Return On Ivestment Of Volunteerism
Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim
Pada Sabtu, 22 Juni 2013 kemarin Forum for Indonesia menyelenggarakan Obrolan Sabtu di Yogyakarta dengan tema “Social Media Strategy and Volunteerism.” Saya mendapat jatah untuk berbicara tentang volunteerism, sedangkan Andin Rahmana dan Shofi Awanis lebih berbicara tentang social media strategy. Dalam artikel ini saya ingin menuliskan salah satu poin penting yang saya sampaikan dalam bincang-bincang kemarin, yakni tentang konsep Return on Investment of Volunteerism (ROIV). Konsep ini saya kira bisa membantu kita menjadi volunteer yang lebih cerdas dan bermanfaat. Dan saya ingin agar konsep ini semakin dikenal dan diaplikasikan oleh generasi muda Indonesia yang berminat di dunia kesukarelawanan mengingat sekarang saya melihat gairah positif teman-teman untuk berkegiatan sosial, namun karena tidak ada panduan yang cukup, menghambat kita untuk berkontribusi lebih maksimal.
Ketika tahun pertama kuliah dulu, saya mengikuti sekitar 3-4 organisasi sosial yang memiliki fokus program berbeda-beda. Alasan saya kenapa saya begitu banyak bergabung di organisasi sosial adalah karena saya sangat mencintai kegiatan kesukarelawanan. Harapannya dengan semakin banyak mengikuti organisasi sosial, semakin banyak saya memberikan manfaat sosial kepada masyarakat, dan saya semakin puas dan bahagia karenanya. Enam bulan-delapan bulan, asumsi itu masih saya pertahankan. Namun suatu hari saya merasakan kejenuhan yang luar biasa, lelah dengan padatnya jadwal kegiatan, dan tidak mendapatkan kepuasan serta kebahagiaan yang saya cari. Saya telah mengeluarkan banyak waktu, pikiran, tenaga, dan uang untuk berkegiatan sosial, namun rasanya tidak ada impact signifikan ke dalam diri saya. Kemudian saya memutuskan untuk keluar dari organisasi-organisasi tersebut satu demi satu.
Minat saya membaca buku-buku bisnis dan manajemen mengantarkan saya mengenal sebuah terma Return on Investment (ROI). ROI menurut Investopedia adalah pengukur performa yang digunakan untuk mengevaluasi efesiensi dari suatu investasi. ROI bisa juga digunakan untuk membandingkan efisiensi dari beberapa investasi yang berbeda. Cara untuk menghitung ROI ialah keuntungan (return) dari investasi dibagi dengan biaya (cost) dari investasi. Contoh sederhananya misalnya Si A berinvestasi Rp 2,5 milyar untuk membuat dan menghidupi kafe selama satu tahun. Kemudian dalam waktu satu tahun return yang didapat adalah Rp 7,5 milyar. Dengan perhitungan ini, ROI yang didapat orang tersebut ialah 200% (7,5m-2,5m/2,5mx100%).
Saya tertarik untuk meminjam ROI pada konteks kesukarelawanan. Tetapi karena saya belum memiliki kapasitas untuk membuatnya sebagai analisis kuantitatif (karena membutuhkan persamaan-persamaan matematika yang rumit dan kepakaran di berbagai model analisis regresi), untuk sementara waktu saya hanya ingin membuatnya sebagai analisis kualitatif. Persentase ROIV saya samakan dengan “kepuasan batin dan kebahagiaan;” return saya samakan dengan “perubahaan sosial yang terjadi berkat kegiatan kesukarelawan kita;” sedangkan cost yang samakan dengan “waktu, uang, energi, dan pikiran yang kita sumbangkan untuk kegiatan kesukarelawanan.”
Dengan memahami konsep di atas, kita akan mengerti bahwa kita akan mendapatkan persentase ROIV yang tinggi apabila kita mengkonsentrasikan cost (waktu, uang, energi, dan pikiran) kita untuk satu aktifitas kesukarelawanan pada isu yang benar-benar kita minati. Karena dengan hal ini cost yang kita keluarkan akan jauh lebih efisien dan bold. Kemudian, return yang akan kita lihat akan semakin besar apabila kita melakukan kegiatan terfokus pada satu hal yang benar-benar kita minati. Karena apabila kita memilih berbagai kegiatan kesukarelawanan terpisah-pisah, maka return-nya akan terbagi-bagi ke dalam bagian-bagian yang kecil sehingga persentase ROIV yang kita dapatkan rendah. Atau dengan kata lain di posisi persentasi ROIV rendah, kita tidak terlalu merasakan kepuasan batin dan bahagia dengan kegiatan volunteerism kita karena kita tidak melihat return (berupa manfaat sosial) yang besar.
Untuk memudahkan pemahaman konsep di atas, mari kita melihat contoh. Si B adalah orang memilih menjadi volunteer pada satu kegiatan yang benar-benar dia sukai, sedangkan si C menjadi volunteer di lima kegiatan sosial yang berbeda-beda. Si A dan Si B memiliki sumber daya yang sama dari segi waktu, uang, energi, dan pikiran untuk diberikan pada kegiatan kesukarelawanan tersebut. Sebut saja apabila semua resources terebut dikonversikan dalam rupiah (untuk menyederhanakan penjelasan) B dan C jumlahnya adalah Rp 30 juta. Si B menginvestasikan Rp 30 juta pada satu kegiatan, sedangkan Si C menginvestasikan pada lima kegiatan yang masing-masing Rp 6 juta. Kita asumsikan performa profitabilitas kegiatan kesukarelawanan Si B adalah 50% karena diuntungkan dengan kefokusan dan konsentrasi kegiatan. Sedangkan Si C hanya 30% karena dirugikan oleh multitasking (silahkan baca buruknya multitasking bagi efisiensi dan produktifitas di artikel berikut: artikel 1, artikel 2, artikel 3, dan artikel 4). Dari skenario tersebut, berapa ROIV yang diraih keduanya?
Jawabannya adalah Si B akan mendapatkan ROIV 50%, sedangkan Si C hanya akan mendapatkan ROIV 30%. Jumlah net return yang didapat B adalah Rp 15 juta, sedangkan C adalah 2 juta pada masing-masing kegiatan (atau 10 juta apabila diakumulasikan). Karena Si B mendapatkan ROIV lebih tinggi baik secara absolut maupun secara persentase daripada Si C, maka kita bisa menyimpulkan bahwa Si B mendapatkan greater satisfaction and happiness dibanding Si C. Si B merasa demikian karena ia merasa bahwa kontribusinya lebih signifikan dan memberikan dampak nyata yang bisa dilihat dari aktivitas volunteerism-nya.
Konsep ini masih versi Beta (plain) dan harus saya perbaiki lagi seiring pengetahuan dan kemampuan analisis kuantitatif saya bertambah, sehingga asumsi-asumsi yang digunakan bisa lebih valid dan perhitungan-perhitungannya lebih akurat. Namun yang sementara ini ingin saya sampaikan adalah bahwa untuk menjadi volunteer yang lebih cerdas dan bijak, salah satunya adalah dengan menghindari ikut kegiatan secara terlalu impulsive—tanpa dipikir serius. Tujuan berkegiatan kesukarelawanan adalah menciptakan manfaat sosial bagi orang lain atau lingkungan disekitar kita, hal itu seharusnya menjadi salah satu perhitungan penting. Konsep ROIV di atas telah mengilustrasikan bahwa kita akan bisa memberikan perubahan yang lebih signifikan apabila kita mengkonsentrasikan kegiatan kita pada isu yang benar-benar sesuai dengan hasrat dan minat kita. Konsep di atas pula yang membantu saya untuk memfokuskan kegiatan pada hal yang benar-benar saya cintai sehingga saya merasa lebih produktif, puas, dan bahagia. Semoga konsep ini bisa membantu lebih banyak lahirnya volunteer yang lebih kontributif di sekitar kita.
#FutureShaper adalah program dari Forum for Indonesia yang
merupakan edisi tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan manajemen.
Edisi ini ditulis untuk menjadi salah satu bahan inspirasi dan diskusi
bagi teman-teman yang ingin mengawali petualangan menjadi pemimpin di
lingkungan kita masing-masing.