Taklukkan Animisme di Wilis
Batu berukuran besar itu berdiri angkuh, dikelilingi pepohonan yang juga besar. Suasananya nampak angker dan sarat mistik. Selama berpuluh tahun, batu yang oleh warga dinamakan ‘Watu Kandang’ itu dijadikan sebagai tempat memohon keselamatan dan berkah. Masyarakat kerap mengirim sesaji dan minta dikabulkan sejumlah hajat hidup mereka.
Pemandangan menggetirkan itu diamati secara seksama oleh Rokip, pria kelahiran Sudimoharjo, Kabupaten Nganjuk, 38 tahun silam. Ia tidak bisa tidur nyenyak melihat kejadian itu. Ia terus bertanya-tanya, bagaimana mungkin batu dipuja-puja dan dimintai berbagai keinginan?
Yang ada dalam pikiran Rokip, bagaimana mengembalikan keyakinan warga kepada ajaran agama yang benar. Apalagi 100 persen warga yang mendatangi Watu Kandang itu adalah Muslim. “Praktek syirik ini tidak boleh dibiarkan berkepanjangan,” tegasnya.
Maka, pada tahun 2003, usai mendapat gelar SPd. I (Sarjana Pendidikan Islam), Rokip bukannya berburu pekerjaan. Tetapi sebaliknya, ia langsung menyimpan ijazahnya itu di lemari dan bergegas menyelamatkan akidah umat.
Desa tempat batu itu bertengger bernama Desa Tawan Rejo, sebuah desa terpencil yang terdapat di kaki Gunung Wilis Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Desa ini dihuni sekitar 150 KK. Untuk mencapai Tawan Rejo dari pusat kota Nganjuk, bisa ditempuh sekitar 5 jam dengan naik sepeda motor. Sepanjang mata memandang menuju desa ini, dikelilingi hutan pegunungan yang masih hijau dan rindang. Udaranya sejuk, serta airnya yang dingin.
Keterpencilan menjadi semakin lengkap. Sebab, jarak dengan desa tetangga cukup jauh. Desa terdekat seperti Jatirejo, Seluwur, Sudimoharjo berjarak sekitar 5 hingga 7 kilometer. Di Tawan Rejo itulah, Rokip yang alumnus pesantren Miftahul Mubtadi’in Tanjung Anom, Nganjuk itu ingin berkiprah secara total.
Tak Ada Rumah Ibadah
Saat pertama kali Rokip ke Tawan Rejo, di sana tidak ada bangunan masjid, juga tidak ada mushalla yang dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan dan pencerahan bagi warga. Nuansa animisme benar-benar terasa kental. Sebagian besar warga benar-benar buta terhadap ajaran agamanya sendiri. “Keislaman mereka hanya di KTP dan ketika menikah,” ujar Rokip.
Rokip harus putar otak untuk mengatur strategi. Berceramah terus-menerus jelas akan membosankan. Oleh karena itu, Rokip memilih pola pendekatan persuasif. “Dalam dakwah yang saya terapkan, pendekatan pribadi lebih penting. Sebab, jika sudah dekat, dan ada hubungan emosional akan lebih mudah mengajak mereka,” jelas Rokip.
“Terlebih, untuk masyarakat yang sudah terlampau jauh dari Islam dan berperilaku syirik seperti di tempat ini pendekatan dari hati ke hati jauh lebih efektif,” kata lelaki lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul ‘Ula (STAIM).
Karena itu, hampir setiap hari, Rokip door to door mendatangi rumah penduduk. Ibarat pepatah, sambil menyelam minum air. Setelah terjalin hubungan yang erat dan tahu masalahnya, barulah Rokip meluruskan kekeliruan mereka.
Menjawab Ulah Rentenir
Ternyata, satu tantangan belum selesai sudah muncul tantangan lain. Rokip dihadapkan dengan ulah para rentenir. Puluhan warga yang penghasilannya pas-pasan dijerat oleh ‘Si lintah darat’ dengan utang berbunga tinggi. Kehidupan warga menjadi semakin tertekan antara memenuhi kebutuhan isi perut dan jeratan rentenir ini.
Lalu, suami Siti Susena ini berinisiatif membuka Koperasi Unit Desa (KUD) yang di dalamnya menyediakan simpan-pinjam. Bak gayung bersambut, dukungan positif diberikan warga dengan menjadi anggota koperasi. Dalam waktu singkat, aset KUD berkembang cukup pesat, jumlahnya mencapai 15 juta rupiah. Dari modal inilah, koperasi bisa meminjamkan modal usaha kepada masyarakat tanpa harus ada bunga. Masyarakat pun perlahan-lahan terbebas dari rentenir dan semakin “jatuh hati” kepada Rokip.
Kesempatan emas itu digunakan Rokip untuk mengajak mereka kembali kepada Islam. Setiap ada kesempatan, baik secara umum maupun personal, Rokip mulai mengajak masyarakat kembali kepada Islam dan meninggalkan kesyirikan. Satu- dua orang kemudian mengikuti ajakannya. Dari beberapa gelintir orang itu, kemudian bertambah menjadi banyak, hingga hampir 50 persen warga mengkuti dakwah Rokip. Secara perlahan, mereka kemudian diajari ngaji dan diajak mendirikan shalat.
Membangun Masjid
Setelah kesadaran masyarakat untuk berislam bangkit, Rokip kemudian mengajak mereka membuat mushalla. Mereka diajak berpartisipasi dan mengumpulkan dana. Dari sini pelan-pelan terbentuklah mushalla kecil. Masyarakat semakin percaya kepada apa yang dilakukan Rokip.
Selanjutnya, berawal dari mushalla, Rokip pun ingin mengembangkan menjadi sebuah masjid. Ternyata, dukungan warga sangat antusias. Rokip lalu mengajak masyarakat membangun masjid secara bergotong-royong. Ada yang menyumbang uang dari hasil panen. Ada yang menyisihkan tenaga dan waktunya untuk membuat batu-bata yang dilakukan secara beramai-ramai. Suasana desa Tawan Rejo pun terasa semakin kompak.
Setelah hampir satu windu, masjid swadaya masyarakat itu akhirnya berdiri dengan kokoh. Di masjid inilah, Rokip membina akidah masyarakat yang sedang tumbuh itu. Dari masjid ini pula akhirnya Rokip menumbangkan keyakinan mistis masyarakat terhadap “Watu Kandang”.
Bahkan kini, Watu Kandang itu sudah ditinggalkan. Batu yang selama berpuluh tahun dikeramatkan, kini dianggap tak bertuah lagi. Mereka beralih baramai-ramai ke masjid, menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Masjid tersebut juga ramai setiap sore oleh suara anak-anak yang mengaji al-Qur`an.
Terjalnya Jalan Dakwah
Rintangan sudah pasti ada. Ini juga yang dialami oleh Rokip. Ejekan atau hinaan sudah biasa bagi seorang juru dakwah seperti dirinya. “Saya pernah dihina dengan perkataan yang paling jelek, namun saya tetap sabar,” ungkap Rokip, yang menolak menyebutkan hinaan itu. “Tidak enak, Mas,” katanya.
Rokip menyadari, mereka melakukan hal itu lantaran ketidaktahuan mereka terhadap Islam. “Coba, jika mereka sudah tahu, insya Allah tidak akan demikian,” imbuhnya.
Menurut Rokip, rata-rata yang melakukan hal itu adalah orang yang suka judi dan mabuk-mabukkan. Mereka biasanya anak-anak muda. Karena takut aktivitasnya terganggu, mereka sering mengolok-olok Rokip. Menerima hinaan itu, Rokip tak lantas marah. Sebaliknya, ia makin meningkatkan kesabarannya.
Menghadapi anak-anak muda, Rokip punya jurus tersendiri. Ia mendirikan grup nasyid. Grup ini kemudian menjadi terkenal di sekitar desa-desa Tawan Rejo.
Setelah ‘menaklukkan’ Desa Tawan Rejo, Rokip melirik desa tetangganya: Desa Seluwur dan desa kelahirannya sendiri, Sudimoharjo. Sebenarnya, jarak antar ketiga desa tersebut cukup jauh, sekitar 3 hingga 5 kilometer. Jalan yang berkelok-kelok, berbukit dan lebatnya hutan jati di kanan kirinya, menjadi tantangan sendiri bagi Rokip. Apalagi, jika malam hari. Ketika itulah, perjalan dakwahnya hanya ditemani gelapnya malam Gunung Wilis sambil ditemani sepeda motor bututnya. Syukurnya, hingga kini dakwahnya di dua desa tersebut berjalan lancar. *Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah
Dukung dakwah para dai nusantara melalui rekening donasi Bank Syariah Mandiri 7333-0333-07 a/n:Pos Dai Hidayatullah, BNI, no rek: 0254-5369-72 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta, Bank Muamalat no rek: 0002-5176-07 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta. Ikuti juga program dan kiprah dakwah dai lainnya serta laporan di portal www.posdai.com
sumber : www.posdai.com