Melawan Rekayasa Kontrak Mahakam
Kisruh kontrak Blok Mahakam yang akan berakhir 31 Maret 2017 telah mengemuka sejak 2007, saat Total bersama Inpex mengajukan perpanjangan kontrak untuk 20 tahun berikut. Pada 2008, Pertamina pun telah meminta mengelola blok tersebut secara penuh sejak 2017. Namun hingga sekarang Pemerintah belum mengambil keputusan. Banyak kalangan mendukung Pertamina yang memang sesuai dengan konstitusi dan paling menguntungkan negara. Namun tidak sedikit oknum pemerintah yang cenderung memihak asing. Disamping upaya sendiri, terkesan Total pun diberi kesempatan bermanuver guna kelak memudahkan Pemerintah menjustifikasi keputusan. Hal ini membuat keputusan Pemerintah tertunda.
Upaya asing dan pendukungnya untuk tetap menguasai Mahakam dilakukan dengan berbagai cara. Publik dicekoki berbagai isu jika Total distop, maka target lifting tak tercapai, penerimaan APBN turun, investasi besar tak dapat didanai, kontrak gas tak terpenuhi, investor lari, dsb. Total pun ikut mengancam menyetop investasi. Sebaliknya, oknum pro-Total mengkampanyekan Pertamina tidak mampu, gagal mengelola Blok WMO, dapat bangkrut jika mengelola Mahakam, dll. Semua gerakan dan rekayasa ini harus dilawan, karena pengelolaan Mahakam oleh Pertamina lah yang paling ideal, konstitusional dan maksimal menyejahterakan rakyat.
VP H&R Total, Arividya Noviyanto menyatakan (18/7/2013): ”Kalau 2014 blok Mahakam belum diputuskan, 2015 mau tak mau kita turunkan investasinya. Apabila tidak ada kepastian masa depan, maka ada proyek-proyek yang tidak kami kerjakan”. Elisabeth Proust, Presiden Total E&P (18/7/2013) mengatakan: “Kami menghadapi beberapa proyek yang sudah tidak bisa kita lakukan, karena kita memiliki beberapa proyek, dimana prediksi tiba setelah 2017”. Dan masalah ini tentu saja akan lebih sulit untuk menangani, dan mempertahankannya. Sehingga kita perlu kejelasan periode setelah 2017”.
Pemerintah harus menanggapi pendiktean Total dengan tegas, bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang bebas intervensi dan tekanan. Indonesia berdaulat penuh atas SDA yang dimiliki untuk sebesar kemakmuran rakyat. Karena itu IRESS mendesak Pemerintah untuk segera menyatakan bahwa sejak 1 April 2017 Blok Mahakam akan dikelola secara penuh oleh Pertamina. Jika masalah yang mudah dan pro-rakyat ini tak kunjung diputuskan, maka rakyat dapat menduga bahwa Pemerintah memihak atau bekerjasama untuk asing.
Investasi Total
Total menyatakan tahun 2013 menginvestasikan US$ 2,4 miliar (10/7/2013). Total pun menyatakan investasinya akan bertambah menjadi US$ 7,3 miliar hingga 2017. Namun untuk investasi US$ 7,3 miliar diiringi dengan persyaratan. Jean-Marie Guillarmo, VP Total Asia Pacific mengatakan: “Jumlah dana ini cukup besar, untuk itu kami butuh perkiraan apa yang akan terjadi pada Total setelah 2017, karena pengembalian investasi ini baru bisa diperoleh setelah 2017. Bagaimana kami harus menjelaskan kepada stakeholders kami bahwa kami akan berinvestasi dimana di masa depan kami justru tidak terlibat” (12/7/2013).
Pada 17 Februari 2013 Dirjen Migas Edi Hermantoro menyatakan guna menjamin tingkat produksi yang stabil, Total siap melakukan investasi meskipun perpanjangan kontrak belum diputuskan. Dirjen Migas telah mengambil kebijakan berupa pemberian jaminan pengembalian investasi melalui percepatan pembayaran depresiasi aset yang tidak melebihi tahun 2017. Edi memastikan sudah mendapat konfirmasi dan komitmen dari Total atas kebijakan tersebut, dan telah pula dikonfirmasi oleh Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana.
Pernyataan Total meminta pertimbangan atas “terlampauinya pengembalian investasi setelah 2017 dan kesulitan pertanggungjawaban pada stakeholders” jelas bertentangan dengan penjelasan Dirjen Migas. Hal ini menunjukkan Total melanggar kesepakatan (jika benar ada) yang dibuat bersama Ditjen Migas dan SKK Migas sebelumnya (17/2/2013). Tampaknya karena sangat bernafsu untuk tetap menguasai Mahakam, Total menekan dan melecehkan Pemerintah dan melanggar kesepakatan yang dibuat sebelumnya.
Atas pelecehan di atas, IRESS menuntut Pemerintah bersikap tegas. Hal ini perlu untuk menghapus keraguan publik bahwa kebijakan percepatan depresiasi hanyalah akal-akalan untuk mendukung Total. Jangan-jangan konsep “percepatan depresiasi” memang benar bagian dari skenario. Rakyat prihatin jika Pemerintah tidak sadar atas pelecehan ini. Apalagi jika sampai ada oknum Pemerintah yang justru terlibat aktif merekayasa skenario.
Terkait investasi US$ 2,4 miliar, ingin dikesankan jumlahnya sangat besar dan terjadi atas jasa Total. Padahal investasi tersebut hanyalah komitmen yang dibayar kembali melalui cost recovery. Sedangkan keuntungan Total dan Inpex US$1-US$2 juta per hari adalah fakta, tanpa peduli kapan komitmen investasi direalisasikan. Mahakam dapat menghasilkan revenue US$8—US$9 miliar per tahun, sehingga pengembalian investasi US$ 2,4 miliar mudah diperoleh. Begitu pula dengan investasi US$7,3 miliar yang akan di-cost recovery bersama insentif percepatan depresiasi. Karena tingginya tingkat keuntungan dan besarnya cadangan tersisa, justru Total lah yang berkepentingan agar investasi tersebut disetujui.
Karena itu, kita tidak perlu terkecoh dan berterima kasih atas manipulasi “rencana investasi besar” ini, tetapi justru harus menolak. Sebab investasi tersebut kelak didanai APBN dan Total akan memperoleh untung besar. Keuntungan asing triliunan Rp per tahun ini telah berlangsung hampir setengah abad. Jika demikian, Pertamina bisa melakukan dan telah pula menyatakan kemampuannya. Karenanya, Pemerintah harus mendengar suara rakyat bahwa BUMN harus diberi kesempatan. Kita ingin perusahaan bangsa sendiri, yang telah menyatakan kemampuan dan komitmen, dihargai Pemerintah. Jika BUMN kita sudah diakui sebagai terbesar ke-122 secara global, mengapa justru diragukan oleh Pemerintah sendiri?
Kantor berita AFP memberitakan (29/5/2013) Total dihukum pengadilan AS membayar denda US$ 398,2 juta karena terbukti menyuap pejabat di Iran guna mendapatkan konsesi migas. Hal ini dinyatakan sebagai tindakan koruptif yang melanggar Foreign Corrupt Practices Act, AS. Tampaknya, meskipun telah terdaftar di bursa global, Total tak lepas dari praktek KKN. Kelicikan, tekanan dan manipulasi asing guna menguasai SDA negara berkembang merupakan hal lumrah. Sebagai bangsa yang bermartabat kita harus melawan. Namun dalam hal Mahakam, hingga saat ini terkesan oknum penguasa justru memihak asing.
KKN mungkin dapat terjadi karena adanya oknum yang ingin memperoleh rente besar guna memenangkan Pemilu 2014. Jika kepentingan dominasi dan bisnis Total di Mahakam bertemu dengan kepentingan rente Pemilu 2014 tersebut, lalu prinsip-prinsip good corporate governance, harga diri, martabat dan sikap amanah diabaikan, maka apa yang telah terjadi di Iran dapat saja berulang di Blok Mahakam. Dalam hal ini IRESS kembali meminta agar KPK untuk mencegah dan menjamin KKN tidak akan pernah terjadi dalam kasus Mahakam.
Akhirnya, IRESS meminta agar negara RI melawan berbagai upaya dan rekayasa asing untuk tetap bercokol di Mahakam. Presiden SBY harus mengantisipasi upaya penyanderaan kebijakan melalui isu-isu kebutuhan menjaga lifting, target penerimaan APBN, tawaran investasi besar dan kewajiban kontrak pengiriman gas, termasuk mengantisipasi penurunan produksi migas jika kontrak diterminasi. Presiden juga harus menjamin tidak ada satu pun oknum pembantunya di kabinet atau oknum-oknum di lingkar kekuasan yang bekerja untuk pihak asing. IRESS meminta Presiden SBY menjaga martabat bangsa ini, memihak BUMN dan segera menyatakan penyerahan Blok Mahakam kepada Pertamina sejak 2017.[]
Marwan Batubara, Indonesian Resources Studies, IRESS