikian, berdasarkan informasi BP Migas yang diperoleh IRESS tersebut, cadangan Blok Mahakam yang tersisa pada 2017 adalah 10,1 tcf. Perhitungan lain tentang besarnya cadangan Mahakam IRESS peroleh dari sumber di BUMN dan nilainya hampir sama dengan data BP Migas (lihat Gambar 1).
Jika diasumsikan harga jual gas adalah US$ 12/MMBtu, maka nilai ekonomis Blok Mahakam (diluar biaya eksploitasi) pada 2017 adalah US$(10,1 x 1012 x 1000 Btu x $12/106 Btu) = US$ 121,2 miliar. Namun, jika cadangan minyak 192 juta barel seperti perkiraan sebuah sumber di Pertamina juga diperhitungkan, maka dengan asumsi harga rata-rata minyak US$ 95/barel, potensi pendapatan dari minyak Blok Mahakam adalah US$ (192 x 95) = US$ 18,24 miliar. Dengan demikian, potensi total pendapatan kotor migas Blok Mahakam pada saat kontrak berakhir Maret 2017 adalah US$ (121, 1 + 18,24) miliar = US$ 139,34 miliar, atau lebih dari Rp 1300 triliun!
Jika seandainya cadangan yang tersisa pada 2017 tinggal 1 tcf pun, bukan 2 tcf seperti yang disebutkan Profesor Rudi, maka nilai ekonomis Mahakam adalah US$ [1 x 1012 x 1000 Btu x 12/106 Btu] = US$ 12 milar. Jika diasumsikan cost recovery 40%, maka nilai gas yang siap dibagi adalah US$ [12 miliar x 60% ] = US$ 8,4 miliar. Jika nilai bagi hasil adalah 60%:40%, maka potensi keuntungan yang akan diperoleh oleh Total dan Inpex menjadi US$[8,4 miliar x 40%] = US$ 3,36 milar atau sekitar Rp 32 triliun. Seandainya Mahakam diserahkan kepada Pertamina, maka seluruh keuntungan sebesar Rp 32 triliun tersebut akan menjadi keuntungan Pertamina. Apakah nilai Rp 32 triliun ini kecil bagi Rudi?
Terlepas dari perbedaan angka cadangan tersisa di atas, beberapa hal sederhana dan penting perlu kita camkan: jika cadangan Mahakam yang tersisa tinggal 2 tcf, apakah logis jika PM Prancis (berkunjung ke Jakarta Juli 2011), sejumlah menteri Prancis dan Jepang, serta Dirut Total dan Inpex berupaya demikian serius, ngotot dan antusias menghadap pemerintah RI, mulai dari Menteri Jero, almarhum Wamen Widjajono dan Profesor Rudi hingga Presiden SBY untuk memperoleh perpanjangan? Sebaliknya, jika hanya tersisa 2 tcf pun, bukankah cadangan itu berpotensi mendatangkan untung puluhan triliun untuk tidak dilewatkan begitu saja? Jadi, apa masalahnya bagi Jero, Profesor dan SBY jika potensi untung itu justru dinikmati oleh Pertamina?
Sikap Presiden
Soeharto telah mengorbankan tambang mineral gunung Erstberg di Timika, dan sejumlah SDA lain demi dukungan politik asing dan perolehan rente saat memulai pemerintahan Orba. Sejumlah oknum pejabat, para komprador, juga melakukan hal sama pada masa transisi 1997/1998, saat dimana Total memperoleh perpanjangan kontrak Mahakam. Ternyata SBY pun melakukan hal yang sama pada saat menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon pada Maret 2006. Sebelum keputusan itu, berulangkali Presiden Bush meminta Indonesia untuk menyerahkan Cepu kepada Exxon, meskipun hak Exxon di Cepu diperoleh melalui transaksi illegal dengan Tommy Soeharto pada tahun 1998, dan hal ini telah dinyatakan melanggar hukum oleh Tim Audit yang dibentuk pemerintah. Apakah komprador akan kembali berkhianat untuk kasus perpanjangan Mahakam? Silakan ditebak...
Pernyataan-pernyataan Jero dan Profesor Rudi yang pro Total dan Inpex yang mengabaikan permintaan Pertamina dan tuntutan rakyat, tentunya tak lepas dari pantauan SBY. Meskipun penolakan perpanjangan dari para tokoh, mahasiswa dan berbgai elemen masyarakat telah demikian luas, termasuk disampaikannya Petisi Blok Mahakam kepada Presiden pada November 2012, SBY bergeming. SBY membiarkan saja sepak terjang Jero dan Rudi untuk meng-entertain kepentingan asing, sambil mengungkap beribu alasan, termasuk merendahkan kemampuan BUMN sendiri dan merendahkan martabat bangsa, agar Pertamina tidak menjadi operator di Mahakam. Tampaknya sikap pembiaran oleh SBY seperti ini dapat dianggap sebagai indikasi bahwa SBY memang merestui atau bahkan memerintahkan jajaran kabinetnya untuk memberi perpanjangan kontrak Mahakam, terutama agar Total tetap menjadi operator. Dalam hal ini, banyak pula kalangan yang menilai bahwa SBY pun bersikap seperti komprador, sebagimana sikapnya yang telah tunduk kepada Amerika untuk menyerahkan Blok Cepu kepada ExxonMobil pada Maret 2006.
Perlu diingatkan bahwa jika kontrak Mahakam berakhir pada Maret 2017, maka tidak ada kewajiban bagi negara untuk memperpanjang kontrak. Seluruh aset yang digunakan selama eksploitasi menjadi milik negara, karena telah dibayar melalui mekanisme cost recovery. Oleh sebab itu, jika Pertamina menyatakan mau dan mampu mengelola, mestinya tidak ada masalah dengan kontraktor, jika pemerintah menjalankan fungsi sebagai negara bermartabat dan berdaulat. Karena itu pula, tidak dibutuhkan kajian dan juga waktu yang lama bagi pemerintah untuk mengambil keputusan. Sehingga pernyataan Prof Rudi yang mengatakan perlu waktu untuk memutus kasus Mahakam adalah bentuk kebohongan publik yang nyata.
Penutup
Faktor-faktor politik dan perburuan rente tampaknya rawan terjadi karena kepentingan pemenangan Pemilu 2014, seperti halnya terjadi pada masa transisi 1967 dan 1997. Di sisi lain, para kontraktor asing pun sangat berkepentingan memperoleh perpanjangan kontrak dan memanfaatkan setiap peluang, termasuk dengan melakukan bribery. Konspirasi sangat potensial untuk kembali terulang, dan rakyat kembali dikhianati. Hal ini harus dihindari! Oleh sebab itu kita mengingatkan, agar para penguasa, terutama SBY, Menteri-menteri dan jajaran pejabatnya untuk menjaga martabat bangsa dan tidak lagi menggadaikan SDA negara, termasuk Blok Mahakam, kepada kontraktor asing demi sekedar memperoleh rente dan dukungan politik. Kita pun mengingatkan DPR agar tidak membiarkan komprador pengkhianat negara memihak asing demi kekuasaan dan uang. IRESS telah memulai advokasi Mahakam sejak 2009, dan akan terus melakukan advokasi SDA milik rakyat sesuai kemampuan. Blok Mahakam hanya untuk dikelola Pertamina demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kami himbau seluruh lapisan masyarakat untuk bergabung dalam gerakan advokasi ini: menuntut SBY untuk memutuskan kontrak Mahakam yang bermartabat dan bebas korupsi. []