Teknologi Ramah Muslimah
Dulu ada yang menentang hukum cambuk di Aceh. Katanya itu tidak manusiawi. Walaupun diterapkan dengan semangat yang luhur, semangat untuk menerapkan aturan Islam. Begitulah dinamika penerapan perda bernuansa syariat Islam. Selalu saja ada aral melintang. Apalagi jika perda itu dinilai tidak populis di tengah masyarakat. Dan rintangan terbesar adalah ketika penerapan syariat Islam, bertentangan dengan undang-undang negara. Sebab negaralah yang berkuasa. Daerah harus tunduk pada kemauan negara. Inilah nasib syariat Islam, yang diterapkan pada negara yang tidak berdasarkan pada Islam. Selalu saja ada kontradiksi. Selalu ada ketimpangan. Ujung-ujungnya, syariat Islamlah yang terpaksa mengalah. Sebab, hukum positif negara di atas segalanya.
Beberapa waktu silam di Lhokseumawe, muncul aturan yang menuai kontroversi. Pemerintah Kota Lhokseumawe Aceh, melarang perempuan untuk duduk mengangkang, saat dibonceng naik motor. Selain alasan budaya dan sopan santun, ditengarai aturan ini muncul dari semangat untuk kembali kepada syariat Islam, sebagai pengatur kehidupan masyarakat.
Penentangan pun berdatangan. Ini adalah sesuatu yang lumrah dalam penerapan peraturan. Ingin memberlakukan peraturan, yang menyenangkan seluruh hati rakyat, sepertinya mustahil. Pasti selalu ada kelompok yang merasa dirugikan. Mereka inilah yang menggaungkan suara kontra. Bila yang kontra jumlahnya sedikit, mungkin bukan soal. Tapi bila jumlahnya jamak dan mampu memberikan pertimbangan logis, maka suara yang kontra, sulit untuk diabaikan.
Bila kita seksamai, desain motor yang ada sekarang, memang kurang ramah untuk seorang muslimah, perempuan Islam. Apalagi jika mereka menggunakan jilbab. Jilbab di sini kita maknai bukan sebagai kerundung. Tapi jilbab dalam arti yang sebenarnya, seperti yang tertuang dalam Al-Ahzab ayat 59. Jilbab dimaknai sebagai baju terusan panjang, yang menjulur dari leher hingga mata kaki, tanpa terputus. Sederhananya, berbentuk seperti jubah, itulah jilbab.
Islam memandang, menutup aurat dengan jilbab adalah kewajiban. Nah, di sinilah awal masalahnya. Bisa dibayangkan, alangkah repotnya seorang muslimah, bila duduk mengangkang dengan menggunakan jilbab yang serupa dengan jubah itu. Maka terpaksa, duduk menyamping, menjadi solusi.
Selesaikah masalah dengan duduk menyamping? Tentu tidak. Ini model duduk yang lebih beresiko dari duduk ngangkang. Seorang muslimah yang duduk menyamping, keseimbangannya pasti terganggu. Apalagi bila ia bepergian dengan harus membawa buah hati, anak kesayangan. Maka duduk menyamping bukan pilihan tepat.
Alasan keamanan, inilah salah satu pertimbangan, yang dijadikan landasan oleh mereka yang kontra dengan peraturan pelarangan duduk ngangkang bagi perempuan. Penolakan yang cukup logis memang. Maka dari sinilah sebenarnya logika berpikir umat, harus diubah. Umat Islam adalah umat yang tak pernah pasrah dengan fakta. Mereka akan mengkondisikan fakta, agar sesuai dengan syariat. Bukan sebaliknya, membuat syariat Islam mengalah, karena fakta yang ada.
Singkatnya begini, jika model teknologi motor sekarang tidak ramah dengan muslimah, maka menjadi kewajiban ilmuan muslim untuk merancang desain yang ramah muslimah. Merencang bentuk motor, yang aman untuk seorang muslimah, walaupun dia menggunakan jilbab. Sekarang sudah lumrah berkembang teknologi ramah lingkungan. Perkembangan teknologi yang didesain, agar pemanfaatannya tidak memberikan efek negatif terhadap lingkungan. Lalu mengapa kita tidak berpikir menggagas teknologi ramah muslimah? Teknologi silakan berkembang. Namun Islam yang harus jadi patokan. Bukan Islam yang mengalah pada perkembangan teknologi.
Beberapa abad silam, saat kekhilafahan masih tegak, hal ini pernah dibuktikan. Ilmuan Islam, bukanlah orang yang pasrah dengan fakta. Namun mereka berpikir keras, agar teknologi selalu memudahkan umat Islam untuk menjalankan kewajibannya.
Misalnya saja untuk perkara penentuan masuknya waktu salat. Bila melihat dalil yang ada, sebenarnya mudah saja. Karena penentuan waktu salat, berpatokan pada peredaran matahari. Kalau di zaman kita sekarang, ini bukan perkara sulit. Sudah ada teknologi, dari yang paling sederhana, seperti jam, sampai yang berbasis digiltal, yang keakuratannya tak perlu lagi disangsikan. Itu sekarang. Semua mudah. Bagaimana dulu?
Sejarah telah membuktikan, ilmuan Islam adalah sosok yang tak pernah berpasrah diri dengan segala rupa kesederhanaan. Untuk menetukan waktu salat, mereka tak pernah mencukupkan diri, hanya dengan menyeksamai perguliran matahari. Ilmuan Islam selalu rindu untuk mengkajinya lebih dalam. Agar penetuan waktu salat, semakin akurat. Maka berkembang pesatlah ilmu astronomi. Bahkan konon, seorang muadzin, sang pengumandang adzan, haruslah seorang astronom. Dia harus memiliki pengetahuan tentang ilmu perbintangan yang memadai. Karena dirinyalah yang menjadi tumpuan, penentuan awal masuknya waktu salat. Maka itulah, seorang muadzin dulu, wajib memiliki ijasah tentang pengetahuan ilmu astronomi dasar.
Semakin indah rasanya, ketika ilmuannya bersemangat tinggi dan pemerintahnya pun memberi dukungan. Pemerintahan Islam pada masa itu, bukanlah pemerintah yang abai terhadap pengkajian teknologi. Atas perintah Khalifah al-Ma’mun, dibangun observatorium dan direkrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data tentang astronomi. Para ilmuan mekanik juga dilibatkan, untuk membuat sebuah alat untuk mengamati langit yang disebut astrolabs. Luar biasanya, semua dilakukan demi Islam.
Itu dulu, berbeda sekarang. Kini umat Islam pasrah dengan kondisi yang ada. Ilmuan pun banyak yang sekuler. Mengembangkan teknologi dengan semata-mata memburu materi. Tak pernah berpikir untuk menggagas teknologi yang ramah muslimah, ramah dengan Islam. Ditambah lagi perhatian pemerintah yang kurang. Kontes-kontes kecantikan, sepertinya lebih diapresiasi pemerintah daripada keberhasilan ilmuan merekayasa teknologi. Maka jangan menyesal, bila banyak ilmuan muslim Indonesia, yang lebih memilih berkarir di luar negeri.
Jadi, tentang polemik duduk mengangkang bisa teratasi, bila ada teknologi ramah muslimah. Teknologi itu akan mewujud nyata, bila ada ilmuan yang ikhlas bekerja untuk Islam. Juga didukung oleh negara yang memiliki perhatian serius pada pengembangan teknologi. Lewat kebijakannya, negara pun akan terus memantau agar pengembangan teknologi itu selalu sejalan dengan syariat Islam. Bila negaranya berlandaskan Islam, insya Allah, semua itu akan jadi nyata.
Penulis: Adi Wijaya
Advisory Staff Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) Daerah Makassar
Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.