Kalah, Tertantang, dan Kemudian Menang (bag. 2)
Oleh: Alwi Alatas
Kekalahan yang diikuti dengan kemenangan pada peristiwa Perang Salib
Bagaimanapun, bukan hanya kemenangan yang bisa berakhir dengan kekalahan. Kekalahan juga bisa disikapi dan dikelola dengan baik sehingga akhirnya berbalik menjadi kemenangan. Hal ini bisa kita lihat pada peristiwa Perang Salib.
Perang Salib I dimulai dengan seruan Paus Urbanus II pada sidang gereja di Clermont, Prancis. Seruan ini pada asalnya merupakan tanggapan positif gereja Katholik atas permintaan bantuan dari Byzantium untuk menghadapi pasukan-pasukan Turki Saljuk yang mengganggu wilayahnya. Namun isu ini kemudian dikembangkan dan diarahkan oleh Paus untuk merebut kota al-Quds atau Yerusalem. Paus tentu mempunyai pertimbangan pribadi saat menyampaikan seruannya. Gereja Katholik ketika itu sedang banyak masalah: perselisihan gereja dengan kaisar Jerman (Holy Roman Empire), adanya paus tandingan (anti-pope), perpecahan Katholik dengan Kristen Orthodoks yang berpusat di Byzantium, ditambah lagi dengan berbagai masalah sosial di Prancis dan beberapa negara Eropa Barat lainnya. Penguasaan Yerusalem, yang mereka yakini sebagai tempat disalibnya Yesus tentu akan menjadi prestasi yang menonjol dan meningkatkan pengaruh gereja Katholik di Eropa (Paine, 2005: 32).
Orang-orang yang hadir menyambut seruan Paus itu dengan penuh semangat. Sepanjang khutbah Paus Urbanus II mereka berseru, ”Deus Vult! Deus Vult! (Tuhan menghendakinya! Tuhan menghendakinya!) (Cole, 1991: 1-2). Setelah itu, beberapa pendeta mengkhususkan diri untuk menyebarluaskan seruan Paus kepada masyarakat. Manusia kemudian berbondong-bondong datang untuk menyertai Perang Salib yang pertama (1095-1099). Kata Edward Gibbon, seorang Sejarawan Inggris abad ke-18, khutbah Paus itu telah ”menyentuh syaraf perasaan (Eropa) yang paling halus” dan mendorong mereka untuk menyambutnya dengan penuh semangat.
Terjadinya pasukan Salib I bertepatan dengan keadaan kekhalifahan Abbasiyah yang sedang mengalami perpecahan. Pemerintahan di kekhalifahan Abbasiyah ketika itu dipimpin oleh orang-orang Turki Saljuk. Ketika pemimpin tertingginya meninggal dunia pada tahun 1092, keadaan menjadi tidak stabil dan para emir saling memperebutkan wilayah dan memperjuangkan kepentingannya sendiri-sendiri. Perpecahan ini membuka jalan bagi pasukan Salib untuk masuk ke wilayah Muslim di Asia Minor, Suriah dan Palestina dan menguasai beberapa kota. Kota Nicaea (Iznik) jatuh pada tahun 1097, Antioch (Antakya) pada tahun 1098, dan Yerusalem (al-Quds) pada tahun 1099. Beberapa kota Muslim lainnya juga jatuh ke tangan pasukan Salib pada tahun-tahun tersebut. Selama puluhan tahun berikutnya, tidak ada satu pun kekuatan di dunia Islam yang mampu membebaskan kota-kota tersebut dan menghadapi pasukan Salib secara efektif.
Kaum Muslimin mengalami kekalahan yang telak. Kekalahan itu bukan disebabkan oleh musuh yang sangat hebat, tetapi lebih disebabkan oleh kelemahan yang menimpa kaum Muslimin. Mereka terkena penyakit cinta dunia dan jatuh dalam perpecahan dan permusuhan di antara sesama mereka. ”Para penguasa semuanya dalam keadaan berselisih ...,” kata Ibn al-Athir (2006: 22), ”dan demikianlah orang-orang Frank menaklukkan negeri-negeri (Muslim).” Dr. Majid Irsan al-Kilani (2007: 49) memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kemunduran dan kelemahan kaum Muslimin pada masa itu, termasuk para ulamanya:
“Mereka menjalani rutinitas harian tanpa arahan yang benar, standar nilai Islam lenyap dari panggung kehidupan nyata, sedangkan nafsu dan syahwat merajalela. Pengaruh-pengaruh negatif terasa begitu kental dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kemiliteran. Bidang-bidang tersebut hancur, fundamen internal masyarakat rapuh dan daya tahannya lemah serta rentan terhadap segala macam krisis dan keterpurukan.”
Keadaan ini menyebabkan mereka kalah, walaupun sebenarnya jumlah mereka lebih banyak dibandingkan musuh dan peradaban mereka jauh lebih maju. Untungnya keadaan ini tidak berlangsung terus menerus. Belakangan ada beberapa ulama yang berupaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan ummat. Mereka memahami bahwa semua kekalahan itu adalah disebabkan oleh masalah internal kaum Muslimin. Maka mereka pun berusaha memperbaiki kondisi internal kaum Muslimin, khususnya memperbaiki barisan ulamanya agar menjadi ulama yang lurus dan mampu menerangi ummat (Al-Kilani, 2007).
Kemudian muncul juga seorang peminpin yang shaleh di Suriah, yaitu Nuruddin Zanki, sehingga semakin menyempurnakan perjuangan kaum Muslimin dalam menghadapi pasukan Salib. Nuruddin Zanki menjadi sultan menggantikan ayahnya pada tahun 1146, hampir bersamaan dengan terjadinya Perang Salib II (1147-1148). Pada Perang Salib II inilah mulai terlihat perubahan signifikan di dunia Islam, dan juga di kalangan orang-orang Frank (Prancis) dan Kristen pada umumnya. Dalam menghadapi gelombang kedatangan pasukan Salib yang baru ini, para pemimpin Muslim di Suriah mulai berupaya untuk menjalin kerja sama. Ketika pasukan Salib menjadikan Damaskus sebagai target serangan, emir Damaskus mengirim surat permintaan bantuan kepada Nuruddin Zanki di Aleppo dan kakaknya yang memerintah di Mosul. Keduanya segera menyambut permintaan bantuan itu.
Sebaliknya, orang-orang Kristen justru mulai mengalami perpecahan. Kaisar Byzantium mengijinkan pasukan Prancis dan Jerman melewati wilayahnya dan memfasilitasi mereka untuk menyeberang ke Asia Minor, tetapi tampaknya diam-diam memberikan informasi kepada orang-orang Turki Saljuk di wilayah itu untuk menghadang pasukan dari Prancis dan Jerman ini. Orang-orang Eropa yang baru datang itu juga belakangan mengalami perselisihan dengan orang-orang Frank yang telah lama berada di Palestina. Semua itu menyebabkan pasukan Salib mengalami kekalahan dan pasukan Salib II itu terpaksa kembali ke negerinya masing-masing dengan tangan hampa (Alatas, 2012: 286-292). Steven Runciman (1987: 288), seorang sejarawan yang menulis tentang sejarah Perang Salib mengomentari Perang Salib II dengan kata-kata berikut:
”Tidak ada usaha (enterprise) abad pertengahan yang dimulai dengan harapan yang begitu baiknya. Direncanakan oleh Paus, dikhotbahkan dan diinspirasikan oleh Santo Bernard, dan dipimpin oleh dua raja utama Eropa Barat, ia menjanjikan begitu banyak kejayaan dan keselamatan bagi dunia Kristen. Namun ketika ia sampai pada akhir yang begitu memalukan berupa penarikan pasukan dari Damaskus, semua yang berhasil dicapainya adalah memperburuk hubungan antara orang-orang Kristen di (Eropa) Barat dan orang-orang Byzantium hingga ke titik yang paling serius, menaburkan kecurigaan di antara tentara-tentara Salib yang baru datang dengan orang-orang Frank yang menetap di Suriah, memisahkan para bangsawan Frank di antara sesama mereka, menarik kaum Muslimin untuk saling mendekat dan bersatu, dan menghancurkan reputasi orang-orang Frank dalam hal kecakapan militer.”
Pada perang-perang Salib berikutnya kaum Muslimin juga mampu menahan serangan pasukan Salib. Menjelang Perang Salib III, Shalahuddin yang menggantikan Nuruddin Zanki yang meninggal dunia pada tahun 1174 berhasil membebaskan al-Quds. Pasukan Salib tidak pernah lagi mampu merebut kota al-Quds sejak saat itu.
Kaum Muslimin memang kalah pada Perang Salib I. Tetapi para ulama dan pemimpinnya dapat merespon kekalahan itu dengan baik dan berjuang untuk mengubah keadaan internal kaum Muslimin sehingga mereka akhirnya mampu menghadapi lawan dan membebaskan kembali kota-kota di Palestina dan Suriah.
Kaum Muslimin pada hari ini juga sedang mengalami kekalahan. Mereka telah dikalahkan sejak lama. Mampukah para ulama dan pemimpinnya untuk bangkit memperbaiki ummat sehingga suatu saat nanti mereka dapat mengubah kekalahan menjadi kemenangan? Semoga saja.*/Jakarta, 3 Safar 1434/ 17 Desember 2012
Daftar Pustaka
Alatas, Alwi. Nuruddin Zanki dan Perang Salib. Jakarta: Zikrul Hakim. 2012.
Ibn al-Athir. The Chronicle of Ibn al-Athīr for the Crusading Period from al-Kāmil fi’l-ta’rīkh, part 1, The
Years 491-541/ 1097-1146, The Coming of the Franks and the Muslim Response (terjemahan oleh D.S. Richards). Aldershot: Ashgate. 2006.
Gibbon, Edward. History of the Decline And Fall of the Roman Empire, vol. 5. e-text edition by David Reed.
Al-Kilani, Dr. Majid ‘Irsan. Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib (terjemahan dari Hakadza Zhahara Jil Salah al-Din wa Hakadza ‘Adat al-Quds). Bekasi: Kalam Aulia Mediatama. 2007.
Al-Maqqari, Ahmed ibn Muhammed. 1984. The History of the Mohammedan Dynasties in Spain, extracted from the Nafhu-t-Tib min Ghosni-l-Andalusi-r-Rattib wa Tarikh Lisanu-d-din Ibni-l-Khattib, vol. I & II, translated and ilustrated with critical notes by Pascual de Gayangos. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delhi.
Paine, Michael. The Crusades. Harpenden: Pocket Essentials. 2005.
Runciman, Steven. A History of the Crusades, 2: The Kingdom of Jerusalem. Cambridge: Cambridge University Press. 1987.
* Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib”
Hidayatullah.com