Tarbiyah Nabi Terhadap Generasi Islam Yang Pertama ( 4 )
Jelas Benderanya dan Terang Tujuannya serta Tidak Bercampur Dengan Pemikiran Lain.
Karena itu, ketika kaum Quraisy menawarkan beliau untuk bergantian menyembah tuhan-tuhan mereka setahun dan mereka akan menyembah Allah setahun, maka Nabi SAW berkata kepada mereka :
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir!”
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”. (QS. Al Kafirun : 1-2)
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya)”. (QS. Ghafir : 14)
Kita wajib mengumandangkan tujuan kita sejak pertama kali melangkah, kita tidak boleh bersembunyi (berkamuflase) di bawah bendera nasionalisme untuk menyampaikan agama kita kepada manusia. Dan kita tidak boleh bersembunyi di dalam Partai Ba’ats untuk memberikan manfaat bagi dien kita, dan kita tidak boleh masuk organisasi sosialis supaya kita dapat menyampaikan da’wah kita, dan kitapun tidak boleh masuk yayasan-yayasan buatan manusia dengan persangkaan bahwa dengan jalan itu kita akan mampu untuk berkhidmat kepada dien ini dan menegakkannya.
Sesungguhnya percampuran tujuan sejak pertama kalinya akan menyesatkan jalan kita dan menyesatkan jalan manusia. Dan mereka tidak tahu apa yang mereka ikuti. Karena itu Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam sejak awal telah memproklamasikan tujuannya kepada orang-orang Quraisy : “Sembahlah olehmu sekalian, Allah, dan tidak ada bagi kamu ilah selainNya” Dan Nabi Saw terus menerus menyeru kepada pengikutnya untuk memegang prinsip tersebut dalam perasaan dan hati mereka, sejak bermulanya da’wah sampai beliau bertemu Rabbnya. Dan beliau senantiasa menyeru kepada pengikutnya supaya tidak menyerupakan diri dengan orang-orang kafir. Beliau bersabda :
“Barangsiapa menyerupakan diri dengan suatu kaum, maka ia termasuk diantara mereka”
Tatkala para sahabat mengajukan permintaan kepada beliau : “Buatkanlah kami anwath (yakni pohon yang dipakai oleh orang-orang jahiliyah untuk menggantungkan senjata), sebagaimana mereka”, maka Rasulullah SAW betul-betul marah, lantas beliau bersabda :
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (jejak) orang-orang sebelum kalian jengkal demi jengkal, hasta demi hasta, depa demi depa; sehingga andaipun salah seorang diantara mereka masuk ke dalam lubang biawak, kalianpun akan memasukinya”. [i]
Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam melarang kaum muslimin meniru-niru orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang kafir dalam hal ibadah, pakaian dan tunggangan. Jika anda mau, maka bacalah kitab “Iqtidha Ash Shirathal Mustaqim fie Mukhalafati Ash-habul Jahim” , karangan Imam Ibnu Taimiyah.
Umat Islam telah dibatasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam hal penopang-penopangnya, dan menjadikannya sebagai satu-satunya penopang, yakni menjadikan aqidah sebagai kebangsaannya, Darul Islam sebagai tanah airnya, Rabbnya sebagai penguasa tunggal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai undang-undangnya. Penggambaran tentang tanah air, kebangsaan dan kekeluargaan yang amat tinggi inilah yang mesti tertanam dalam jiwa da’i yang menyeru manusia ke jalan Allah. Sehingga pokok persoalannya menjadi jelas, dimana da’wah tersebut tidak tersusupi ke dalamnya syirik khufyah (syirik yang tersembunyi). Syirik dengan bumi, syirik dengan kebangsaan, syirik dengan kerakyatan, syirik dengan nasab/keturunan, syirik dengan manfaat-manfaat kecil yang cepat diraih.
Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam telah menyatakan dengan tegas perihal qaumiyah (kebangsaan/ kerakyatan) : “Tinggalkanlah kebangsaan itu karena sesungguhnya ia adalah sesuatu yang busuk baunya”. Sesuatu yang menebarkan bau yang memualkan dan memuakkan. Maka beliau berkata kepada mereka yang mengucapkan kata-kata busuk lagi sia-sia itu :
“Hendaklah kaum yang membanggakan nenek moyang mereka itu menghentikan (perbuatannya) atau mereka itu menjadi kaum yang lebih hina di hadapan Allah daripada seekor gambreng”.
Gambreng adalah serangga yang lebih kecil daripada jangkerik yang kebiasaannya menggelindingkan kotoran (manusia/binatang lain) dengan ujung tanduknya yakni seperti orang-orang Ba’ats dan orang-orang nasionalis serta konco-konconya. Mereka itu serupa dengan gambreng-gambreng yang teronggok di tong-tong kotoran kebangsaan.
Fondasi yang kelima :
Membangun Qa’idah Shalabah (Kelompok Inti).
Qa’idah shalabah ini menjadi fokus pembinaan Nabi Shallallahu Alayhi Wa Sallam dalam tempo yang lama. Dari kelompok ini muncul tokoh-tokoh berkualitas, seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, Mush’ab, Hamzah, dan lain-lain. Kelompok yang dibina di Madinah Munawarah ini, pada saat terjadinya kemurtadan massal di wilayah jazirah Arab yang telah dikuasai Islam, dapat mengembalikan seluruh jazirah kepada kendali kekuasaan Islam, dikarenakan kuat dan solidnya kelompok tersebut.
Kelompok inilah yang telah melahirkan tokoh sekaliber Abu Bakar, dimana pada saat beberapa kabilah Arab menolak membayar zakat (sepeninggal Nabi saw), dia berdiri dan berkata dengan tegas, “Demi Allah, sekiranya mereka mencegahku untuk memungut anak kambing (dalam riwayat lain dikatakan onta betina) yang dahulu mereka bayarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam, pasti aku akan memerangi mereka, atau aku akan binasa karenanya”. Ketika salah seorang dari kelompok itu yang semisal dengan Abu Bakar, membujuknya supaya bersikap lebih lunak dan mempertimbangkan kembali keputusannya, maka yang dikatakannya adalah : “Demi Allah, sekiranya binatang-binatang buas masuk ke kota Madinah dan menyeret kaki isteri-isteri Nabi SAW dari rumah mereka, aku tetap tidak ragu dan tidak akan berhenti”.
Bagaimana kelompok ini dibangun ? Bagaimana qa’idah shalabah ini dibina ? Bagaimana prototipe yang tinggi ini dibangun ? Kelompok ini, bangunan yang besar ini, semuanya ditegakkan diatas empat penopang saja Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam sangat memperhatikan pembinaan penopang-penopang ini:
Pertama : Lamanya penggemblengan. Kita harus tahu apa maksud dari lama pengemblengan itu? Yaitu lamanya pengemblengan seorang komandan terhadap prajurit-prajurit yang berada di sekelilingnya. Dari Darul Arqam, tempat dimana beliau menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membina generasi pilihan. Kemudian hijrah, ketika beliau memerintahkan setiap mu’min berhijrah bersamanya, agar mereka dapat berada di sekelilingnya untuk mendapatkan pengarahan dan bimbingan.
Ketika ada seorang Arab Badui datang kepadanya, beliau meminta untuk memberikan bai’at (janji setia)nya untuk tinggal di Madinah — adalah beliau saw membai’at orang-orang sesudah hijrah untuk tetap tinggal di Madinah– Lantas Arab Badui itu memberikan bai’atnya untuk tetap tinggal di Madinah. Beberapa hari kemudian dia mereka tidak betah. Akhirnya dia datang kepada Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam dan berkata, “Tariklah bai’atku”. Namun Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam menolaknya. Lantas orang tersebut nekad dan meninggalkan Madinah. Maka Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Madinah ini seperti peniup api pandai besi yang menghilangkan kotorannya dan memurnikan kebaikannya”. (HR. Al Bukhari dalam Shahihnya).
Jika demikian yang dimaksud dengan lamanya penggemblengan adalah lamanya waktu tarbiyah (pembinaan).
Kedua: Pembinaan ruhani/mental.
Pembinaan ruhani dapat dicapai dengan banyak sarana. Yang terpenting pada permulaannya adalah Qiyamul Lail (shalat tahajjud).
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu, Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”. (QS. Al Muzzamil : 1-5)
Semua ini diperintahkan supaya jiwa Nabi SAW dapat memikul perkataan berat tersebut. Pada permulaan da’wah, qiyamul lail merupakan perkara wajib atas Nabi SAW dan para sahabatnya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (QS. Al A’raf : 170)
Dua penopang pokok bagi orang-orang yang mengadakan perbaikan (mushlih), yakni: berpegang teguh kepada Al Kitab dan mendirikan shalat.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. (QS. Al Baqarah : 45)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. Al Baqarah : 154)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (QS. Al Anfal : 45)
Di medan pertempuran hendaklah kamu menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya agar kalian mendapatkan kemenangan. Rasulullah SAW senantiasa berdzikir kepada Allah setiap saat.[ii] Apabila beliau keluar dari kamar mandi/kamar kecil, beliau selalu mengucapkan do’a:
“Ampunilah kami ya Allah”. [iii]
yakni Ampunilah aku ya Allah, dari selang waktu terputusnya dzikir ku kepadaMu.
Demikian juga, menyebarkan rasa kecintaan sesama sahabatnya serta menanamkan sifat mengutamakan kepentingan bagi saudara-saudaranya se-dien (seagama).
“Mereka (orang-orang Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr : 9)
Demikian juga menyebarkan rasa percaya diantara mereka. Adalah Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam, apabila ada seorang sahabat datang kepadanya berbicara mengenai kekurangan salah seorang sahabat yang lain, maka beliau bersabda kepadanya :
“Janganlah salah seorang sahabatku menyebut aib sahabat yang lain kepadaku, sesungguhnya aku lebih suka keluar menjumpai kalian dalam keadaan salamatush shadr (lapang dada)”. (Hadits Hasan riwayat Abu Dawud).
Hendaknya para da’i memperhatikan persoalan ini. Mereka yang mencabik-cabik daging saudaranya atas nama mashalahat da’wah, atas dalil mengenal para pengikut da’wah dan mereka yang memandang sebelah mata kehormatan seseorang: “Janganlah salah seorang sahabatku menyebut aib sahabat yang lain kepadaku, sesungguhnya aku lebih suka keluar menjumpai kalian dalam keadaan lapang dada”.
Demikian pula, Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam menyebut kebaikan-kebaikan para sahabatnya ketika melakukan kesalahan, ketika Hathib bin Abu Balta’ah melakukan kesalahan, yakni mengirimkan sebuah surat kepada kaum Quraisy mengenai rencana Nabi SAW, maka ‘Umar bin Khaththab berkata kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah SAW, izinkanlah aku memenggal leher orang munafik ini?”
Beliau bersabda : “Hai ‘Umar, tidakkah engkau mengetahui bahwa dia ikut serta dalam Perang Badar. Seakan-akan Allah melihat isi hati para ahli Badar, lalu Dia berfirman : “Lakukanlah sekehendak kamu, sesungguhnya Aku telah memberikan ampunan bagimu”. [iv]
[i] Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinyatakan shahih oleh Al Bani dalam kitabnya “Hijabul Al Muslimah”
[ii] Nash Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra, dikeluarkan oleh Muslim dalam shahihnya
[iii] Shahih, dari ‘Aisyah ra (Lihat Nailul Authar I : 86)
[iv] Asal kisah diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya.