Tersenyum di Saat Musibah
Apakah Anda mampu tersenyum saat bisnis Anda hancur berantakan, padahal sebelumnya bisnis Anda sedang maju-majunya? Mampukah Anda tetap tersenyum dan bersikap wajar sementara keadaan ekonomi Anda begitu terpuruk dan Anda dililit banyak hutang? Tidak banyak orang yang mampu bersikap seperti ini. Tapi saya mengenal salah seorang di antaranya, yaitu teman saya, sebut saja namanya Bisri.
Bisri merupakan seorang pemuda yang ulet dan supel. Ia sudah mulai terjun ke dunia bisnis ketika masih berkuliah di STEI Ahmad Dahlan Ciputat. Walaupun berasal dari daerah, ia cepat akrab dengan orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya di Jakarta. Malah dapat dikatakan, gayanya sangat mirip dengan orang Jakarta sendiri.
Sejak tahun 1999, ia memulai sebuah usaha kecil dengan cara membuka sebuah warung sembako di sebuah gang sempit di wilayah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Warung tempat usahanya itu berlokasi tak terlalu jauh dari Kali Ciliwung yang membatasi Pasar Minggu dan Condet, benar-benar sebuah tempat yang sederhana dan bersahaja. Ia memulai usahanya berdua dengan seorang temannya, masing-masing mengeluarkan modal sebesar 5 juta rupiah. Walaupun demikian, temannya hanya berperan sebagai investor dan tidak terlibat langsung dengan aktivitas bisnisnya secara langsung. Bisri sendirilah yang memutar modal tersebut menjadi sebuah usaha yang mampu bertahan, bahkan berkembang, selama beberapa tahun. Lewat bisnis sederhana tersebut, masing-masing investor bisa memperoleh keuntungan sebesar 400 ribu rupiah setiap bulannya.
Kurang lebih dua tahun kemudian, Teman saya ini menikah. Ia kemudian mengontrak sebuah rumah pada awal tahun 2001 yang ia jadikan sebagai sebuah tempat usaha baru, sekaligus sebagai tempat tinggal bersama istrinya. Semula ia memfokuskan diri pada bisnis beras di warungnya yang baru ini, tapi belakangan ia mengurangi bisnis beras dan menjadikan warung barunya ini sebagai warung sembako dengan harga grosir. Pada akhir 2001, ia menutup toko pertamanya dan memusatkan perhatian pada toko keduanya. Kali ini, ia menjadi pemilik tunggal dari usaha tersebut.
Usahanya sedikit demi sedikit merayap naik dan semakin maju. Sebetulnya pada masa-masa inilah saya mulai mengenal Bisri. Saya kagum dengan ketekunan dan kepercayaan dirinya mengelola bisnis. Ia sama sekali tidak tampak seperti seorang sarjana S1. Ia tidak malu untuk terjun di bisnis kecil semacam ini. Walaupun bisnisnya masih terbilang kecil, saya percaya lama kelamaan ia akan mampu meluaskan cakupan usahanya.
Dugaan saya sama sekali tidak meleset. Pada tahun 2003 ia mulai melakukan ekspansi bisnis. Melalui suntikan dana investor, ia berhasil membuka toko di tempat lain. Ia membuka sebuah toko sembako baru di daerah Kemuning, masih di wilayah Pasar Minggu. Pada tahun 2004, ia membuka sebuah toko baru lagi di daerah Srengseng. Jadi total ia memiliki tiga buah toko. Untuk menjalankan usahanya yang semakin berkembang itu, ia tentu saja memerlukan pekerja-pekerja baru untuk menjaga toko-toko tersebut, dan ia juga memerlukan alat transportasi yang memungkinkannya mengambil barang dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tokonya. Untuk keperluan SDM baru, ia merekrut keponakan-keponakannya sendiri. Sementara untuk menopang keperluan alat transportasi, ia membeli sebuah mobil pick up seharga 19 juta rupiah dengan cara mencicil.
Pada tahun 2004, ketika saya sendiri masih jungkir balik berjualan donat dan hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan, saya mendapati bisnis sahabat saya ini mulai menanjak. Saya turut bersyukur melihat kemajuan usahanya. Semakin hari saya dapati kesibukannya makin meningkat. Setidaknya saya menitipkan beberapa kotak donat saya di dua buah tokonya. Saya melihat masa depan bisnis kawan ini sangat cerah. Barangkali suatu saat nanti dia bakal memiliki minimarket, atau supermarket, atau mungkin juga beberapa bisnis besar lainnya.
Pada pertengahan tahun 2004 saya berangkat untuk melanjutkan kuliah di Malaysia dan menjadi semakin jarang berkomunikasi dengan sahabat saya ini. Saya tidak mengikuti lagi perkembangan bisnisnya. Walaupun pada awalnya kami masih suka berkirim sms, tapi belakangan hal itu tidak terjadi lagi disebabkan waktu dan kesibukan kami masing-masing. Saya kadang mengunjunginya di hari-hari liburan yang pendek ketika saya berada di Jakarta dan saya sempat mendengar persoalan yang diutarakannya tentang bisnis yang mengalami kesulitan dan ganjalan. Namun, saya melihat bisnisnya masih cukup besar dan mampu melewati badai kesulitan. Sosoknya yang santai tapi kokoh tentu bisa mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Saya sendiri pada waktu yang hampir bersamaan sedang dipusingkan oleh kesulitan saya sendiri terkait dengan biaya kuliah di Malaysia. Saya sempat memutuskan untuk cuti karena tak punya uang untuk membayar biaya kuliah. Namun alhamdulillah berkat dukungan beberapa orang sanak famili saya berhasil melanjutkan kuliah kembali. Ketika keadaan saya mulai tenang dan saya mulai melakukan riset untuk tesis di akhir tahun 2006, saya memutuskan untuk mampir ke tempat Bisri untuk sekedar bersilaturahim.
Saya sampai di depan rumah, sekaligus toko utama, sahabat saya itu. Apa yang saya lihat betul-betul membuat saya terkejut. Toko yang dulunya penuh berisi barang-barang dagangan itu kini kosong melompong. Tak satu pun barang dagangan tampak di tempat itu. Langit-langit ruangan yang dulu penuh berisi, rak-rak yang dijejali oleh aneka macam barang, etalase kaca yang biasanya padat terisi, serta anak-anak yang selalunya mondari-mandir ke tempat itu untuk membeli jajanan, kini lenyap tak bersisa. Semuanya raib seperti embun yang menguap di padang gurun. Toko itu telah mati, dan saya seperti menatap sebuah kuburan.
Roda dunia benar-benar berputar. Yang tadinya di atas kini berada di bawah, di titik nadir. Pemandangan di depan toko itu menimbulkan sedikit rasa syok dan kesedihan di hati saya. Apa yang telah terjadi pada sahabat saya ini? Mengapa usahanya sampai gulung tikar seperti ini?
Saat berjumpa dengannya saya menjadi lebih terkejut lagi. Ia menyambut saya dengan ramah, seolah tidak terjadi sesuatu yang serius dengan usahanya. Saya bertanya kepadanya mengapa tokonya kosong seperti itu. Ia tersenyum renyah dan berkata apa adanya, bahwa usahanya itu telah gulung tikar. Ia sekarang tidak punya apa-apa lagi. Hutangnya pada para investor juga bertumpuk dan ia tak tahu bagaimana harus melunasinya. Yang jelas ia menyicil pembayaran hutang itu sesuai kesanggupannya. Ketika saya bertanya besar kecil hutangnya, ia memberi isyarat kalau hutangnya lebih dari 50 juta rupiah. Kepala saya pusing mendengarnya. Saya pernah punya hutang belasan juta rupiah. Rasanya sungguh menyiksa sekali, walaupun pihak yang memberi piutang tidak pernah menagihnya pada saya. Sementara sahabat di depan saya ini punya masalah yang jauh lebih besar dari saya. Saya jadi merasa tidak tega menanyakan soal kejatuhan bisnisnya lebih jauh, walaupun ia bersikap santai dan biasa saja.
Di perjalanan pulang saya masih sulit mempercayai apa yang saya lihat. Teman saya ini telah memulai bisnis dari nol, lalu mengembangkan bisnis dan membuka cabang-cabang baru dari tokonya. Ia telah berada di sebuah jalur kesuksesan. Namun, tiba-tiba saja bisnisnya dilanda badai. Dan pada saat badai sudah mereda, ia bukan saja tidak punya apa-apa, tapi juga setumpuk hutang yang harus ia cicil pembayarannya. Bisnis sembako yang telah dirintisnya selama tujuh tahun habis tak bersisa. Sama sekali tidak ada bekasnya. Bahkan sepotong permen pun tak ada lagi di toko itu. Ia kini berjualan kerupuk rengginang dan menitipkannya di warung-warung. Di samping itu, ia juga berusaha mencari-cari peluang usaha baru, walaupun belum mampu melangkah lebih jauh karena ketiadaan modal.
Saya tak sempat bertemu dengan beliau lagi setelah itu, karena saya harus kembali ke Kuala Lumpur untuk menyelesaikan thesis dan kuliah saya. Saya baru berinteraksi lagi dengan beliau dua tahun kemudian, yaitu akhir tahun 2008 ini, setelah saya kembali dari Malaysia dan menetap di Jakarta. Pada saat itulah saya menyempatkan diri untuk menanyakan kisah perjalanan bisnisnya secara lengkap. Ia pun menjelaskan bagaimana ia mengawali bisnis hingga akhirnya mencapai puncaknya, sebagaimana telah saya ceritakan sebelumnya di atas.
“Ketika bisnis saya di toko yang sekaligus menjadi tempat tinggal saya ini telah mapan dan kokoh, maka saya pun memantapkan diri untuk mengembangkan bisnis,” ia menjelaskan awal keberhasilan sekaligus kekacauan bisnisnya. “Untuk mengembangkan bisnis, tentu saja saya memerlukan modal tambahan. Akhirnya saya berhasil mendapatkan pinjaman dari tiga orang, masing-masing sebesar 25 juta, 20 juta, dan 28 juta rupiah. Saya menawarkan bagi hasil yang menarik pada masing-masing investor ….
“Kesalahan saya adalah semua kerugian hanya ditanggung oleh saya sendiri. Kalau terjadi kerugian, pihak investor tidak ikut menanggungnya. Begitu perjanjiannya.”
“Mana bisa seperti itu,” saya memprotes. “Dalam perjanjian bisnis, pihak investor maupun pengelola seharusnya sama-sama ikut menanggung sekiranya terjadi kerugian.”
“Itulah masalahnya,” Bisri tersenyum pasrah. “Cuma dengan cara seperti itu saya bisa menarik investor. Kalau tidak begitu, tidak ada yang mau berinvestasi.”
Saya merasa geram juga. Para investor itu keterlaluan sekali. Kalau berinvestasi, tapi hanya mau dapat untung dan tak mau ikut menanggung kerugian. Itu sama saja dengan memberikan pinjaman dengan bunga. Saya tahu sahabat saya ini memang sudah lama mencari pinjaman investasi tapi tak berhasil mendapatkannya. Barangkali itu yang menyebabkan ia memberanikan diri untuk menawarkan sistem investasi semacam itu.
“Maka saya pun mulai mengembangkan usaha. Saya membuka toko baru di Kemuning, lalu beberapa bulan kemudian sebuah toko lainnya di Srengseng. Saya pun menjadi sangat sibuk mengelola usaha.
“Toko yang terakhir yang di Srengseng rupanya tak bisa bertahan lama, hanya empat bulan saja. Entah kenapa, toko itu mandeg dan akhirnya mati. Tapi toko saya yang lainnya masih jalan. Saya kemudian memutuskan untuk menjadikan toko yang di jalan kemuning sebagai pusat jual beli beras. Dengan modal sebesar 54 juta rupiah, saya membeli beras sebanyak dua truk, kira-kira 16 ton banyaknya. Saya menjadi distributor beras di wilayah Pejaten Timur dan sekitarnya. Beberapa toko besar bahkan juga mengambil beras dari saya.
“Tapi permasalahan kemudian muncul. Modal yang tidak terlalu besar itu rupanya belum memadai untuk menopang bisnis saya secara stabil. Warung-warung yang mengambil beras dari saya kebanyakan tidak membayar secara langsung, tapi dengan cara berhutang. Ini sebetulnya tidak masalah, karena mereka toh tetap membayar. Tapi bisnis menjadi goyah ketika harga beras tiba-tiba saja melambung tinggi. Keterbatasan dana menyebabkan perputaran bisnis menjadi tersendat. Permintaan pasar tidak bisa sepenuhnya saya suplai karena terbatasnya dana untuk membeli stok barang baru.
“Persoalan lain yang membuat bisnis saya semakin terpuruk adalah SDM-SDM yang saya rekrut, keponakan-keponakan saya sendiri. Mereka ternyata tak selalu bisa dipercaya. Toko yang di Kemuning semakin lumpuh karena banyak uang tagihan yang tak masuk dalam laporan keuangan toko. Entah uang itu dikemanakan oleh keponakan saya. Dari situ saya mendapat sebuah pelajaran berharga: jangan pernah mempekerjakan sanak famili sendiri! Kita merasa tak enak untuk menegur kalau mereka melakukan kesalahan. Akhirnya, bisnis malah jadi berantakan.”
“Sebetulnya tidak ada masalah dengan mempekerjakan sanak famili sendiri,” saya meluruskan. “Yang penting kita harus bisa bersikap tegas dan membedakan mana yang urusan keluarga dan mana yang urusan bisnis.” Saya jadi teringat sebuah prinsip yang menarik: Trust is good, but control is better. Kepercayaan itu bagus, tapi kontrol lebih bagus lagi. Artinya, jangan kita melulu mengandalkan kepercayaan dalam menjalankan bisnis, kontrol juga harus tetap dijalankan. Bekerja dengan saudara sendiri memang membuat pertimbangan kita lebih kuat ke arah trust, kepercayaan. Kita jadi cenderung berpikir, masak sih saudara sendiri bakal menipu atau menikam saya dari belakang. Akibatnya, aspek control jadi terkesampingkan. Pada saat kita menyadari bahwa kepercayaan kita sangat bersifat relatif, atau malah bersifat semu, segala sesuatunya sudah tak bisa dikontrol lagi, dan apa yang kita bangun pun mulai runtuh. Inilah yang terjadi pada sahabat saya.
“Alhasil, bisnis saya mulai bermasalah dan mengalami kemunduran. Keterbatasan modal membuat bisnis saya macet, SDM yang kurang bisa dipercaya menjadikan aliran dana tidak masuk ke dalam kas toko, tapi hilang entah kemana, sementara cicilan bagi hasil investasi harus terus saya setorkan. Bisnis pun mulai mengalami kehancuran. Itu terjadi sejak tahun 2005.
“Pada tahun 2006, masalah demi masalah lainnya juga berdatangan menimpa saya dan keluarga. Saya mengalami kecelakaan saat mengendarai mobil pick up. Mobil itu mengalami penyok cukup serius dan saya terpaksa mengeluarkan dana sebesar 5 juta rupiah untuk memperbaikinya, padahal ketika itu saya sedang kesulitan keuangan. Lalu kedua anak saya jatuh sakit dan saya kembali harus mengeluarkan uang cukup besar untuk membiayai perawatan mereka.
“Toko yang ada di Kemuning terpaksa saya tutup. Toko saya tinggal satu lagi sebagaimana sebelumnya. Itu pun dalam keadaan yang rawan dan tak mampu berkembang. Saya menghadapi sebuah pilihan sulit. Para investor tetap menagih uang bagi hasil setiap bulannya, padahal bisnis saya sudah lumpuh dan tak mungkin lagi memberikan bagi hasil. Masalahnya, mereka tentu tidak akan mau percaya dengan penjelasan saya sekiranya toko saya masih beroperasi, walaupun tinggal satu toko saja. Maka saya pun memutuskan untuk menghentikan usaha itu sama sekali, karena kenyataannya bisnis saya itu memang sudah mati. Dengan begitu, para investor bisa melihat sendiri bagaimana keadaan bisnis saya yang sesungguhnya dan saya tak perlu lagi membayarkan bagi hasil bulanan kepada mereka. Walaupun begitu, saya tetap berkewajiban mengembalikan dana investasi yang mereka tanamkan dalam bisnis saya. Maka saya pun mencicilnya sesuai dengan kemampuan saya. Sebagian dari investor ada yang mengikhlaskan uangnya karena melihat keadaan saya, sementara sebagian lainnya tetap meminta saya membayarnya.”
“Setelah itu, kamu hidup dari berjualan rengginang?” saya bertanya.
“Ya, saya dan keluarga hidup dari berjualan rengginang. Alhamdulillah kami tetap mampu bertahan hingga sekarang. Saya terus mencari peluang-peluang usaha baru yang bisa memperbaiki keadaan kami. Saya pernah bekerja di daerah Pondok Cabe, tapi akhirnya tidak bisa bertahan lama. Untungnya saya tetap mempertahankan usaha kerupuk rengginang.
“Selama masa sulit-sulit itu, kami hidup dari harapan ke harapan. Keadaan yang sulit itu bahkan membuat saya sempat tergoda untuk mejual batu-batu yang katanya mengandung kekuatan magis, seperti batu kocok dan batu-batu lainnya. Istri saya selalu mengingatkan supaya saya meninggalkan usaha semacam itu. Alhamdulillah, saya kemudian meninggalkannya.”
“Jadi, masa-masa kesulitan itu terutama terjadi sepanjang tahun 2007-an?” saya bertanya.
“Sebetulnya, sampai hari ini pun (akhir tahun 2008) kami masih mengalami kesulitan,” terang Bisri sambil tersenyum.
Sahabat saya ini menceritakan semuanya dengan nada suara yang biasa saja, bahkan cenderung riang. Seperti itulah gaya bicaranya di saat berhasil, dan seperti itu juga gaya bicaranya di saat susah. Tidak ada yang berubah pada dirinya. Badai kehidupan tidak membuatnya kehilangan mood dan stress berlebihan. Ia tetap kelihatan ceria sebagaimana biasanya.
“Tidak ada orang yang percaya ketika bisnis saya jatuh dan saya mengalami kesulitan keuangan,” terang teman saya itu. “Mungkin ini karena gaya dan sikap saya yang tetap seperti biasa, sehingga orang sama sekali tidak mengira kalau keadaan saya sedang payah. Ketika bisnis jatuh dan tertimpa banyak hutang, saya tetap bersikap biasa. Nafsu makan saya normal-normal saja, sehingga saya sama sekali tidak mengalami penurunan berat badan. Yah, habis mau bagaimana lagi? Semuanya sudah diatur sama Yang di Atas. Tugas kita kan hanya melakukan usaha.”
Begitulah Bisri. Sikapnya itu membuat saya kagum dan mengacungkan jempol. Saya kira, kegagalan itu merupakan resiko dalam setiap usaha. Yang penting kita tetap tabah dan berusaha bangkit kembali. Musibah merupakan hal yang biasa terjadi bagi setiap manusia yang normal. Kita harus menjalaninya dengan sabar. Kalau perlu dengan sesungging senyum … seperti sahabat saya itu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alwi Alatas ||| Seorang Penulis yang cukup produktif. telah menulis berbagai macam buku diantaranya adalah serial pahlawan "Al Fatih","Tariq bin Ziyad","Nurudin Zanki".
Buku terbaru beliau disini