(A)gak Lucu
Di desa.
Ya, benar.
Di desa.
Sawah menguning lalu mengering.
Sungai mengering lalu kering.
Dan kering.
Pecah tanahnya.
Muncul batunya.
Kemudian masa tanam benih dimulai esoknya.
Bulan berikutnya
Musim berikutnya.
Seperti itulah.
Kemudian penghujan membasahi tanah.
Membasahi sungai.
Melenyapkan retakan tanah.
Menenggelamkan bebatuan sungai.
Ternak digiring.
Ke sawah.
Ke sungai.
Sapi, Kambing, Kerbau, Itik.
Bergembira.
Ternak digiring.
Ke sawah.
Ke sungai.
Bersama Pak Tani
atau anaknya yang sambil garuk - garuk topi.
Itu di desa.
Ya, benar.
Di desa.
Lalu di tengah kerumunan kendaraan.
Di tepian Ibukota.
Roda bertemu roda.
Asap bertemu asap.
Setiap pagi.
Hari ini dan esok kemudian esoknya lagi.
Dikejar waktu.
Berdesakan antar roda.
Lalu emosi.
Di perempatan
pertigaan
dan per per yang lainnya.
Ada yang terlupakan di sudut - sudutnya.
Tiang yang menyala di ujungnya.
Merah kuning hijau.
Seperti pelangi di lagu kanak - kanak.
Terlupakan
Tak dihiraukan.
Lalu padat merayap.
Penuh sesak kendaraan.
Lalu mengeluh.
Memaki orang lain.
Kemudian esok harinya,
tiba - tiba tak sesak lagi.
Kemudian esok harinya,
tiba - tiba merah kuning hijau dipatuhi.
Aneh.
Tapi hebat.
Duh,
ternyata lucu.
Ada yang berdiri di sana.
Manusia berseragam.
Berdiri tepat di sebelah tiang merah kuning hijau tadi.
Menggiring kendaraan.
Pagi kemarin
dan pagi tadi
mungkin juga esok dan esoknya lagi
Kendaraan itu digiring.
Penunggangnya yang buta juga digiring.
Digiring untuk berjalan ketika hijau.
Diberhentikan ketika merah.
Sebab buta
atau lupa.
Seperti itu.
Ternak digiring di desa.
Kendaraan digiring di kota.
Lucu.
Agak lucu.
Sufia
Bekasi, Maret 2013.
Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.