Tiga Belas #2
“rencana, kita nggak cuma menerima jasa fotokopi dan print saja. Tapi juga kartu perdana, pulsa, alat-alat tulis, dan juga perlengkapan mahasiswa sehari-hari. Jadi, ketika pelanggan mau beli barang apapun, kita selalu ada!”
Ucapan teratur dan tersusun Bagas sedikit menggangguku merapikan baju dinasku yang diberikannya kemarin. Ganteng juga aku. Kata simbok aku ini anak yang paling ganteng sekampung, bahkan se-kabupaten. Yaiyalah, namanya juga anaknya sendiri, gumanku. Ah, mikirin apa aku ini, kerja!. Ucapan Bagas, ku ingat lagi. Pemikiran Bagas memang selalu cerdas. Tak heran. dia selalu juara di kelas kami saat SMA. Siswa paling briliant se-angkatan kami dan kini dia masuk Fakultas Hukum, Calon pengacara yang pintar berpikir, cepat berbicara, dan selalu menbela yang benar (bukan yang mbayar). Anak juragan tahu terkaya di kampung kami. Pak Slamet.
“gampang Gas. Dengan adanya kami berdua, kami jamin usahamu ini akan sukses! Kamu yang manej, kami yang di lapangan. Ya kan, Zul?”, ujar si-Batak sambil mengangkar kepala sedikit.
“Yoi!”, ujarku sok tanggap.
“nah, sekarang yang jadi masalah, apa nama usahamu ini Gas?”, sambung si-Batak lagi.
Sejenak suasana hening. Sepertinya mereka berdua memikirkan sesuatu. Aku pun ikut diam.
“gimana kalau THE BAGAS’S?”, cetus Bagas
Untuk kali ini aku tak setuju dengan pemikirannya. Sepertinya Bagas tak berbakat untuk mencetuskan nama sebuah perusahaan.
“wah, kayak nama Band aja Gas!”, candaku
“ha, ha. Iya ya… kayak nama Band. Trus, apa dong Zul?”
“em……gimana kalo “thirteen”. Tiga belas. Kan sepertinya kontrofersi tuh?”, usulku
“maksudmu, Zul?”, ujar Batak itu lagi.
“bentar. Kayaknya bagus tuh!”, sambung Bagas. Sepertinya dia connect dengan pemikiranku. Matanya ke atas seakan melihat kunci jawaban di atap sana.
“Yaa, yaa, aku tahu Zul. Angka tiga belas kan sering dianggap angka sial sama beberapa orang. Bahkan di Amerika dan Eropa pun jika membangun gedung bertingkat, gak ada lantai tiga belas. Dua belas langsung empat belas…..”,
“beneran tuh, Gas?”, potong Batak
“makanya. Sekolah dulu kamu kemana!”, cletukku
“iya Gon. Saking dianggap sialnya itu angka. Nah, kita ingin menghapus pemahaman sesat itu. Yaitu dengan menamai usaha ini “thirteen”. gimana?”
Kali ini aku harus mengakui lagi kecerdasannya. Luar Biasa! Pemuda macam Bagas inilah yang dibutuhkan negeri saat ini. mahasiswa muda yang menciptakan lapangan pekerjaan bukan malah mencari pekerjaan, yang memanfaatkan pengangguran produktif macam kami. Membiayai serta membimbingnya. Pemuda seperti inilah yang memiliki masa depan cerah seperti matahari jam dua belas siang tanpa awan.
*******
Ditempat inilah aku dan Gono hidup. Hidup dengan segala penderitaan dan kebahagiaan yang terpancar dari aura tembok kontrakan kecil yang menjadi tempat kami mengais rezeki itu. Tak hanya mengais rezeki, mulai dari makan, tidur, buang hajat, dan lain-lain kami lakukan disini. Yaa, menjadi persinggahan kedua dalam hidupku. Bahkan, Margono mulai betah hidup di tempat ini, tapi tidak untuk aku. Bayang-bayang simbok selalu muncul sejak hari senin, dan mencapai puncaknya di hari jumat. Ingin rasanya cepat-cepat pulang kampung bertemu dengannya. Mendengarkan cerita-ceritanya. Melihat senyumnya yang semakin hari semakin rapuh dimakan usia. SIMBOK. Satu kata itulah yang selalu membuatku tegar menghadapi hidup hingga saat ini. satu-satunya orang yang aku punya di dunia ini. satu-satunya orang yang selalu mendampingiku saat kutersandung ketika lari mengejar cita.
Seperti biasa Margono selalu bangun lebih dulu. Dia seolah tak punya rasa lelah dan bosan. Bangun pagi, masak air, masak nasi, beli sayur, buka toko, selalu dia lakukan sendiri tanpa meminta bantuan dariku. Dialah yang memaksaku betah dengan profesi ini. BATAK NYASAR!. Sang Motivator ulung bagiku. Margono Sitohang. Pemuda yang tak pernah mau mengerti makna kelelahan dan menyerah.
Margono langsung menuju kebelakang. Sudah kubaca langkangnya, dia akan memasak air lalu nasi. Pasti. Terdengar starter kompor gas dinyalakan, tak berselang lama, kudengar suara ledakan “BOOM BALI” menggelegar!!!
******
Suara gaduh-nyaring menancap tajam tepat ditelingaku. Aku tak tahu aku dimana. Yaa, akhir-akhir ini aku sering lupa dengan diriku sendiri. bahkan, aku pernah tak sadar di rumah tetangga sebelah. Aku tak tahu apa-apa, yang aku tahu, aku tidak sadar empat hari sejak ledakan gas itu. Margono Sitohang meninggal seketika di TKP dan langsung dimakamkan hari itu juga. Aku tak tahu bentuk permintaan maaf macam apa yang akan aku berikan pada Bagas. Kepalaku berat. suara ledakan itu hadir kembali di memori otakku. Aku terjatuh keras. Dan akhirnya GELAP!!
Mengenang para korban ledakan gas elpiji 3 KG kala itu.
Bekasi, 22 juli 2010