Ditinggal Saat Gempa
Apa yang terjadi sekiranya seorang pasien yang tubuhnya masih ditempeli alat-alat rumah sakit, mengalami halusinasi karena obat, lalu gempa 7,6 SR tiba-tiba terjadi … dan ia ditinggal lari oleh para suster rumah sakit?
Inilah yang terjadi pada seorang ibu yang sedang berobat di Padang saat gempa terjadi (tentu saja ia sama sekali tidak tahu gempa akan terjadi), Rabu 30 September lalu. Ia mengalami persoalan dengan ginjalnya karena terlalu sering memakan obat-obatan. Hal itu menyebabkan ia terpaksa melakukan terapi secara rutin di sebuah rumah sakit di Padang guna menyembuhkan penyakitnya.
Pada hari Rabu itu sebetulnya ia merasa enggan untuk berobat, walaupun ia dijadwalkan untuk melanjutkan terapi pada hari tersebut. Namun suaminya mendesaknya untuk tidak menunda-nunda jadwal berobat. Maka ia pun berangkat ke rumah sakit dengan ditemani sang suami.
Sampai di rumah sakit, ia segera mendaftar dan menunggu giliran berobat. Sementara itu suaminya pergi keluar rumah sakit untuk keperluan lain. Akhirnya gilirannya tiba dan ia masuk ke dalam ruangan untuk menjalani terapi. Dalam proses terapi, beberapa alat dipasangkan ke tubuhnya dan ia juga minum obat (valium), mungkin untuk mengurangi rasa sakit saat pengobatan. Obat yang diminumnya menyebabkan ia mengalami keadaan setengah sadar, seperti orang yang sedang ngantuk berat. Di tengah keadaan yang agak halusinatif itu, ia melihat para suster sibuk menangani dirinya.
Lalu tiba-tiba ia merasa langit-langit rumah sakit bergoyang. Ia tidak bisa memastikan apa yang sedang terjadi karena ia berada dalam keadaan setengah sadar. Apakah rumah sakit itu memang sedang bergetar hebat atau itu hanya khayalan semata? Rasanya sungguh aneh sekali.
Yang lebih aneh lagi adalah para suster yang ada di ruangan kini berhamburan keluar, meninggalkan dirinya sendirian di dalam ruangan. Semuanya masih terasa bergoyang, tapi kesadarannya dan keadaan fisiknya yang lemah tidak memungkinkannya untuk memahami dengan baik keganjilan yang tengah terjadi. Apa yang sebenarnya sedang berlaku? Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Dengan segala kemampuannya, ia kemudian memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Dengan beberapa alat masih menempel di tubuhnya, ia berjalan dengan susah payah keluar pintu ruangan dan seterusnya keluar gedung rumah sakit. Orang yang sehat dan kondisi kesadarannya penuh saja tidak bisa bergerak normal dalam situasi seperti itu. Ia sendiri tidak bisa mengenali keadaan diri dan lingkungannya dengan baik. Namun, instingnya memaksa dirinya bergerak terus keluar rumah sakit. Di tengah-tengah kesadarannya yang lemah, ia masih bisa merasakan ada benda-benda berjatuhan di sekitar dirinya. Untungnya tidak satupun benda-benda itu menimpa tubuhnya.
Walaupun dalam keadaan tertatih-tatih dan tanpa bantuan siapa pun, ia akhirnya berhasil mencapai pintu keluar rumah sakit. Ia terus berjalan meninggalkan bangunan itu ketika ia mendengar suara gemuruh di belakangnya. Ia menoleh ke belakang dan menyaksikan gedung rumah sakit baru saja runtuh. Beberapa detik saja lebih lambat, ia tentu akan terkubur di dalam puing-puing bangunan itu.
Kalau mau dipikir-pikir, rasanya mustahil pasien yang sedang setengah sadar seperti ini bisa lolos dari gempa 7,6 SR di Padang. Tapi itulah kenyataannya. Benarlah yang dikatakan al-Qur’an bahwa maut itu sudah ditentukan waktunya, tidak bisa diundur dan tidak bisa dimajukan (la yasta’khiruna sa’atan wala yastaqdimun). Pasien ini belum sampai pada akhir umurnya, maka ia pun selamat.
Inilah yang terjadi pada seorang ibu yang sedang berobat di Padang saat gempa terjadi (tentu saja ia sama sekali tidak tahu gempa akan terjadi), Rabu 30 September lalu. Ia mengalami persoalan dengan ginjalnya karena terlalu sering memakan obat-obatan. Hal itu menyebabkan ia terpaksa melakukan terapi secara rutin di sebuah rumah sakit di Padang guna menyembuhkan penyakitnya.
Pada hari Rabu itu sebetulnya ia merasa enggan untuk berobat, walaupun ia dijadwalkan untuk melanjutkan terapi pada hari tersebut. Namun suaminya mendesaknya untuk tidak menunda-nunda jadwal berobat. Maka ia pun berangkat ke rumah sakit dengan ditemani sang suami.
Sampai di rumah sakit, ia segera mendaftar dan menunggu giliran berobat. Sementara itu suaminya pergi keluar rumah sakit untuk keperluan lain. Akhirnya gilirannya tiba dan ia masuk ke dalam ruangan untuk menjalani terapi. Dalam proses terapi, beberapa alat dipasangkan ke tubuhnya dan ia juga minum obat (valium), mungkin untuk mengurangi rasa sakit saat pengobatan. Obat yang diminumnya menyebabkan ia mengalami keadaan setengah sadar, seperti orang yang sedang ngantuk berat. Di tengah keadaan yang agak halusinatif itu, ia melihat para suster sibuk menangani dirinya.
Lalu tiba-tiba ia merasa langit-langit rumah sakit bergoyang. Ia tidak bisa memastikan apa yang sedang terjadi karena ia berada dalam keadaan setengah sadar. Apakah rumah sakit itu memang sedang bergetar hebat atau itu hanya khayalan semata? Rasanya sungguh aneh sekali.
Yang lebih aneh lagi adalah para suster yang ada di ruangan kini berhamburan keluar, meninggalkan dirinya sendirian di dalam ruangan. Semuanya masih terasa bergoyang, tapi kesadarannya dan keadaan fisiknya yang lemah tidak memungkinkannya untuk memahami dengan baik keganjilan yang tengah terjadi. Apa yang sebenarnya sedang berlaku? Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Dengan segala kemampuannya, ia kemudian memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Dengan beberapa alat masih menempel di tubuhnya, ia berjalan dengan susah payah keluar pintu ruangan dan seterusnya keluar gedung rumah sakit. Orang yang sehat dan kondisi kesadarannya penuh saja tidak bisa bergerak normal dalam situasi seperti itu. Ia sendiri tidak bisa mengenali keadaan diri dan lingkungannya dengan baik. Namun, instingnya memaksa dirinya bergerak terus keluar rumah sakit. Di tengah-tengah kesadarannya yang lemah, ia masih bisa merasakan ada benda-benda berjatuhan di sekitar dirinya. Untungnya tidak satupun benda-benda itu menimpa tubuhnya.
Walaupun dalam keadaan tertatih-tatih dan tanpa bantuan siapa pun, ia akhirnya berhasil mencapai pintu keluar rumah sakit. Ia terus berjalan meninggalkan bangunan itu ketika ia mendengar suara gemuruh di belakangnya. Ia menoleh ke belakang dan menyaksikan gedung rumah sakit baru saja runtuh. Beberapa detik saja lebih lambat, ia tentu akan terkubur di dalam puing-puing bangunan itu.
Kalau mau dipikir-pikir, rasanya mustahil pasien yang sedang setengah sadar seperti ini bisa lolos dari gempa 7,6 SR di Padang. Tapi itulah kenyataannya. Benarlah yang dikatakan al-Qur’an bahwa maut itu sudah ditentukan waktunya, tidak bisa diundur dan tidak bisa dimajukan (la yasta’khiruna sa’atan wala yastaqdimun). Pasien ini belum sampai pada akhir umurnya, maka ia pun selamat.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alwi Alatas
||| Seorang Penulis lebih dari 20 buku diantaranya adalah serial pahlawan "Al Fatih","Tariq bin
Ziyad","Nurudin Zanki". | saat ini sedang studi doktoral di IIUM. Buku terbaru beliau disini