Serat Tripama: Sesosok Ilham dari Sang Presiden
“Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anuladya, duk ing nguni caritane, andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati, aran patih Suwanda, lalabuhanipun, kang ginelung triprakara, guna kaya purun ingkang den antepi, nuhoni trah utama”.
Negara Indonesia terbentuk tidak pernah lepas dari pendiri bangsa (founding fathers) yang sangat memperhatikan moralitas bangsa. aspek moral diutamakan, sehingga sila keempat dari Pancasila jelas memperingatkan hal itu, yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. hanya pemimpin yang bermoral baik yang bisa memimpin demokratisasi di Indonesia dengan hikmat dan kebijaksanaan.
Dalam kisah pewayangan, Mahabaratha atau Ramayana, jelas digambarkan hanya kaum pandita dan satria yang bisa mencerminkan kebijaksanaan itu. Namun, dalam Serat Tripama dikarang oleh Sri Mangkunegara IV (1809 – 1881) di Surakarta, beliau menulis serat Tripama (Tiga Tamsil/Tiga Teladan) yang menceritakan kisah keteladanan Kumbakarna dan dua tokoh wayang lainnya (Bambang Sumantri/Patih Suwanda dan Suryaputera/Karna ). Tokoh-tokoh tersebut dikenal sebagai tokoh antagonis, yakni yang selalu mengadakan pertentangan dengan Pandawa.
Bahwa jiwa seorang pemimpin tercipta dari keadaan-keadaan yang memaksanya untuk mampu berperang melawan kebiasaan. Serat tripama ini lah yang menggambarkan bagaimana jiwa seorang pemimpin sejati.
“Wonten malih tuladan prayogi, satriya guna nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, tur iku warna diyu,suprandene nggayuh utami, duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur, Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan kengguh ing aturyekti, mengsah wanara.”
Pengamat politik Yudi Latif mengingatkan pentingnya moralitas. Ia menyebutkan, moralitas pemimpin akan menjadi moralitas rakyatnya jika pemimpin mampu mengkomunikasikan (Kompas, 9/6/2009).
“Wonten malih kinarya palupi, Suryaputra narpati Ngawangga, lan Pandawa tur kadange len yayah tunggil ibu suwita mring Sri Kurupati, nagri Ngastina kinarya gul agul, manggala golonganing prang, Bratayuda ingadeken senopati, ngalaga ing Kurawa.”
Terkait sirkulasi kepemimpinan, suka tidak suka, sampai kini negeri Indonesia masih dipengaruhi filosofi kekuasaan Jawa. Maka tidak heran, jikalau Serat Tripama yang sudah lama ditulis namun isinya masih sesuai dengan keadaan sekarang. Kenyataannya, memang mayoritas penduduk negeri ini dari Jawa, Presiden hampir selalu dari Jawa. Hal terpenting adalah falsafah kekuasaan Jawa bisa dipakai siapa pun dalam menggerakkan demokrasi.
Sejak zaman pemerintahan kerajaan, kemudian zaman penjajahan, dan hingga zaman modern dalam pemerintahan NKRI, kehidupan rakyatnya masih saja miskin. Akibatnya, kemiskinan yang berkepanjangan telah mendera rakyat bertubi-tubi sehingga menumpulkan kecerdasannya dan masuk terjerembab dalam kurungan keyakinan mistik, fatalisme, dan selalu ingin mencari jalan pintas.
Kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran, dan kepandaian semakin memudar karena kenyataan dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya. banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi ternyata bernasib buruk hanya karena mereka datang dari kelompok yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, dan guru. Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.
Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi kehidupan mereka saja. Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan masyarakat pun menganggap wajar memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat.
Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. Sejak dahulu kala, para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup karena bisnisnya ya kekuasaan itu sendiri. Penguasa bukanlah pekerja profesional, yang harus pintar, cerdas, dan rajin, tidak digaji pun mereka mau asal mendapatkan kekuasaan karena kekuasaan akan mendatangkan kekayaan dengan sendirinya.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada tekad presiden pilihan rakyat yang hendak melakukan percepatan pemberantasan korupsi, kita perlu merenungkan kembali dengan jernih apakah pemberantasan korupsi dapat dilakukan tanpa dekonstruksi sosial? Jangan sampai upaya pemberantasan korupsi seperti terperosok dalam sumur tanpa dasar yang tidak pernah dapat menyentuh landasannya dengan tepat dan benar. Jangan sampai kita terperosok dalam kebencian dan konflik tanpa ujung pangkal.
Dekonstruksi Sosial memerlukan tekad masyarakat sendiri untuk keluar dari jalur kehidupan yang selama ini telah menyengsarakannya. Berkaca dari sikap-sikap buruk yang dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya keteladanan dari para tokoh dalam naskah Tripama, maka presiden Indonesia diharapkan mampu memiliki etika kenegaraan dan etika kesusilaan seperti mengaca pada serat Tripama, yakni;
Etika Kenegaraan, yakni memperlihatkan seorang Kumbakarna yang memegang teguh sifat kesatrianya dalam melindungi negaranya.
Etika Kesusilaan, yakni seorang satria agung dari negeri Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berwujud raksasa, namun berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan kepada kakaknya bahwa yang dilakukan kakaknya itu sungguh salah dan tindakannya dapat membuat hancur negara namun Rahwana (kakaknya) tidak mau menanggapinya.
Fitri Febriyanti
Mahasiswi Sastra Jawa angkatan 2011
Universitas Negeri Semarang
Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.