Keteguhan Hati Puteri Aceh
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
“Saya sudah tahu - semenjak semula - bahwa jalan yang kutempuh ini adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan ada habis-habisnya kita tempuh. Mulai dari sini, terus, terus, terus tidak ada ujungnya. Perjuangan ini, meskipun kita sudah merdeka, belum juga sampai ke ujungnya. Dimana ujung jalan perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Dalam hidup manusia selalu setiap waktu ada musuh dan rintangan-rintangan yang harus dilawan dan dikalahkan. Habis satu muncul yang lain, demikian seterusnya. Sekali kita memilih jalan perjuangan maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan.” –Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung
Serambi Mekkah (red: Nangroe Aceh Darussalam) banyak sekali melahirkan pejuang-pejuang yang selama hidupnya dihabiskan untuk berjuang, tak terkecuali Tjut Nja’ Dien atau Cut Nyak Dien. Terlahir sebagai seorang Puteri Aceh tidak lantas membuat dirinya berada dalam zona nyaman yang hanya menjadi penonton pertempuran Aceh melawan Kolonial Belanda. Hidupnya ia didedikasikan untuk berjuang hingga diakhir hayatnya ia menghembuskan nafas terakhir dalam pengasingan.
Cut Nyak Dien lahir dari keluarga bangsawan Aceh, Puteri Aceh yang disandangnya diwariskan oleh ibundanya yang merupakan Puteri Uleebalang Lampagar. Sebagaimana lazimnya puteri bangsawan Aceh, Dien – sapaan Cut Nyak Dien - kecil mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya dan guru agama. Pendidikan agama yang diberikan dan diajarkan kepada Dien sebagai way of life dan suasana lingkungan tempat ia dibesarkan yang ketika itu sedang berkecamuk perang saudara tengah melanda Aceh juga berpengaruh pada sifat-sifat yang dimilikinya, tabah, teguh pendirian, dan tawakal. Pengetahuan rumah tangga juga diajarkan oleh ibunda dan kerabatnya kepada Cut Nyak Dien.
Jiwa patriotisme yang dimiliki Dien semakin meningkat ketika memburuknya hubungan Kerajaan Aceh dengan Belanda pada tahun 1873 dan pertempuran melawan Kolonial Belanda pun tak terelakkan. Dien mengikuti perintah suaminya Teuku Cik Ibrahim Lamnga untuk mengungsi kala itu. Namun selama pengungsian dengan bayinya dan ibu-ibu masyarakat Aceh lainnya Dien tidak berdiam diri, ia terus berjuang melawan Belanda dengan mengajar para wanita dalam hal mendidik bayi dan menanam semangat kepahlawanan melalui syair-syair yang menanamkan semangat jihad kepada anak-anak mereka. Ketika peperangan semakin memanas pun Dien semakin semangat dan terus menggembleng semangat para pejuang perempuan untuk turut serta membantu peperangan. Bahkan ketika Masjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, Dien dengan lantang meneriakkan kepada masyarakat disana, “Lihatlah kalian (orang-orang Aceh)! Tempat ibadah kalian dirusak! Mereka telah merusak nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita dijadikan budak Belanda?”
Tahun-tahun berikutnya dilalui Dien dengan perjuangan melawan Belanda. Hingga tahun 1878 Dien harus mengikhlaskan Ibrahim Lamnga gugur dalam medan pertempuran melawan Belanda. Sejak saat itulah Dien memulai pertempurannya secara fisik dengan Belanda. Setelah menikah untuk kedua kalinya dengan Teuku Umar yang merupakan seorang pejuang juga Dien tetap memperjuangkan bangsanya dan tentu agamanya. Keteguhan hatinya untuk terus melawan Kolonial ia tunjukkan dengan terus menasihati suaminya, Teuku Umar, yang kala itu sedang memainkan taktik dengan menyerah kepada Belanda. Dien terus meminta suaminya untuk melawan Belanda secara terang-terangan, ia takut sang suami terlena dengan jabatan yang diberikan pemerintah Belanda, meski Dien juga tahu itu hanyalah taktik Teuku Umar.
1899 lagi-lagi Dien kehilangan suaminya yang gugur di medan pertempuran yang juga melawan Belanda. Meskipun kehilangan suaminya, Dien tidak larut dalam kesedihannya. Perjuangannya melawan penjajah tidak pernah surut. Bahkan Belanda selalu berusaha menangkap Dien karena perlawanan gerilya yang dilakukan Dien dianggap mengancam Belanda. Tahun demi tahun dilewati Dien untuk melawan Belanda, hingga ia dikhianati oleh panglima perangnya sendiri yang atas dasar kasihan melihat kondisi Dien kala itu memberikan informasi keberadaan Dien. Padahal sebenarnya meski kondisinya terus memburuk semangat juangnya tidak pernah menurun. Keteguhan hatinya dijunjung tinggi, ini terlihat meski harus terkepung Belanda Dien masih sempat mencabut rencong untuk melawan Belanda. Ia kemudian ditawan oleh Belanda. Meskipun dalam tawanan Dien tetap melakukan kontak dengan pejuang lainnya yang belum tunduk. Tindakan ini tak pelak membuat Belanda berang hingga Dien mereka asingkan ke Sumedang. Di Sumedang inilah seorang pahlawan bernama Cut Nyak Dien menghabiskan sisa umurnya dengan mengajarkan agama untuk masyarakat sekitar.
Keteguhan hati Cut Nyak Dien dalam berjuang menyadarkan kita bahwa berjuanglah sampai batas akhir diri kita. Bahkan ketika Cut Nyak Dien meninggal di tahun berdirinya Boedi Oetomo, Indonesia masih belum merdeka, pun sekarang masih berjuang untuk ‘merdeka’. Perjuangan itu sungguh panjang dan entah berakhir sampai kapan, maka keteguhan hati-lah yang selalu dimiliki para pejuang, seperti keteguhan hati Cut Nyak Dien dalam berjuang yang tidak pernah terlontar dan terbesit sedikit pun untuk menyerah berjuang.
“Demi Allah, selama Pahlawan Aceh masih hidup, peperangan tetap kuteruskan guna kepentingan agama, kemerdekaan bangsa, dan negara” –Cut Nyak Dien-