Bintang Di Tepi Jalan
Langkahku terhenti pada pemuda yang setia pada tas kusut yang melekat dipunggungnya. Mengayuh sepeda seakan dengan kecepatan tinggi dan percepatan nol. Matanya tak menoleh kanan-kiri bahkan ke belakang, tempatku mengikutinya. Topi abu-biru yang seharusnya sudah pensiun masih saja menyertainya. Yaa, Dani saputera. Temanku di jurusan Fisika Universitas Jakarta. Mahasiswa terkontroversi dikelas, bahkan ada yang mengatakan orang yang aneh. Mahasiswa yang suka memberikan kejutan bagi dirinya sendiri, apalagi saat mata kuliah kalkulus. suatu saat hanya dia sendiri yang paham akan materi Taylor Series. Ketika dia disuruh menjelaskan oleh dosen, Otakku dibuat translasi, rotasi dan vibrasi oleh penjelasannya.
Mahasiswa dengan sejuta masalah. Setiap hari mengayuh sepeda ke kampus. Dan saat tiba dikelas, teman-teman yang masih wangi dengan balutan minyak wangi, dia harus mandi dengan keringatnya sendiri. baju yang basah kuyup terutama di punggung. Dan langsung meneguk air putih yang dia tempatkan di bekas botol mineral yang tak jauh beda dengan bentuk wajahnya. Buram. Sepatu hitam yang seperti kelaparan. Mangap di bagian depan, tipis di bagian belakang.
Penuh dengan kekurangan. Menurutku penuh dengan segala kesukaran dan penderitaan. Berbeda dengan Indira, mahasiswi yang selalu mewah, wangi dan berparas cantik. Ke kampus dengan motor matic, menjinjing laptop dengan tas bunga melati merah merekah. Hanya mau berteman dengan mahasiswa yang sekelas dengannya. Ya kalau menurutku sih, sekelas artis yang baru muncul kemarin sore, artis tanggung. Sok berkuasa, sok pinter, dan sok menampakan kekayaan yang sebenarnya hasil dari kristalisasi keringat bapaknya. Dan yang tak kusuka dari dia adalah, dia selalu mengejek Dani dengan sebutan kampungan, desa, bau dan sebagainya. Namun, ucapan seperti itu tak mengurangi sedikit pun kekaguman kami pada sosok pemuda yang satu ini. Satu-satunya pemuda yang mampu menahan tumpuan batu hitam-besar kehidupan.
Sebenarnya handphonenya lebih bagus daripadaku. Namun, pernah Purnomo meminta aplikasi dari dia. Dan ketika diinstall, Handphone Purnomo langsung mati total. Seakan virus ganas menelusuri setiap bagan-bagan handphonenya. Dari situlah dia terkenal dengan sebutan hacker of high class Sehingga tak ada seorangpun yang mau lagi meminta atau menawarkan data apapun. Ya, itulah salah satu guyonan kami bersama dirinya.
Pernah terdengar dari teman dekatnya, Dudul, bahwa keluarganya sebenarnya tidak mendukung dia untuk kuliah. Ya, karena masalah klasik pemuda Indonesia yang mau bangkit, BIAYA. Bapaknya hanya seorang buruh bangunan yang tak tentu penghasilannya, ibunya buruh cuci pakaian tetangga-tetangga. Dan kakaknya hanya seorang pegawai di sebuah perusahaan rokok yang baru diterima dua bulan lalu, sehingga dengan terpaksa dia harus membayar semua biaya kuliah sendiri. tak heran jika saat jam kuliah habis, dia menghilang layaknya spiderman menolong rakyat Amerika. Lenyap!!!! Entah pulang, entah mengajar di bimbingan. Seakan hidupnya seperti sebuah robot mekanik yang hanya kuliah dan kuliah, mengajar dan mengajar. Berbeda denganku yang masih bisa menikmati kuliah ini. Baca gratis di toko buku, ke perpus universitas, nonton film di bioskop, dan lain-lain.
Dan yang lebih menganehkan lagi. Diusianya yang kedua tahun di kampus ini, dia belum pernah jajan sepeserpun. Ke kantin tidak pernah. parkir sepeda, gratis. Sehingga ketika dia jajan seribu rupiah, gemparlah berita terhangat ini di kelas. gembira sekali hati teman sekelas semua. Seolah kasus agung Century terungkap dan markus-markus di Indonesia diadili semua. Sungguh unik.
Tak terasa mukaku pucat, mataku meleleh. Air mata kekaguman dan air mata rintihan. Ternyata, di Indonesia ini masih ada pemuda seperti dia yang tetap tegar melawan ibu kota Jakarta untuk mewujudkan impiannya. Merakit mimpi di malam hari, dan meledakannya di siang hari. Meskipun semua orang mengejeknya, menghinanya, merendahkannya, bahkan seolah tak mengakui akan keberadaannya di kampus kami, dia tetap bertahan, dan mencoba tegak sendiri. Pendiriannya lebih kokoh daripada monas, lambang kecirikhasan Jakarta. lebih luas daripada lumpur akbar Sidoarjo, lebih tinggi daripada sampah Bandar Gebang, Bekasi. Kami menghargainya sebagai teman dan sebagai motivator ulung bagi kami semua. Sedih dan terlamun.
Namun, tangisanku menghantarkan aku pada tiga cabang jalan. Dia ke kiri, arah Pulogadung sedangkan aku ke kanan, arah Pondok kopi. Tetapku tatap langkah dari belakang langkah sepedanya, dan lama-kelamaan menghilang seakan membuktikan bahwa bumi ini bulat.
Sampai jumpa Dan, semoga besok bertemu lagi di mata kuliah psikologi perkembangan jam delapan pagi. Jangan lupa, ajak sepeda tuamu yang sudah uzur itu ya. Selamat jalan Bintang di tepi jalan. Mimpimu masih terlalu panjang untuk kau bangunkan. Jangan pernah menyerah meski sepeda tuamu lelah.
Untukmu, sahabatku…….
Arif Setiyanto | Kontributor Kolom Cembung PenaAksi[dot]com