Suka Duka Perjuangan DaI di Daerah Pelosok Kupang NTT
HATI Robith begitu bahagia ketika melihat anak-anak didiknya bisa baca tulis al-Qur’an. Meski panas teri begitu menyengat, ia tak pernah letih dan tetap tegar mendampingi anak-anak agar bisa membaca al-Quran. Robith adalah lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammad Natsir Jakarta.
Robith ditugaskan pertama ke Pulau Kera Kabupaten Kupang NTT beberapa bulan yang lalu. Meski baru pertama kali terjun di medan dakwah, baginya ini sebuah pengalaman sangat luar biasa yang tak akan pernah dia dapatkan di kampus.
“Apa yang saya rasakan sekarang adalah pelajaran hidup yang berharga, kebahagian yang sulit digambarkan oleh kata-kata. Saya serong menetes air mataketika melihat anak-anak bisamengaji. Apa yang selama ini saya dapatkan di bangku kuliah sangat sedikit, tapimanfaatnya begitu besar untuk mereka,” ujarnya kepada hidayatullah.com.
Baru beberapa bulan saja di Pula Kera, Robith mengaku kulitnya langsung berubah kehitam-hitaman.
“Mudah-mudahan Allah akan mengannti kulit saya kelak di yaumul qiyamah, ” ujar pria kelahiran Temanggung Jawa Tengah ini berharap. Maklum saja di Pulau Kera sulit untuk mendapatkan air bersih untuk mandi, cuci dan minum.
Berbeda dengan Amanda Ikramatullah. Lelaki asal Madura inipun punya kisah tidak kalah menarik. Perjalanan dakwah hingga sampai ke Pulau Kera sudah lebih 10 bulan. Awalnya, ketika pertama kali akan ditugaskan di pula ini, terbayang dalam benaknya pulau ini banyak monyet, sesuai namanya. Akan tetapi saat kakinya mendarat tak seekor monyet yang nampak berkeliaran.
Yang ada justru terdengar suara anak-anak mengaji dari sebuah mushollah kecil yang sederhana. Kala itu ia memperhatikan anak-anak tampak asyik mengikuti kegiatan Taman Pendidikan Qur’an (TPA) yang dilakukan setiap pagi dan sore hari.
Semangat dan ketekunan yang selalu ditunjukan anak-anak Pulau Kera membuat lulusan pesantren Abu Hurairah Sepeken, Madura Jatim ikut menjadi ceria dan gembira. Terutama ketika melihat anak didiknya menampakkan semangat dan ketekunan belajar.
Tidak heran jika tadinya anak yang kurang menangkap pelajaran saat diterangkan bacaan panjang dan pendek huruf hijaiyah, merekapun cepat menangkap pelajaran yang diterangkan.
“Suatu kesyukuran saat anak-anak itu bisa cepat menangkap apa yang dijelaskan,” ucap Amanda. Lain hal kalau anak-anak yang menangkap pelajaran agak lambat, biarpun dijelaskan dengan bahasa setempat tetap saja ada yang kurang paham, tambahnya.
Yang menarik menurut Amanda, mayoritas masyarakat yang mata pencaharian adalah nelayan membuat watak dan tutur katapun terdengar keras seolah kasar. Namun hatinya sangat lembut.
Selain Robith dan Amanda ada pula pengalaman Muhammad Saharuddin. Saharuddin, kelahiran Pulau Gili Genting, Madura Jatim adalah lulusan STAIL PP Hidayatullah Surabaya.
Saat pertama kali akan dibacakan penugasannya untuk dakwah, Sahar, demikian panggilan akrab Saharuddin tidak mengetahui sama sekali di mana dia akan ditugaskan. Pikirnya dia akan ditugaskan di Sumatra, Jawa atau Sulawesi.
Namun ketika dibacakan Surat Keputusan (SK) penugasan ke Kupang Barat, NTT, saat itu juga gema takbir keluar dari lisannya memekkikan ruangan wisuda.
Setelah dibacakan SK, diapun berpamitan sama para guru dan keluarganya di Pulau Gili Genting Madura dan segera menuju tempat tugas.
Setiba di Kupang ia dijemput Ustad Aldo. Sudah menjadi tradisi saat tamu yang hadir di Kampus Hidayatullah Kupang Barat selalu dipersilahkan memperkenalkandiri. Saat akan memperkenalakan diri, Saharuddin menatap wajah para santri. Tapi betapa kagetnya, menurutnya wajahnya hampir mirip semua.
“Hampir semua wajah santri sama danmirip-mirip,” ujarnya mengenang.
Sudah satu tahun lebih Sahar ditugaskan di Kota Karang, banyak pengalaman menarik yang didapatkan di antaranya, saat dirinya diamanahkan mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Kelas VII, VIII, IX MTs dan XI MA ia lenih suka membawa para siswanya keluar ruangan sekaligus melihat alam semesta ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sebenarnya, membawa anak-anak ke luar ruangan dilakukannya mengingat kondisi buku panduan belajar di daerah itu sangat minim. Karena itu Sahar berharap ada pihak-pihak yang ikut memperhatikan nasib anak-anak ini dengan menyumbangkan buku-buku yang menunjang pengetahuan mereka.
Meski terbatas, Sahar bukan tipe yang pesimis. Dia yakin, suatu hari nanti di tempatnya mengabdikan ilmu ini akan menjadi sekolah bermutu di daratan Timor dan sekitarnya.Tidak hanya itu ia bahkan berharap di tempat ini akan lahir generasi Islam yang melahirkan ilmuwan-limuwan Muslim yang memumpuni dan melanjutkan estafeta perjuangan Islam di NTT ke depan.*/Usman Aidil Wandan, kontributor hidayatullah.com Kupang NTT.
Robith ditugaskan pertama ke Pulau Kera Kabupaten Kupang NTT beberapa bulan yang lalu. Meski baru pertama kali terjun di medan dakwah, baginya ini sebuah pengalaman sangat luar biasa yang tak akan pernah dia dapatkan di kampus.
“Apa yang saya rasakan sekarang adalah pelajaran hidup yang berharga, kebahagian yang sulit digambarkan oleh kata-kata. Saya serong menetes air mataketika melihat anak-anak bisamengaji. Apa yang selama ini saya dapatkan di bangku kuliah sangat sedikit, tapimanfaatnya begitu besar untuk mereka,” ujarnya kepada hidayatullah.com.
Baru beberapa bulan saja di Pula Kera, Robith mengaku kulitnya langsung berubah kehitam-hitaman.
“Mudah-mudahan Allah akan mengannti kulit saya kelak di yaumul qiyamah, ” ujar pria kelahiran Temanggung Jawa Tengah ini berharap. Maklum saja di Pulau Kera sulit untuk mendapatkan air bersih untuk mandi, cuci dan minum.
Berbeda dengan Amanda Ikramatullah. Lelaki asal Madura inipun punya kisah tidak kalah menarik. Perjalanan dakwah hingga sampai ke Pulau Kera sudah lebih 10 bulan. Awalnya, ketika pertama kali akan ditugaskan di pula ini, terbayang dalam benaknya pulau ini banyak monyet, sesuai namanya. Akan tetapi saat kakinya mendarat tak seekor monyet yang nampak berkeliaran.
Yang ada justru terdengar suara anak-anak mengaji dari sebuah mushollah kecil yang sederhana. Kala itu ia memperhatikan anak-anak tampak asyik mengikuti kegiatan Taman Pendidikan Qur’an (TPA) yang dilakukan setiap pagi dan sore hari.
Semangat dan ketekunan yang selalu ditunjukan anak-anak Pulau Kera membuat lulusan pesantren Abu Hurairah Sepeken, Madura Jatim ikut menjadi ceria dan gembira. Terutama ketika melihat anak didiknya menampakkan semangat dan ketekunan belajar.
Tidak heran jika tadinya anak yang kurang menangkap pelajaran saat diterangkan bacaan panjang dan pendek huruf hijaiyah, merekapun cepat menangkap pelajaran yang diterangkan.
“Suatu kesyukuran saat anak-anak itu bisa cepat menangkap apa yang dijelaskan,” ucap Amanda. Lain hal kalau anak-anak yang menangkap pelajaran agak lambat, biarpun dijelaskan dengan bahasa setempat tetap saja ada yang kurang paham, tambahnya.
Yang menarik menurut Amanda, mayoritas masyarakat yang mata pencaharian adalah nelayan membuat watak dan tutur katapun terdengar keras seolah kasar. Namun hatinya sangat lembut.
Selain Robith dan Amanda ada pula pengalaman Muhammad Saharuddin. Saharuddin, kelahiran Pulau Gili Genting, Madura Jatim adalah lulusan STAIL PP Hidayatullah Surabaya.
Saat pertama kali akan dibacakan penugasannya untuk dakwah, Sahar, demikian panggilan akrab Saharuddin tidak mengetahui sama sekali di mana dia akan ditugaskan. Pikirnya dia akan ditugaskan di Sumatra, Jawa atau Sulawesi.
Namun ketika dibacakan Surat Keputusan (SK) penugasan ke Kupang Barat, NTT, saat itu juga gema takbir keluar dari lisannya memekkikan ruangan wisuda.
Setelah dibacakan SK, diapun berpamitan sama para guru dan keluarganya di Pulau Gili Genting Madura dan segera menuju tempat tugas.
Setiba di Kupang ia dijemput Ustad Aldo. Sudah menjadi tradisi saat tamu yang hadir di Kampus Hidayatullah Kupang Barat selalu dipersilahkan memperkenalkandiri. Saat akan memperkenalakan diri, Saharuddin menatap wajah para santri. Tapi betapa kagetnya, menurutnya wajahnya hampir mirip semua.
“Hampir semua wajah santri sama danmirip-mirip,” ujarnya mengenang.
Sudah satu tahun lebih Sahar ditugaskan di Kota Karang, banyak pengalaman menarik yang didapatkan di antaranya, saat dirinya diamanahkan mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Kelas VII, VIII, IX MTs dan XI MA ia lenih suka membawa para siswanya keluar ruangan sekaligus melihat alam semesta ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala.
Sebenarnya, membawa anak-anak ke luar ruangan dilakukannya mengingat kondisi buku panduan belajar di daerah itu sangat minim. Karena itu Sahar berharap ada pihak-pihak yang ikut memperhatikan nasib anak-anak ini dengan menyumbangkan buku-buku yang menunjang pengetahuan mereka.
Meski terbatas, Sahar bukan tipe yang pesimis. Dia yakin, suatu hari nanti di tempatnya mengabdikan ilmu ini akan menjadi sekolah bermutu di daratan Timor dan sekitarnya.Tidak hanya itu ia bahkan berharap di tempat ini akan lahir generasi Islam yang melahirkan ilmuwan-limuwan Muslim yang memumpuni dan melanjutkan estafeta perjuangan Islam di NTT ke depan.*/Usman Aidil Wandan, kontributor hidayatullah.com Kupang NTT.
Dukung dakwah para dai nusantara melalui rekening donasi Bank Syariah Mandiri 7333-0333-07 a/n:Pos Dai Hidayatullah, BNI, no rek: 0254-5369-72 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta, Bank Muamalat no rek: 0002-5176-07 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta. Ikuti juga program dan kiprah dakwah dai lainnya serta laporan di portal www.posdai.com
sumber : www.posdai.com