Harga BBM Naik?
oleh : Marwan Batubara ( Direktur IRESS)
Rencana Pemerintah mengurangi subsidi BBM yang berdampak pada kenaikan harga BBM karena beberapa hal mungkin dapat dipahami. Namun rencana tersebut tidak layak didukung begitu saja jika tidak diiringi dengan pelaksanaan sejumlah kebijakan terkait dan mendesak. Bahkan sebelum kenaikan harga diumumkan, Pemerintah seharusnya segera menjalankan sejumlah kebijakan, mengingat dampak wacana penaikan harga BBM yang over dosis selama 2 tahun terakhir telah mengganggu perekonomian dan menambah kesulitan hidup masyarakat. Beberapa kebijakan tersebut diuraikan berikut ini.
Pertama, memotong belanja birokrasi (pegawai dan barang), termasuk perjalanan dinas, rapat pertemuan di luar kantor dan honorarium tim minimal sebesar Rp 50 triliun. Selama periode 2006-2012, biaya pegawai dan barang masing-masing tumbuh 19% dan 38%. Pada 2012 belanja birokrasi Rp 404 triliun, meningkat menjadi Rp 445 triliun pada 2013. Namun meskipun belanja terus meningkat, kinerja birokrasi masih buruk dan inefisiensi anggaran masih terus terjadi, yang pada 2012 besarnya mencapai Rp 72 triliun. Meskipun telah memperoleh remunerasi, sebagian pegawai bahkan masih terus mengorupsi anggaran. Karena itu, pemotongan anggaran birokrasi merupakan langkah yang adil untuk mengkompensasi para korban birokrasi yang tidak becus bekerja dan korup.
Kedua, menjalankan industri dan tata niaga minyak mentah dan BBM, termasuk penetapan biaya produksi BBM secara transparan, efektif, efisien dan bebas dari mafia minyak. Selama ini, akibat tindakan mafia minyak, negara dan rakyat harus membayar harga minyak dan BBM lebih mahal, industri migas nasional terpuruk, energi baru terbarukan gagal berkembang dan ketahanan energi semakin rapuh.
Selama puluhan tahun, negara terbukti tidak berdaya menghadapi mafia minyak yang tetap exist dari satu ke lain pemerintahan. DPR pun pernah membentuk Pansus Angket BBM pada Juni 2008, namun hingga akhir masa tugasnya pansus gagal mencapai tujuan. Hal ini menunjukkan betapa kuat dan dominannya mafia minyak yang diduga melibatkan oknum-oknum yang berkedudukan sangat tinggi di pemerintahan, partai-partai politik dan sejumlah orang dan petinggi di pusaran kekuasaan. Pemerintah dituntut menunjukkan kedaulatan negara berada di atas segala bentuk konspirasi, prilaku KKN dan status kebal hukum mafia minyak yang terus menerus merongrong kebiwabawaan negara dan merampok uang rakyat.
Ketiga menetapkan dimulainya pembangunan kilang BBM yang telah diwacanakan selama lebih dari 8 tahun, karena saat ini impor BBM telah mencapai minimal 600.000 bph. Sejak 2006 Pemerintah telah menandatangni puluhan MoU dengan sejumlah perusahaan dan negara asing, namun belum satupun rencana pembangunan kilang dieksekusi. Pemerintah sering beralasan perlu modal besar guna membangun kilang , dan karena margin keuntungan kecil perlu pemberian insentif. Padahal kilang merupakan infrastruktur yang harus dibangun negara tanpa mempertimbangkan faktor finansial. Namun setelah Permen Keuangan No.130/2011 tentang insentif pajak diterbitkan, pembangunan tak kunjung dimulai. Hingga kini, hanya untuk mengkordinasikan kebijakan antar kementerian terkait saja Pemerintah tak mampu. SBY terbukti gagal mengendalikan birokrasi yang diduga terpengaruh mafia minyak.
Keempat mewujudkan pelaksanaan konversi BBM ke BBG secara sangat segera dan massif, dimulai dari penyusunan peta jalan dan blue print, pembangunan sarana transmisi, distribusi, SPBG, konverter kit, serta kepastian pasokan dan harga gas/BBG. Wacana konversi telah dicanangkan pada 2006 dengan populasi 3000-an kendaraan. Namun populasi kendaraan pengguna BBG justru turun menjadi 2000-an pada 2011 dan hanya naik menjadi 3500-an pada akhir 2012. Populasi kendaraan ini sangat jauh lebih kecil dibanding Pakistan (2 juta) dan Iran (1,8 juta) meskipun saat pencangannya bersamaan dengan Indonesia.
Kelima meningkatkan penerimaan pajak negara karena masih rendahnya rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB. Selama 8 tahun terkahir rasio pajak RI hanya berkisar pada angka 11-12%. Padahal menurut World Bank (2012) rasio pajak negara Asean umumnya sudah cukup tinggi, seperti Malaysia (15%), Singapore (16%) dan Thailand (17%). Moral hazard petugas dan wajib pajak merupakan penyebab utama rendahnya rasio pajak Indonesia. Kementerian Keungan merupakan lembaga negara yang pertama kali memeroleh remunerasi, atau bahkan memperoleh tambahan pendapatan sejak 1997. Namun korupsi pajak masih terus berlangsung hingga saat ini, seperti terungkap pada kasus Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, dan terakhir Eko Dharmayanto untuk kasus Master Steel (20/5).
Keenam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dengan alokasi subsidi yang lebih besar guna mengurangi impor BBM, meningkatkan ketahanan energi, mengurangi emisi gas rumah kaca dan menciptakan lapangan kerja. Pengembangan EBT secara massal akan menjamin tercapainya target bauran enegi, meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah dan mencegah defisit perdagangan yang terbukti telah menurunkan kurs dan meningkatkan inflasi. Pemerintah mencanangkan kontribusi EBT terhadap bauran energi nasional pada 2025 mencapai 25%, dari posisi sekitar 5% pada 2012. Target tersebut mustahil tercapai jika pemerintah tidak mengalokasikan subsidi yang signifikan dan berkelanjutan dalam APBN. Bagaimana pengembangan EBT akan terwujud jika peta jalan belum tersedia dan komitmen pun Pemerintah pun tidak jelas?
Terlepas jadi atau tidaknya penaikan harga BBM, karena situasi dan kondisi yang sangat mendesak, keenam langkah kebijakan di atas perlu segera dijalankan. Faktanya, kebijakan-kebijakan penting tersebut gagal terlaksana akibat pemerintahan yang berkinerja buruk, komitmen rendah dan masih bermental korup. Karena itu, rakyat berhak menolak dan dapat saja melakukan perlawanan secara massif jika Pemerintah tetap menaikkan harga BBM tanpa diiringi dengan pelaksanaan keenam langkah tersebut.
Presiden SBY mengatakan penaikan BBM perlu dilakukan guna menyelamatkan APBN. Total subsidi energi 2013 mencapai Rp 317 triliun, termasuk subsidi BBM 193,8 triliun. Jika harga BBM tidak dinaikkan, maka total subsidi naik menajdi Rp 446,8 triliun, Rp 297,7 triliun subsidi BBM. Defisit APBN akan melonjak dari 1,65% menjadi 3,83% terhadap PDB, melampaui angka yang diperbolehkan UU (3%). Namun, meskipun pemerintah berwenang menaikkan harga BBM seperti tercantum dalam Pasal 8 Ayat 10 UU No.19 Tahun 2012 tentang APBN, SBY tidak menggunakannya. Presiden masih mengulur waktu dengan alasan perlu persetujuan DPR. Padahal interaksi pemerintah dengan DPR hanya diperlukan untuk membahas alokasi anggaran karena adanya penghematan subsidi.
Sikap inkosisten ini tampaknya karena kepentingan menyelamatkan citra politik dengan memperlihatkan bahwa semua partai terlibat memutuskan. Namun sebenarnya partai penguasa lah yang memperoleh simpati terbesar karena wewenang menjalankan program kompensasi, terutama berupa bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Jika pemerintah melakukan perencanaan dengan baik, anggaran kompensasi mestinya telah dialokasikan sejak dini di APBN, sehingga pembahasan dengan DPR tidak lagi diperlukan dan keputusan dapat segera diambil.
Wacana subsidi BBM yang berkepanjangan akibat kepentingan menjaga citra politik telah melecehkan kemampuan intelektual dan mempermainkan opini sebagian masyarakat. Hal ini juga telah menimbulkan ketidakpastian ekonomi dan bahkan menambah kesulitan hidup bagi sebagian anggota masyarakat lainnya karena kenaikan harga barang akibat ekspektasi inflasi. Karena itu, Pemerintah dituntut untuk mengambil keputusan dengan sangat segera, dengan mengutamakan kepentingan objektif rakyat dan negara secara berkelanjutan, dibanding kebutuhan politik jangka pendek. Namun keenam langkah kebijakan yang diusulkan di atas tetap menjadi prasyarat ditetapkannya penaikan harga BBM. Jangan pernah menaikkan harga BBM tanpa diiringi dengan pelaksanaan ke-6 langkah kebijakan tersebut![]