Seindah Ukhuwah #1
“Zen, ayolah tolong!”
“afwan akh. Proposal ane sudah terlanjur ane ajukan. Mustahil jika ane tarik sebelum ada keputusan. Nanti ane dikira tidak konsisten!”
“Zen, aku sudah jatuh hati sejak dulu, sejak semester awal kuliah!”, nada Faiz mulai memelas
“Aku satu Fakultas dengannya. Bahkan satu kelas. Kalau boleh jujur, sejak dia menjadi ketua keputrian Rohis SMA pun, aku sudah menaruh hati padanya. Dan sebenarnya, aku berencana mengkhitbahnya setelah sidang skripsiku selesai”. Sambungnya panjang.
Penjelasan Faiz membuat kepalaku berat. Yaa, berat rasanya untuk memutuskan perkara yang sudah di ujung tanduk ini, hanya tinggal beberapa sentuhan lagi jatuhlah keputusan final.
“tapi Akh. ane tidak mengerti sebelumnya….”,ucapku perlahan.
“ ane tidak mengerti kalo antum mencintai Annisa. ane pun juga tidak tahu jika ane dijodohkan dengan dia. Ane tidak tahu apa-apa. ustadz Mustaqim yang mengajukan proposal ane. Mungkin jika dia merasakan sama seperti antum, dia pasti menolak khitbah ane!”, kataku memperjelas
“jika dia menerima?”, tanyanya.
Sepertinya suasana sudah hampir mendidih. Mata Faiz seperti hendak melotot.
“kamu menjamin dia menolak?”. Lanjutnya. Tak pernah kulihat sebelumnya Faiz setegas itu.
“ane yakin, dan ane jamin, akh!”, ujarku mantab.
Faiz tak membalas. Mungkin isi kepalanya mulai dingin. Dirapikannya rambut belah pinggir yang mulai kusut. Mungkin akibat kepalanya yang kelebihan muatan.
“Zen. Sudah kukatakan, aku sangat mencintai Nisa. Jika dia menerimamu, Apakah mungkin ukhuwah ini akan berakhir?”, cetusnya
kalimat terakhirnya yang lirih menusuk tepat di tengah genderang telingaku. Otakku tak berfungsi lagi untuk memberikan nasihat kepada hatiku untuk lebih bersabar.
“Iz. ane yakin antum lebih paham agama daripada ane. Antum calon Sarjana Agama, akh! sedangkan ane hanya seorang calon guru. Antum lebih tahu bagaimana menbatalkan sebuah ukhuwah. Apakah mungkin hanya masalah seperti ini antum batalkan ukhuwah yang sudah kita jaga sejak SMA dan kita rawat antara Jogja dan Jakarta? tak mudah akh!”, ujarku memahaminya.
“apakah antum tak memperhatikan suatu hadist, Haram bagi sesama muslim mengkhitbah diatas saudaranya. ane jamin antum lebih tahu tentang masalah itu!”, sambungku
Dia tak menbalas. Hanya tetap memegangi kepala sembrani menata rambutnya lagi kebelakang.
“Zen, tolong aku. Kumohon!”, pintanya, menatapku dengan iba. Mungkin hatinya mulai luluh dengan penjelasanku.
“akh. Ukhti Annisa belum memberikan keputusan apa-apa. Laatahzan! Harapan Itu Masih Ada!”, jawabku menyemangatinya.
Lagi-lagi suasana café terhenti akan pertengkaran kecil kami. Pertengkaran kecil antara teman seperjuangan. Pertengkaran kecil antara saudara yang saling mencintai satu sama lain karena Allah. walaupun kami terpisah sejak menggondol ijazah SMA, kami tetap menjaga persaudaraan yang indah ini.
Faiz pun meninggalkan café dengan salam lirih yang seakan hanya sampai di kerongkongannya. kujawab lengkap. Lagi-lagi aku tak tahu apa yang dia pikirkan sekarang. Tetap kutatap hingga raganya tertutup dinding café dan hingga benar-benar pergi.
Sejenak kupikirkan lagi masalah yang sedang kami hadapi. Begitu menyedihkan. Ukhuwah ini seakan dipertaruhkan. Yaa, sebuah ukhuwah yang telah terakit kuat kini terurai lepas hanya karena sebuah masalah yang sebenarnya bisa dimusyawarahkan bersama. Bisa diikatkan lagi dengan solusi jika kami saling mengerti satu sama lain.
Sejenak Handphoneku berbunyi. Faiz! Faiz Hamdan memanggil! Mungkinkah dia berubah pikiran tentang keputusannya, dan ingin membicarakan lagi masalah ini.
“assalamualaikum akh..”, salamku
“walaikumsalam. Maaf ini teman atau saudaranya yang punya hape ini”, jawabnya.
“iiiya, saya temannya Faiz. Ini siapa?” jawabku dengan gugup dan hati-hati
“saya Anto. Saya mau kasih tahu, kalo yang punya hape ini tabrakan!”, jelasnya dengan logat jawa yang khas.
“innalllahiwainnailaihirajiun. terus sekarang gimana?”
“sekarang mau dibawa ke Rumah Sakit Muhammadiyah” lanjutnya, masih dengan logat jawa yang kental
Langsung kututup telponku, tak kupikirkan lagi kode etik menelpon yang pernah kupelajari di SMP dulu. Kuraih kunci motor, dan dompet di kantonf celana belakang. Kubayar dua kopi susu itu. Kutancap gas motor tanpa nada, seakan jiwaku ingin segera melompat dari bungkusan ragaku supaya sampai rumah sakit lebih dulu. Tak kugubris lampu merah perempatan utama. Faiz, tunggu aku!
*******
“masih berada diruang ICU mas, baru saja 30-menitan masuknya” jawab suster penjaga humas.
“terima kasih mbak”, ucapku sambil sedikit menundukkan kepala, hormat.
“maaf, mas ini keluarga dari mas yang di ruang ICU?” kata seseorang dari belakangku.
Aku pun menoleh, “iya, saya saudaranya. Ada apa?”
“gini mas, saya Zaky. Saya pemilik mobil yang menabrak saudara mas. Maaf, maafkan saya. Ini murni kesalahan saya. Saya menabraknya saat saya ingin mengambil handphone saya di tas”, katanya dengan nada penyesalan yang tersirat jelas.
“sudahlah mas. Itu semua dah jadi suratan takdir saudara saya dan mas Zaky.”, jawabku.
“tenang mas. Saya yang akan menanggung semua biaya perawatannya”, katanya menenangkan sambil memegang pundak kiriku.
“Alhamdulillah. Kita tak usah adu urat seperti umumnya. Oh iya, ane Zen. Mas kelihatannya mahasiswa ya?” tanyaku. Kutahu itu dari jaket almamater yang digunakannya, ditambah tas jinjing khas pegawai kantoran.
“iya. saya kuliah di Kedokteran UMS. Mas Zen sepertinya juga anak kuliahan ya?”, tanyanya balik
“iya. ane di UNJ. Manajemen Pendidikan! ”, banggaku.
Kami pun berbincang-bintang di tempat tunggu yang telah disediakan. Kami seperti sahabat yang tak bersua lama. Akrab sekali. Kami memang seangkatan dalam usia. Namun, wawasan ilmu yang dia miliki sangat luas. Zaky seakan menggenggam semua dimensi ilmu. Dunia dan akhirat. Aku selalu kalah dalam perdebatan kecil yang kami hadirkan. Hingga akhirnya, keheningan malam membunuh setiap detik jamnya. Aku dan Zaky tak mengangkat lidah sedikitpun. Kami lelah dan terlelap menjadi finalis lomba debat yang kami selenggarakan sendiri.
Angan liarku melayang. Mengenang lagi pertengkaran tadi sore. Andai saja ku tak berikan proposalku ke Ustadz Mustaqim, mungkin Faiz tak kan…… Ah, tak ada gunanya kuingat lagi semua itu. Tak kan berarti. Hanya akan menambah sakit hatiku saja. Yang harus kupikirkan adalah kesembuhan Faiz. Yaa, kesembuhannya.
*******
oleh : Arif Setiyanto