Kamu Dah Manteb Nang? #1
“kamu dah manteb, Nang? Bener, gak mau kuliah?”
Tak terasa, sudah tiga tahun aku sekolah di SMA. Sepertinya baru kemarin aku diantar Bapak untuk mendaftar di sekolah terfavorit se-kabupaten itu. Dengan nilai yang tak begitu bagus, dan biaya yang tak kuhiraukan, tetapku tempuh dengan tekad dan nekad yang kuat. Dan kini aku tidak akan mengulanginya lagi untuk yang kedua kali. Aku sadar, tak mungkin aku kuliah, biaya sekolah selama ini saja bisa dibilang “ngos-ngisan”, apalagi biaya kuliah.
Tak bisa kubayangkan. Bapak hanya seorang pedagang tradisional yang setiap hari harus tergusur oleh perdagangan system modern. Simbok, hanyalah petani desa yang penghasilannya bisa dikatakan cukup untuk makan saja. Aku tak boleh bermimpi lagi untuk masuk fakultas MIPA UNJ. Tak mungkin lagi untuk membayangkan seperti Roni, yang kuliah di Teknik Elektro ITB. Seperti Dewi, calon dokter dari Universitas Indonesia, atau Rizal, Teknik Fisika Universitas Gajah Mada. Masa depanku seperti kertas buram 50 gram. Agak hitam, lusuh, dan tipis. Tak layak untuk bahan print atau difotokopi. Hanya sekadar sebagai teman corat-corat saat mengerjakan ujian semesteran matematika.
Menunggu esok!!! Aku akan memulai hidup baru di kota harapan sejuta perantau itu. Kota yang seperti bidadari cantik bagi sang pangeran pengejar mimpi. Apalagi kalau bukan untuk mencoba mengadu nasib, atau hanya sekadar menengok keberuntungan saja. JAKARTA. Aku mendengar seruanmu!
*******
“Sambil nunggu ada lowongan kerja, sementara kamu bantu pak de mu dulu yo Nang?”, suara lirih tenang bapak memecah kesunyian pagi buta kala itu.
“nggih pak!”, jawabku patuh, sembari menikmati singkong bakar yang lupa kumakan tadi malam.
“kamu harus menyesuaikan diri nang. Kamu itu numpang. Jadi kamu yang rajin. Jangan kayak di sini!” sambung bapak dengan bijak dan perlahan.
“nggih. emang di Jakarta pak de Paimin ngasto nopo pak?”, tanyaku.
“ pakdemu wiraswasta. Dadi bos tukang tambal ban koyo’e”, jawab bapak
“ hah, tambal ban! Sak estu niku pak!”, nadaku meninggi tak percaya
“iyo. Tapi tenang wae kowe, paling cuma sehari-dua hari. Nanti kamu juga dapet kerjaan. Masa’ di Jakarta gedene itu, gak ada lowongan kerja!”, ujar bapak mencoba menenangkanku.
“rezeki kuwi wis ana sing ngatur, Nang. Kamu gak usah khawatir”, sambung beliau sembari menikmati wedangnya.
*******
Mungkin bagiku ini adalah praktikum Fisika Dasar tentang konsep fluida dinamis. Yaa, mengukur tekanan, menambah tekanan, dan menambal yang bocor supaya fluida tak mengalir keluar dari medianya. Kini profesiku adalah ahli tambal ban. Sang spesialis ban amatiran, tepatnya. Profesi yang tak pernah terbayangkan di arena jalur otakku selama ini. Tak pernah berjalan di lintasan anganku sebelumnya. Pekerjaan yang sangat signifikan mengubah sejarah hidupku.
Terkadang saat menambal ban, dan pikiranku hampa, aku teringat masa sekolah dulu. Saat pelajaran pak Ahmad, guru agama, yang sangat dekat dengan kelas kami. Ketika itu pak Ahmad menanyakan cita-cita kami. Dan kala giliranku, aku menjawab, “cita-cita saya adalah, ingin memberikan sesuatu yang bisa membuat kedua orang tua saya bahagia. Tentunya dengan jerih payah saya sendiri!”. Meledaklah kelas!! Ada yang menahan tawa, ada yang tertawa tapi sembunyi dibalik bangku, bahkan ada yang tertawa geli secara terang-terangan. Aku tak tahu mengapa mereka tertawa. Apa mereka menganggap ini hanyalah lelucon murahan belaka, atau mereka meragukan karena aku hanyalah seorang anak desa yang mencoba menggerakan roda besar kehidupan. Namun, diantara mereka ada juga yang menatapku serius. Ardi. teman sebangkuku. dia seakan menahan tangis di paras mukanya yang putih kerena air wudhu, dan segera kubaca dari mukanya yang mulai memerah dan meneteskan air mata ketulusan. saat aku kembali, “aku yakin Nang, suatu saat nanti, cita-cita akan terwujud, aku yakin!!”,ujarnya. Mana mungkin aku bisa membahagiakan orang tuaku, pekerjaanku saja hanya seorang tukang tambal.
******* (Bersambung)
“nggih mbok. kula dah manteb. Kula tak ngumpulin duit dulu, baru nanti kuliah sendiri”
“yo wis nek ngono, karepmu! Sing penting ati-ati, gek disiapke, opo wae yang mau dibawa besok. ojo nganti lali! Simbok arep turu dhisik, yo?”
“nggih!”, jawabku ringan.
“yo wis nek ngono, karepmu! Sing penting ati-ati, gek disiapke, opo wae yang mau dibawa besok. ojo nganti lali! Simbok arep turu dhisik, yo?”
“nggih!”, jawabku ringan.
Tak terasa, sudah tiga tahun aku sekolah di SMA. Sepertinya baru kemarin aku diantar Bapak untuk mendaftar di sekolah terfavorit se-kabupaten itu. Dengan nilai yang tak begitu bagus, dan biaya yang tak kuhiraukan, tetapku tempuh dengan tekad dan nekad yang kuat. Dan kini aku tidak akan mengulanginya lagi untuk yang kedua kali. Aku sadar, tak mungkin aku kuliah, biaya sekolah selama ini saja bisa dibilang “ngos-ngisan”, apalagi biaya kuliah.
Tak bisa kubayangkan. Bapak hanya seorang pedagang tradisional yang setiap hari harus tergusur oleh perdagangan system modern. Simbok, hanyalah petani desa yang penghasilannya bisa dikatakan cukup untuk makan saja. Aku tak boleh bermimpi lagi untuk masuk fakultas MIPA UNJ. Tak mungkin lagi untuk membayangkan seperti Roni, yang kuliah di Teknik Elektro ITB. Seperti Dewi, calon dokter dari Universitas Indonesia, atau Rizal, Teknik Fisika Universitas Gajah Mada. Masa depanku seperti kertas buram 50 gram. Agak hitam, lusuh, dan tipis. Tak layak untuk bahan print atau difotokopi. Hanya sekadar sebagai teman corat-corat saat mengerjakan ujian semesteran matematika.
Menunggu esok!!! Aku akan memulai hidup baru di kota harapan sejuta perantau itu. Kota yang seperti bidadari cantik bagi sang pangeran pengejar mimpi. Apalagi kalau bukan untuk mencoba mengadu nasib, atau hanya sekadar menengok keberuntungan saja. JAKARTA. Aku mendengar seruanmu!
*******
“Sambil nunggu ada lowongan kerja, sementara kamu bantu pak de mu dulu yo Nang?”, suara lirih tenang bapak memecah kesunyian pagi buta kala itu.
“nggih pak!”, jawabku patuh, sembari menikmati singkong bakar yang lupa kumakan tadi malam.
“kamu harus menyesuaikan diri nang. Kamu itu numpang. Jadi kamu yang rajin. Jangan kayak di sini!” sambung bapak dengan bijak dan perlahan.
“nggih. emang di Jakarta pak de Paimin ngasto nopo pak?”, tanyaku.
“ pakdemu wiraswasta. Dadi bos tukang tambal ban koyo’e”, jawab bapak
“ hah, tambal ban! Sak estu niku pak!”, nadaku meninggi tak percaya
“iyo. Tapi tenang wae kowe, paling cuma sehari-dua hari. Nanti kamu juga dapet kerjaan. Masa’ di Jakarta gedene itu, gak ada lowongan kerja!”, ujar bapak mencoba menenangkanku.
“rezeki kuwi wis ana sing ngatur, Nang. Kamu gak usah khawatir”, sambung beliau sembari menikmati wedangnya.
*******
Mungkin bagiku ini adalah praktikum Fisika Dasar tentang konsep fluida dinamis. Yaa, mengukur tekanan, menambah tekanan, dan menambal yang bocor supaya fluida tak mengalir keluar dari medianya. Kini profesiku adalah ahli tambal ban. Sang spesialis ban amatiran, tepatnya. Profesi yang tak pernah terbayangkan di arena jalur otakku selama ini. Tak pernah berjalan di lintasan anganku sebelumnya. Pekerjaan yang sangat signifikan mengubah sejarah hidupku.
Terkadang saat menambal ban, dan pikiranku hampa, aku teringat masa sekolah dulu. Saat pelajaran pak Ahmad, guru agama, yang sangat dekat dengan kelas kami. Ketika itu pak Ahmad menanyakan cita-cita kami. Dan kala giliranku, aku menjawab, “cita-cita saya adalah, ingin memberikan sesuatu yang bisa membuat kedua orang tua saya bahagia. Tentunya dengan jerih payah saya sendiri!”. Meledaklah kelas!! Ada yang menahan tawa, ada yang tertawa tapi sembunyi dibalik bangku, bahkan ada yang tertawa geli secara terang-terangan. Aku tak tahu mengapa mereka tertawa. Apa mereka menganggap ini hanyalah lelucon murahan belaka, atau mereka meragukan karena aku hanyalah seorang anak desa yang mencoba menggerakan roda besar kehidupan. Namun, diantara mereka ada juga yang menatapku serius. Ardi. teman sebangkuku. dia seakan menahan tangis di paras mukanya yang putih kerena air wudhu, dan segera kubaca dari mukanya yang mulai memerah dan meneteskan air mata ketulusan. saat aku kembali, “aku yakin Nang, suatu saat nanti, cita-cita akan terwujud, aku yakin!!”,ujarnya. Mana mungkin aku bisa membahagiakan orang tuaku, pekerjaanku saja hanya seorang tukang tambal.
******* (Bersambung)
Oleh : Arif Setiyanto