Pendidikan Karakter Menurut Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Oleh: Kholili Hasib
PENDIDIKAN karakter dalam perspektif Islam sejatinya adalah internalisasi nilai-nilai adab ke dalam pribadi pelajar. Internalisasi ini merupakan proses pembangunan jiwa yang berasaskan konsep keimanan. Gagalnya sebuah pendidikan karakter yang terjadi selama ini, dapat disebabkan karena karakter yang diajarkan minus nilai keimanan dan konsep adab. Sehingga, proses pembangunan karakter tersendat bahkan hilang sama sekali.
Untuk membentuk penuntut ilmu berkarakter dan beradab, maka pendidikan Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya, baik kedudukan di hadapan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri.
Adab Lahir dan Batin
Syeikh al-Zarnuji, penulis kitab Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, menekankan aspek nilai adab, baik adab batiniyah maupun adab lahiriyah, dalam pembelajaran. Kitab ini mengajarkan bahwa, pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan dan ketrampilan (skill), namun paling penting adalah transfer nilai adab. Kitab yang populer di pesantren-pesantren Indonesia ini memaparkan konsep pendidikan Islam secara utuh, tidak dikotomis. Bahwa, karakter sejati itu karakter beradab, yaitu sinergi antara adab batiniyah dan adab lahiriyah.
Pendidikan karakter haruslah mendasarkan pada nilai religius, bukan justru anti nilai agama. Pemahaman umum yang diyakini kebanyakan pendidik, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan, dan menepikan nilai agama. Definisi pendidikan karakter ini masih menyisakan problem.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, Syeikh al-Zarnuji merumuskan sejumlah metode penting dalam pembentukan karakter, yang mencakup adab batin dan lahir. Pertama, metode ilqa’ al-nasihah (pemberian nasehat). Nasihat diberikan berupa penjelasan tentang prinsip haq dan batil.
Penjelasan ini merupakan pemasangan parameter ke dalam jiwa anak sehinggaa bisa menjadi paradigma berpikir. Untuk itu, disyaratkan guru harus terlebih dahulu membersihkan diri dari sifat-sifat tercela agar nasihat yang diberikan membekas dalam jiwa anak didik (Syeikh Burhan al-Islam al-Zarnuji, Ta’im al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, hal. 46). Pemberian nasehat harus dengan kesan yang baik, bijak, dan bahasa yang mudah dimengerti.
Kedua, metode Mudzakarah (saling mengingatkan). Al-Zarnuji memberi rambu-rambu agar ketika mengingatkan murid tidak melampaui batas karena bisa menyebabkan murid tidak menerimanya. Oleh sebab itu, al-Zarnuji memberi arahan agar guru harus memiliki sifat lemah lembut, menjaga diri dari sifat pemarah (hal. 35).
Ketiga, strategi pembentukan mental jiwa. Dalam metode ini ditekankan beberapa aspek yaitu; niat, menjaga sifat wara’, istifadah (mengambil faedah guru), dan tawakkal. Syeikh al-Zarnuji menjelaskan, sukses dan gagalnya pendidikan Islam tergantung dari benar dan salahnya dalam niat belajar. Niat yang benar yaitu niat yang ditujukan untuk mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala, memperolah kebahagiaan (sa’adah) di dunia akhirat, memerangi kebodohan yang menempel pada diri dan melestarikan ajaran Islam. Harus ditekankan kepada anak didik bahwa belajar itu bukan untuk mendapatkan popularitas, kekayaan atau kedudukan tertentu, tapi mendapatkan ridha Allah.
Selama dalam proses belajar, anak didik harus dibiasakan bersifat wara’ (menjaga dari). Syeikh al-Zarnuji mengatakan, “hanya dengan wara’ ilmu akan berguna” (hal. 9). Sikap wara’ adalah; menjaga diri dari perbuatan maksiat, menjaga perut dari makanan haram dan tidak berlebihan memakan makanan, tidak berlebihan dalam tidur, serta sedikit bicara.
Sedangkan yang dimaksud metode istifadah adalah guru menyampaikan ilmu dan hikmah, menjelaskan perbedaan antara yang haq dan batil dengan penyampaian yang baik sehingga murid dapat menyerap faidah yang disampaikan guru. Seorang murid dianjurkan untuk mencatat sesuatu yang lebih baik selama ia mendengarkan faidah dari guru sampai ia mendapatkan keutamaan dari guru.
Nilai batiniyah berikutnya adalah tawakkal dalam mencari ilmu. Guru harus menanam secara kuat dalam jiwa murid untuk bersikap tawakal selama mencari ilmu dan tidak sibuk dalam mendapatkan duniawai. Sebab, menurut al-Zarnuji, kesibukan lebih dalam mendapatkan duniawi dapat menjadi halangan untuk berakhlak mulia serta merusakkan hati.
Sebaliknya, baik guru maupun murid harus menyibukkan dengan urusan ukhrawi. Sebab pada hakikatnya kehidupan itu adalah dari Allah dan untuk Allah, maka seorang siswa itu haru siap dengan segala konsekuensi kehidupan.
Hubungan Guru-Murid
Selain menjelaskan metode dalam pembentukan jiwa beradab, kitab Ta’lim al-Muta’allim menjelaskan rumusan hubungan guru dan murid yang baik dan harmonis. Pola hubungan yang harmonis antara guru dan murid menjadi faktor suksesnya internalisasi adab ke dalam jiwa murid. Relasi guru dan murid harus berdasarkan sifat-sifat tawadhu’, sabar, ikhlas, dan saling menghormati.
Dalam konteks ini, proses pembelajaran ilmu menjunjung tinggi otoritas. Guru, dalam kitab Ta’lum al-Muta’allim, merupakan sentral dalam proses belajar-mengajar. Yakni menggabungkan empat tugas secara integral, yakni uswah (contoh), mursyid (pembimbing), muraqib (pengawas).
Melaksanakan empat komponen tugas tersebut merupakan bentuk dari hubungan ruhiyah antara guru dan murid. Dalam pendidikan Islam, hubungan ruhiyah itu harus untuk mempermudah proses internalisasi nilai adab ke dalam jiwa murid.
Guru harus berperan membersihkan hati murid, mengharahkan dan mengiringi hati nurani murid untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridha-Nya. Guru juga harus pandai memberi prioritas pengajaran. Ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan beserta ukuran-ukuran yang sesuai.
Berkaitan dengan itu, seorang murid harus memiliki sifat iffah (menjaga diri dan menunjukkan harga diri) dan sabar menerima bimbingan guru. Dalam menuntut ilmu, hendaknya murid harus cinta ilmu dan gurunya, hormat pada guru, menyayangi sesama penuntut ilmu, memanfaatkan waktu untuk menambah ilmu.Jadi guru harus dijadikan kaca.
Nilai-nilai adab dalam kitab ini bisa menjadi solusi yang tepat dalam model pendidikan karakter. Bahwa, pendidikan karakter itu harus berorientasi pada nilai adab. Pendidikan akhlak yang ada dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim memiliki nuansa pendidikan ruhiyah yang mengedepankan etika rabbaniyah.*
Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya
hidayatullah.com