#FutureShapers 13 : Bagaimana Menjadi Pemimpin Seperti Soekarno, Gandhi dan Mandela?
Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim
“Apabila dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.” - Soekarno
Beberapa hari terakhir saya membaca buku yang sangat bagus “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,"—sebuah biografi otoritatif tentang presiden pertama kita yang ditulis oleh Cindy Adams. Sudah lama saya mencari-cari buku bagus yang berbicara kehidupan pribadi, perjuangan, dan pemikiran Soekarno dan akhirnya saya menemukan buku ini di kamar Mas Agung Baskoro dan meminjamnya. Biografi Soekarno ini membangkitkan kembali semangat nasionalisme dan membantu saya lebih komplet memahami Indonesia. Dan ada sebuah pelajaran yang ingin saya tekankan dalam artikel ini yang poinnya akan saya sampaikan setelah pemaparan cerita berikut.
Sedikit dari kita yang mungkin tidak mengakui Soekarno sebagai pemimpin yang hebat dan mengagumkan. Sebagian besar dari kita mengakui akan kedahsyatan dan kharisma Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia dan sebagai pemimpin pertama republik ini. Dia merupakan figur yang sangat dicintai masyarakat dan kehadirannya selalu dinanti-nantikan. Lihat saja video ini ketika Soekarno kembali ke Jakarta dari Jogja, ibu kota RI sementara waktu itu. Jutaan rakyat membanjiri lapangan dan jalanan untuk menyambut, melihat, dan mendengarkan Soekarno. Tidak hanya di dalam negeri, di luar negeri pun Soekarno begitu dielu-elukan oleh masyarakat internasional. Lihat saja video Soekarno Go International berikut ketika Soekarno disambut dengan meriah dan penuh hormat di AS.
Prestasinya sebagai pemimpin pun sangat menakjubkan. Ialah perumus utama Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia ini. Prinsip-prinsip di dalam Pancasila ia tawarkan kepada dunia dengan pidatonya di Kantor PBB di New York, AS. Soekarno tidak cukup hanya mempersatukan negara-negara bekas koloni menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ia juga menggalang persatuan negara-negara di Asia Afrika untuk saling membantu dalam perjuangan memerdekakan diri dan lalu membangun gerakan Non-Blok. Berkat prestasinya, 26 universitas di dalam dan di luar negeri memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Soekarno.
Pantas kita bertanya, “Mengapa Soekarno bisa menjadi pemimpin luar biasa dan mengagumkan seperti ini?”
Ketika saya merefleksikan pertanyaan ini, saya teringat sebuah buku yang saya baca beberapa bulan lalu yang ditulis oleh Warren Bennis tentang “On Becoming a Leader.” Dalam buku ini, Bennis menekankan bahwa setiap pemimpin besar dan hebat seperti Franklin D. Roosevelt, Winston Churchill, dan Mahatma Gandhi, dihasilkan dari dan ditempa oleh crucible (ujian berat). James Dimon, Chairman & CEO JP Morgan Chase & Co, juga menekankan tentang hal ini di dalam commencement speech-nya untuk mahasiswa-mahasiswa Harvard Business School ’09: “The most successful leader in this world, like Abraham Lincoln and Nelson Mandela, always had to deal with failure in their lives.”
Menurut saya apa yang dikatakan oleh Bennis dan Dimon di atas sangat relevan untuk menjawab pertanyaan mengapa Soekarno bisa menjadi pemimpin yang luar biasa seperti yang kita kenal. Soekarno mengenyam pendidikan hidup berupa kegagalan dan kesulitan, dan ditempa oleh kepahitan dalam perjuangan dan ujian berat—dan pengalaman-pengalaman inilah yang membentuk karakter, mental, dan kepribadian Soekarno sebagai modal penting untuk tumbuh menjadi pemimpin visioner, kharismatik, dan efektif. Mari sedikit kita tilik perjalanan perjuangan Soekarno yang saya sarikan dari biografinya:
Soekarno lahir dari keluarga yang sangat miskin. Dia tinggal di rumah dan lingkungan yang kumuh di Mojokerto. Tidak setiap hari Soekarno dan keluarganya dapat makan nasi karena harganya mahal. Makanan utama mereka adalah ubi kayu dan jagung yang ditumbuk dengan bahan makanan lain. Ketika lebaran, tidak ada yang namanya pakaian baru. Untuk membeli petasan saja, ketika banyak teman Soekarno mampu membelinya untuk menyambut lebaran, ayah Soekarno tidak memiliki cukup uang untuk itu. Soekarno sangat merasakan kepedihan hidup di keluarga miskin.
Ketika berumur 14 tahun, Soekarno harus meninggalkan keluarganya untuk pergi ke Surabaya melanjutkan sekolah. Di Surabaya Soekarno tinggal dikosan HOS Cokroaminoto yang disana ada sepuluh kamar. Semua kamar di kosan tersebut sama buruknya, tetapi kamar Soekarno–lah yang paling buruk dan terletak di paling ujung. Kamarnya tidak berjendela dan juga tidak berpintu, sehingga sangat gelap. Ia tidur di atas sehelai tikar karena tidak ada kasur dan tidak ada bantal. Walaupun di kamarnya ada stop kontak, Soekarno tidak memanfaatkannya karena harus membayar uang tambahan apabila ingin menyalakan lampu. Soekarno hanya mampu menyalakan pelita sebagai penerang. Karena tidak memilik sepeda, ia pun jalan kaki untuk pergi ke sekolah.
Di sekolahnya, Hoogere Burger School (HBS), Soekarno sering didiskriminasi oleh baik teman maupun gurunya. Tidak pernah ia mendapat nilai tinggi di kelas walaupun hasil kerjaannya paling baik, karena nilai-nilai yang baik hanya untuk anak-anak Belanda. Ketika istirahat, ia hanya bisa bermain dengan teman-teman pribumi lain yang jumlahnya hanya beberapa. Teman-temannya yang keturunan Belanda enggan bermain dengannya. Bahkan sering, Soekarno diludahi oleh teman-temannya ketika Soekarno melakukan sesuatu yang tidak disukai mereka.
Dalam perjuangannya untuk menggalang kekuatan rakyat dan memerdekakan Indonesia, Soekarno harus mengalami masa-masa yang sulit. Pada saat umur 26 tahun, Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan utama partai yakni memerdekakan Indonesia. Perjuangannya menjadi sangat intens berkat bergabungnya semakin banyak rakyat Indonesia di berbagai daerah yang menjadi anggota—dan inilah yang menjadikan Soekarno sebagai sasaran utama Belanda. Suatu ketika, Soekarno mengadakan kunjungan ke Jogja. Di sana, ia bersama beberapa teman ditangkap oleh Belanda lalu dibawa ke Jawa Barat menggunakan kereta untuk dimasukkan ke penjara. Empat tahun Soekarno harus berdiam diri di sel dengan ukuran 1,5 x 2,25 meter tersebut.
Keluar dari penjara, Soekarno tetap konsisten memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan melakukan pidato dan propaganda. Tepat delapan bulan bebas, Soekarno kembali ditahan Belanda karena Soekarno tidak mau menuruti perintah Belanda untuk berhenti aktif dalam dunia politik. Kali ini Soekarno tidak dipenjara, namun dibuang dan diasingkan ke Ende di Pulau Flores yang sangat terpencil. Tetangga-tetangganya enggan berkomunikasi dengan dia karena takut akan dihukum oleh Belanda. Di Ende, Soekarno sakit-sakitan karena memang di lingkungannya terdapat banyak wabah penyakit. Suatu saat Soekarno hampir meninggal karena Malaria. Karena hal tersebut, Belanda memindahkan pembuangannya ke Bengkulu setelah lima tahun di Flores. Di Bengkulu pun ia masih diasingkan dan tidak bisa berkegiatan politik.
Cerita di atas hanyalah sedikit cuplikan perjuangan hidup Soekarno untuk membantu mengilustrasikan betapa ia harus melalui masa-masa sulit sebelum ia berhasil memimpin proses kemerdekaan Indonesia dan menjadi pemimpin yang efektif dan kuat. Kepahitan, ujian berat, keputusasaan, dan kesulitan yang pernah dilewati oleh Soekarno tidak sia-sia pada akhirnya. Karena kecemerlangan Soekarno sebagai pemimpin nasional dan pemimpin dunia tidak terlepas dari hasil pendidikan hidup melalui pengalaman-pengalaman buruk ini.
Level crucible yang sama juga akan kita temukan pada sosok-sosok pemimpin hebat lain yang sampai saat ini belum reda pengaruhnya, misalnya Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, dan Nelson Mandela. Ketika membaca biografi-biografi tokoh-tokoh diatas, kita akan menemukan bagaimana mereka juga ditempa oleh pengalaman hidup yang luar biasa pedih: latar belakang yang tidak menguntungkan, hidup dengan berbagai kekurangan yang menghimpit, menghadapi musuk-musuh yang picik, menerima ketidaadilan, percobaan pembunuhan dsb. Namun mereka bersabar dalam melalui proses ini karena mereka yakin setelah cobaan-cobaan yang menghadang, masa depan yang cerah menunggu. Dan akhirnya sejarahpun menulis kehebatan dan prestasi mereka untuk dunia.
Kita, generasi muda Indonesia, dapat mengambil ibrah dan hikmah penting dari cerita di atas. Perjuangan untuk menjadi pemimpin yang besar, hebat, efektif dan berkarisma tidak mudah. Ia tidak bisa didapat dengan membaca buku, menonton youtube, dan mengikuti pelatihan-pelatihan tentang kepemimpinan. Untuk menjadi pemimpin yang mengagumkan, kita harus melalui jalan-jalan sempit penuh dengan lubang, duri, dan jurang.
Mungkin kita dicerca dan dijauhi oleh teman-teman kita sendiri karena menurut mereka kita menjadi berbeda. Mungkin kita tidak punya banyak waktu untuk bermain layaknya anak muda lain karena kita ada perjuangan yang sedang kita tempuh. Mungkin kita menjalani hari dengan penuh kesederhanaan karena uang sedikit yang kita miliki kita sumbangkan untuk perjuangan. Mungkin kita tidak mendapatkan penghargaan dan apresiasi walaupun kita sudah berjuang sampai berkeringan dan berdarah. Mungkin nilai-nilai kita tidak sebaik teman-teman lain. Dan mungkin, mungkin, mungkin yang lain.
Ingatlah! Itulah harga yang harus dibayar untuk menjadi pemimpin yang mengagumkan. Itulah harga yang juga harus dibayar oleh orang-orang seperti Soekarno, Mahatma Gandhi, dan Nelson Mandela. Memang sangat pedih dan membuat hati ingin menangis pada saat kita melaluinya. Memang sangat menjemukkan dan melelahkan saat kita melewati prosesnya. Namun yakinlah bahwa suatu saat pengorbanan-pengorbanan kita itu akan terbayarkan dengan bayaran yang paling baik. Karena pengorbanan-pengorbanan itulah yang akan membentuk kita menjadi pemimpin yang hebat, berkarakter, efektif, dan kharismatik—sekelompok pemimpin yang dibutuhkan oleh Indonesia dan dunia pada abad-21. Selamat!
#FutureShaper adalah program dari Forum for Indonesia yang merupakan edisi tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan manajemen. Edisi ini ditulis untuk menjadi salah satu bahan inspirasi dan diskusi bagi teman-teman yang ingin mengawali petualangan menjadi pemimpin di lingkungan kita masing-masing.