Guru Bukan Hamba Minat Anak
Oleh : Indra Restu Fauzi*
"Jadi wa'ang mau balaja silek ke Ayah?" tanya Buya Hamka kepada anaknya, irfan yang masih duduk di kelas VI. irfan pun mengangguk senang, karena sudah berkali-kali memohon diajarkan silat tak pernah ditanggapi oleh ayahnya.
Di halaman samping rumah, buya hamka pun mulai mengajarkan silat. pelajaran pertama yang diterima irfan adalah langkah sembilan, yang merupakan gerakan menukar-nukar langkah ; maju, mundur, gerakan menyamping, berputar. mula-mula buya hamka mengajarkan anaknya dengan lembut lalu semakin keras. hingga tanpa segan-segan irfan dibanting oleh ayahnya.
Sudah hampir sebulan, irfan hanya diajarkan langkah sembilan oleh ayahnyya. ia pun mulai bosan, pamannya yang membantu latihan juga tidak mengajarkan hal baru, bahkan sampai irfan duduk di SMA, ia tetap berlatih langkah sembilan. ayah dan pamannya tidak mengajarkan ilmu menyerang, mereka hanya mengajarkan bagai mana menangkis, memberi titik-titik yang melumpuhkan lawan dan mengunci lawan.
Sudah hampir sebulan, irfan hanya diajarkan langkah sembilan oleh ayahnyya. ia pun mulai bosan, pamannya yang membantu latihan juga tidak mengajarkan hal baru, bahkan sampai irfan duduk di SMA, ia tetap berlatih langkah sembilan. ayah dan pamannya tidak mengajarkan ilmu menyerang, mereka hanya mengajarkan bagai mana menangkis, memberi titik-titik yang melumpuhkan lawan dan mengunci lawan.
Suatu hari paman irfan menghampiri irfan, ia menceritakan bahwa ayahnya hanya ingin melatih irfan dengan jurus-jurus mempertahankan diri saja. karena buya hamka tahu betul sifat anaknya yang mudah marah dan tempramen, jadi tidak baik diturunkan ilmu silat untuk menyerang dan berkelahi.
Sekilas kisah tersebut menceritakan tentang betapa pentingnya mengenal karakter murid sebelum seorang guru mengajarkan suatu hal yang diminati oleh murid. Sering kali kita mendengar istilah “minat” yang dikaitkan dengan proses pendidikan. Bahkan keminatan anak tersebut harus segera difasilitasi dengan pelayanan maksimal. Misalkan ada anak yang hobi menari maka anak tersebut harus segera diserahkan kepada guru menari yang terbaik. Jika kita bandingkan dengan kisah Buya Hamka di atas, ternyata seorang Buya Hamka yang juga dikenal sebagai pesilat terbaik di kampungnya, harus memikirkan metode yang tepat dan ukuran yang akurat untuk anaknya yang menjadi murid silatnya.
Sebagai orang tua, Buya Hamka memang berhasil mengenal karakter anaknya. Jika kita bandingkan dengan orang tua masa kini, pada umumnya mereka hanya mengenal angka di rapor si anak saja bukan karakter anak. Bahkan sudah menjadi hal yang lumrah jika si anak mendapat nilai jelek, maka orang tua sudah merasa mengenal anaknya sebagai anak malas dan bodoh. Sedangkan, peran guru di sekolah sebagai penilai proses belajar murid berubah menjadi penyelamat murid dari ujian. Lagi-lagi di sini karakter seorang murid diabaikan. Guru dan orang tua memang harus bisa mengenal karakter dan tahu minat murid tersebut.
Setelah berhasil mengenali karakter dan minat murid, bukan berarti seorang guru atau orang tua patuh dan menghamba pada murid. Dari kisah di atas, Buya Hamka pun memikirkan keselamatan muridnya dan memikirkan metode yang tepat untuk memfasilitasi minat muridnya. Buya Hamka selalu memikirkan keselamatan muridnya dari segi akhirat mau pun dunia, itulah yang jadi alasannya mengapa buya hamka hanya mengajarkan ilmu bertahan saja kepada muridnya yang dikenal mudah marah.
Di akhir kisah di atas, menggambarkan betapa pentingnya mengambil hikmah setelah mengalami peristiwa sebagai bentuk evaluasi diri. Irfan diberitahu oleh pamannya tentang alasan ayahnya yang hanya mengajarkan ilmu bertahan saja. Irfan pun menerima hal tersebut, lalu ia mulai introspeksi diri. Sedangkan di dunia pendidikan kita, evaluasi belajar hanya menjadikan murid sebagai pemuja angka, yang hanya mengejar nilai ujian. Bukankah kita sepakat pendidikan seharusnya menanamkan nilai kehidupan?
Guru dan orang tua bukanlah menghamba atas minat anak. Guru dan orang tua harus tahu karakter dan mana minat anak yang menguntungkan anak dari segi akhirat dan dunia. Jika karakter anak yang buruk memberi peluang untuk anak bertindak tidak pantas jika minatnya difasilitasi, maka guru dan orang tua harus mencari metode yang tepat agar anak paham akan dampak karakter buruknya tersebut. jika minat anak tersebut bisa merugikan anak dari segi akhirat, maka guru dan orang tua lewat kelembutannya yang tegas haruslah melarang anak.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. At-Tahrim [66]:6)
Sekilas kisah tersebut menceritakan tentang betapa pentingnya mengenal karakter murid sebelum seorang guru mengajarkan suatu hal yang diminati oleh murid. Sering kali kita mendengar istilah “minat” yang dikaitkan dengan proses pendidikan. Bahkan keminatan anak tersebut harus segera difasilitasi dengan pelayanan maksimal. Misalkan ada anak yang hobi menari maka anak tersebut harus segera diserahkan kepada guru menari yang terbaik. Jika kita bandingkan dengan kisah Buya Hamka di atas, ternyata seorang Buya Hamka yang juga dikenal sebagai pesilat terbaik di kampungnya, harus memikirkan metode yang tepat dan ukuran yang akurat untuk anaknya yang menjadi murid silatnya.
Sebagai orang tua, Buya Hamka memang berhasil mengenal karakter anaknya. Jika kita bandingkan dengan orang tua masa kini, pada umumnya mereka hanya mengenal angka di rapor si anak saja bukan karakter anak. Bahkan sudah menjadi hal yang lumrah jika si anak mendapat nilai jelek, maka orang tua sudah merasa mengenal anaknya sebagai anak malas dan bodoh. Sedangkan, peran guru di sekolah sebagai penilai proses belajar murid berubah menjadi penyelamat murid dari ujian. Lagi-lagi di sini karakter seorang murid diabaikan. Guru dan orang tua memang harus bisa mengenal karakter dan tahu minat murid tersebut.
Setelah berhasil mengenali karakter dan minat murid, bukan berarti seorang guru atau orang tua patuh dan menghamba pada murid. Dari kisah di atas, Buya Hamka pun memikirkan keselamatan muridnya dan memikirkan metode yang tepat untuk memfasilitasi minat muridnya. Buya Hamka selalu memikirkan keselamatan muridnya dari segi akhirat mau pun dunia, itulah yang jadi alasannya mengapa buya hamka hanya mengajarkan ilmu bertahan saja kepada muridnya yang dikenal mudah marah.
Di akhir kisah di atas, menggambarkan betapa pentingnya mengambil hikmah setelah mengalami peristiwa sebagai bentuk evaluasi diri. Irfan diberitahu oleh pamannya tentang alasan ayahnya yang hanya mengajarkan ilmu bertahan saja. Irfan pun menerima hal tersebut, lalu ia mulai introspeksi diri. Sedangkan di dunia pendidikan kita, evaluasi belajar hanya menjadikan murid sebagai pemuja angka, yang hanya mengejar nilai ujian. Bukankah kita sepakat pendidikan seharusnya menanamkan nilai kehidupan?
Guru dan orang tua bukanlah menghamba atas minat anak. Guru dan orang tua harus tahu karakter dan mana minat anak yang menguntungkan anak dari segi akhirat dan dunia. Jika karakter anak yang buruk memberi peluang untuk anak bertindak tidak pantas jika minatnya difasilitasi, maka guru dan orang tua harus mencari metode yang tepat agar anak paham akan dampak karakter buruknya tersebut. jika minat anak tersebut bisa merugikan anak dari segi akhirat, maka guru dan orang tua lewat kelembutannya yang tegas haruslah melarang anak.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. At-Tahrim [66]:6)
Penulis adalah Pegiat Foruk Kajian Ilmu Pendidikan (FKIP)