Mereka yang Dilumpuhkan
Oleh : Beggy*
Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot ditengah hutan rimba,
Bagelen Barat. Ia sedang berjuang melawan malaria tropika parah yang
menghantam tubuhnya. Bukan hanya malaria yg turut merontokkan
perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan
menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah. Saat itu, di sampingnya
hanya ada dua orang punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan
tercerai berai.
Akhirnya surat itu datang juga. Tawaran berunding. Ia -Pangeran
Diponegoro- menerima tawaran itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya
dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang Jenderal De Kock. Ada
juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan. Namun
apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang
menitahkannya. Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang
anyar, Johannes Van Den Bosch.
“Jangan melakukan perundingan apa pun dengan dia…hanya dengan
syarat pemenjaraan seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya
diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun juga (yang dapat diterima).[1]
Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa
memang melelahkan bagi kedua belah pihak. Diperkirakan 200.000 nyawa
orang Jawa melayang. 15.000 tewas dari pihak Belanda. Seperempat lahan
pertanian di Jawa rusak. Pemerintah Kolonial menanggung beban tak
terperikan, 20 Juta gulden menguras kantong mereka. Keuangan mereka
jebol. Ditambah lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera
Barat. Atas luapan jiwa Islam pula. Perundingan memang menjadi jalan
yang memungkinkan bagi kedua pihak. Sayang, titah Raja Willem I itu
datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan perundingan kepada
Pangeran Diponegoro. De Kock dalam posisi sulit.
Pangeran datang bersama 800 orang pengikut yang menggabungkan diri
selama perjalanan ke Magelang. Namun mereka bukanlah pengikut yang siap
bertarung mati-matian. Sejatinya perjalanan itu adalah perjalanan
bebasnya yang terakhir. De Kock bukannya tanpa tekanan. Ia melukiskan
perasaannya yang sudah terlanjur mengajak berunding, namun dilarang oleh
Raja Willem I.
“Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk) karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik.”[2]
Setelah menunggu hingga berakhirnya bulan puasa, hari penentuan telah
tiba. 28 maret 1830. Awalnya pertemuan begitu hangat. Kemudian keadaan
mulai menemui kebuntuan. Pangeran tidak mengharapkan untuk menyelesaikan
pembicaraan apa pun hari itu. Tetapi, ketika tahu ia tidak boleh pergi,
Pangeran begitu marah. Apa yang dijanjikan; jika tidak ada kesepakatan,
seharusnya Pangeran Diponegoro boleh pergi. De Kock tahu, hal itu tidak
mungkin. Titah Raja Willem I tak mungkin ditampik. Lagipula, Ia ingin
perang ini segera berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian dikepung. Tapi
tak ada perlawanan. Hari itu Sang Pangeran takluk dibawah kuasa De Kock.
Saat itulah kisah heroik sang pangeran sampai pada lembaran yang
terakhir. Ia dilumpuhkan dengan penipuan. Apakah pangeran tahu bahwa ia
akan diingkari? Mungkin saja. Yang pasti sejak beberapa bulan
sebelumnya, ia pernah berkata kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah
menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia.[3]
Lembaran pemimpin perang ini berganti menjadi lembaran hidup seorang
tahanan yang diasingkan. Dari Batavia ia dibawa ke Manado. Setelah tiga
tahun di Manado,ia diasingkan ke Makassar. Di dalam Benteng Rotterdam.
Ditemani istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, di sana ia menjalani
hari-hari hingga ajal menjemputnya. Menjelang Revolusi Perancis, 1848,
sebuah Koran Perancis memuat kehidupan Sang pangeran dipengasingan.
“Dikurung di antara empat dinding tembok suatu benteng kecil,
terpisah dari keluarganya, diawasi dengan ketat, tak diizinkan menulis
surat baik kepada Gubernur-Jenderal, maupun kepada orang lain,
diperlakukan selama delapan belas tahun terakhir ini dengan cara-cara
yang keras dan kejam yang tidak layak dilakukan oleh negeri ini.”
Dalam pengasingannya, ia merindukan sosok ibunya, Raden Ayu
Mangkorowati untuk menemaninya. Permintaannya agar sang Ibu didatangkan
ke Makassar tidak pernah dipenuhi. Dalam rasa rindu yang begitu dalam
kepada ibunya, bilamana ada kapal uap memasuki Bandar Makassar, dirinya
akan menaiki tangga ke lantai teratas untuk menatap lepas ke pelabuhan.
Guna melihat apakah sang ibu telah tiba. Berharap kapal-kapal tersebut
akan membawa ibundanya. Sampai akhir hayatnya, harapan itu tak pernah
tercapai. Sang Pangilma perang itu pun wafat sebagai orang yang terasing
dari bangsanya sendiri dalam kesepian.
Sungguh, padamnya perang Jawa membuat Pemerintah kolonial Belanda,
bertindak leluasa. Api peperangan di Sumatera Barat yang dikobarkan
Haji-Haji “Paderi” beberapa tahun sebelumnya akhirnya semakin redup.
Pasukan pemadam perlawanan para Tuanku itu kini didatangkan
bertubi-tubi. Jawa bukan lagi beban yang memberatkan. Kaum Paderi yang
telah terkoyak serta terpecah menunggu ajalnya.
Inilah pertahanan Paderi yang penghabisan. Setelah menyerahnya Tuanku
Imam Bonjol, pasukan Belanda menggabungkan kekuatannya menggempur
Dalu-dalu. 28 Desember 1838. Sudah 14 bulan lamanya mereka berusaha
mengepung pertahanan Dalu-dalu. Kurban sudah bergelimpangan. Haji
Muhammad Saleh, lebih dikenal dengan Tuanku Tambusai, adalah sisa dari
tokoh Paderi yang diburu. Benteng paderi terakhir itu akhirnya
benar-benar tumbang. Pengikutnya banyak yang gugur ditembaki. Sebagian
lainnya mundur keluar gerbang. Menuju ke sungai. Perahu yang hendak
dipakai melarikan diri tak mencukupi. Banyak dari mereka yang melompat
ke sungai. Esoknya banyak yang mati mengambang di sungai itu. Entah
ditembaki atau karena tenggelam tak pandai berenang. Mereka yang
berhasil menyeberangi sungai mati dibunuh jua. Tapi Tuanku Tambusai tak
jelas rimbanya. Menurut cerita yang beredar kemudian, ketika benteng
runtuh, ia menyelamatkan diri ke sungai dengan menggunakan sampan. Ia
kemudian dihujani peluru. Melihat bahaya mengancam ia terjun ke dalam
air dan menyelam. Kemudian menghilang, hingga kini. Yang tersisa hanya
sampannya. Di dalamnya ditemukan cincin stempelnya. Al Qur’an, dan
kita-kitab yang dibawanya dari Mekkah. Dengan runtuhnya Dalu-dalu,
berakhir sudah perlawanan kaum Paderi di sumatera.[4]
Api Islam yang menyala-nyala dalam dada ulama dan umat memang menjadi
biang kerok kemapanan Belanda di Nusantara. Tahun 1873, api itu kembali
berkobar hebat di ujung Sumatera. Perang yang akan berlangsung
setidaknya hingga 40 tahun kemudian itu membuat keuangan pemerintah
kolonial terkuras. Kematian Jenderal Kohler pada ekspedisi pertama
mereka di Aceh, membuat mereka semakin mengganas. Pemerintah kolonial
tanpa ampun menghabisi rakyat aceh yang melawan. . Perang ini dikenal
sebagai perang pembantai wanita dan anak-anak. Tapi hebatnya, wanita
Aceh pula yang dikenal tidak punya rasa takut terhadap tentara penjajah.
Menurut penulis Belanda, Zentgraaf,
“Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden (wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan).” Di lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, “en dat de
vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en doodsverachting,” yang dalam terjemahan bebasnya berarti wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan berani mati.[5]
Salah satu wanita yang kelak akan dikenang seperti itu, adalah istri
seorang pria keturunan bangsawan, bernama Cut Muhammad. Sang suami yang
sedang menunggu eksekusi hukuman mati oleh penjajah, berpesan pada
istrinya, yang sedang menggendong anak mereka, Teuku Raja Sabi.
“Tidak perlu bersedih hati, Cut.”
Allah Maha Adil dan Bijaksana. Apa yang akan saya alami adalah
rangkaian dari perjuangan. Bukankah sama saja artinya bila saya jatuh
terkapar di medan pertempuran atau mati ditembak? Kedua-duanya adalah
dengan peluru musuh.”
“…”lanjutkan perjuangan bersama-sama rekan seperjuangan kita.”
“…setelah aku menjalani hukuman nanti dan idahmu telah selesai, kawinlah dengan Pang Nanggroê.”[6]
Pesan seorang suami yang ditaati istrinya beberapa bulan kemudian.
Menikahlah Pang Nanggroê, dengan wanita tadi. Wanita itu dikenal dengan
nama Cut Meutia. Sedangkan Pang Naggroê adalah panglima dari suaminya
yang terdahulu.
Enam tahun lamanya Cut meutia dan suaminya, Pang Naggroê, bergeriliya
dalam rimba, terletak di daerah sungai Wojla dan sungai Meulaboh.
Kecekatan pasukan dibawah pimpinan suami istri ini memaksa kolonial
Belanda untuk menerjunkan pasukan Marechaussee (Mersose) yang
dikenal kejam. Ironisnya gagasan terciptanya pasukan ini atas ide
seorang bernama Mohammad Syarief. Seorang Commis di kantor Gubernur
Aceh, di Kutaraja.[7]
Pada 24 September 1910, Cut Meutia kembali menjanda, setelah suaminya
Pang Nanggroê syahid diterjang peluru. Cut Meutia kemudian mengambil
alih komando dalam pasukannya. Sementara Kolone Macan dari pasukan
mersose terus memburu Cut Meutia. Sebulan kemudian, 25 Oktober 1910,
Kolone Macan dipimpin Sersan WJ Mosselman menyerbu Gunong Lipeh. Cut
Meutia dan pasukannya terkepung. Dua kali Sersan Mosselman, meminta Cut
Meutia- yang terkepung sangkur dan senapan-untuk menyerah.Namun
terjangan kelewang menjadi jawaban dari Cut Meutia. Tiga senapan
menyalak mengenai kepala dan badannya. Cut Meutia tersungkur. Syahid.
Menyusul suaminya. Memenuhi citanya, yang biasa ia ia dendangkan untuk
anaknya, Teuku Raja Sabi.
“Jak Ion timang preuen,
ureueng jameuen bhe lagoina,
Bek hai aneuek tagidong reunyeuen,
bila jameuen tuntut le gâta.”
(Mari kutimang, kasih
Dengan alunan nyanyian merdu
Janganlah sayang kembali pulang
Jangan kauinjak tangga rumahmu
Sebelum dendam sempat berbalas.)[8]
Bukan satu-dua kisah wanita Aceh yang menjanda, kemudian bergeriliya,
bahkan hingga syahid menyusul suami mereka. Adalah Tjut Nyak Dhien yang
turut meneruskan perjuangan suaminya, Teuku Umar. Pihak Kolonial
Belanda tak puas hanya dengan Teuku Umar. Tjut Nyak Dhien juga disasar.
Pada 1904, di medan Aceh Barat yang berat, Kapten Campioni mengejar
beliau. Kapten Campioni tewas diserbu 300 pejuang Aceh. Baru setahun
kemudian Tjut Nyak Dhien menutup lembaran geriliyanya. 4 November 1905,
Letnan Van Vuuren, berhasil menyergapnya. Dalam kondisi delapan hari
tidak makan nasi, hidup hanya memakan pisang bakar, ia terserang
penyakit yang membutakan matanya. Adalah Pang Laot Ali, pejuangnya
sendiri yang memberitahukan persembunyiannya. Pang Laot tidak tega
melihat kondisi pemimpinnya yang sudah begitu menderita. Ketika Tjut
Nyak Dhien tahu ia telah dikhianati Pang Laot, ia begitu murka, hingga
mencabut rencongnya dan hendak menikam Pang Laot. Namun usahanya tidak
berhasil.
Kemajuan teknologi berhasil mengabadikan Tjut Nyak Dhien yang telah
tertangkap. Kamera berhasil mengabadikan wajahnya yang bersedih saat ia
ditawan. Bersama keponakannya, T. Nana, 11 Desember 1906, wanita perkasa
itu dibuang ke Sumedang, karena dianggap membahayakan keamanan. Dua
tahun kemudian, 6 November 1908 ia wafat, jauh dari tanah yang
dicintainya.[9]
Selepas Perang Jawa yang menghancurkan keuangan pemerintah Kolonial,
sistem Tanam Paksa diberlakukan. Mereka berhasil menguras tanah air,
hingga diperkirakan menangguk keuntungan 832 juta gulden atau setara
dengan 600 triliun rupiah saat ini.[10] Namun angin politik etis
kemudian berhembus. Dan pemerintah kolonial semakin memahami kondisi
umat Islam di Nusantara. Untuk tetap menancapkan kukunya, haluan
kebijakan berganti menjadi halus. Dipakai jasa orientalis semacam
Christian Snouck Hugronje. Ia membawa pemerintah kolonial untuk
menceraikan Islam dari politik, dan membiarkannya sibuk dengan urusan
ibadah dan kemasyarakatan semata.[11] Putra-putra ningrat dibaratkan.
Warisan adat diperkuat. Islam diceraikan dari jejaknya. Huruf (Arab)
Jawi disingkirkan, huruf latin ditegakkan. Hasilnya terasa, perlawanan
tak lagi menghebat. beberapa pemberontakan memang muncul. Namun tak ada
yang sedahsyat Perang Jawa, Paderi atau Aceh. Umat Islam mulai
menggerakkan dirinya dengan pendidikan dan organisasi. Sebut saja
Syarekat Islam, Persis, Muhammadiyah, NU dan lainnya. Bukan berarti tak
ada tekanan dari pemerintah kolonial. Berbagai aturan tetap mengancam,
seperti ordonansi sekolah liar yang menggusur lembaga pendidikan dan pers delicht yang memberangus kebebasan bersuara.
Jepang kemudian datang. Belanda terjengkang. Awalnya Jepang bersikap
represif kepada ulama. KH Hasyim Asyari yang sudah sepuh ditangkap.
Namun protes datang bergelombang. Kiyai-kiyai dan santri ingin ditahan
bersama Hadlratus Syaikh. Atas lobi-lobi, akhirnya, Hadlratus Syaikh
dibebaskan. Jepang mulai merangkul ulama untuk menjaga wibawa.
Kebijakan ini membuat para ulama terjepit. Antara tajamnya samurai dan
uluran tangan kotor Jepang. Penindasan, romusha, hingga penculikan
gadis-gadis untuk pemuas nafsu Jepang, membuat ulama jijik dan
enggan.[12] Namun keadaan memaksa mereka untuk mengambil jalan siasat,
bekerja sama dengan Jepang. Menipu mereka dan menggalang kekuatan. Salah
satu yang terpaksa ikut dalam siasat ini adalah KH Mas Mansyur.
Pemimpin besar Muhammadiyah. Diangkat menjadi pemimpin PUTERA bersama
Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Ia hidup dalam tekanan berat.
Bermanis-manis di depan Jepang, hati remuk tatkala melihat rakyat
ditindas. Namun akhirnya Jepang hengkang, Indonesia bersorak girang.
Merayakan kemerdekaan. Tetapi untuk diri KH Mas Mansyur, inilah awal
yang akan menutup lembaran hidupnya. KH Mas Mansyur perlahan pulih dari
tekanan. Tak lama berselang, Belanda berseragam NICA datang. Lepas dari
dunia politik , Ia kembali mengajar. Kadang berkhotbah dalam sholat
Jumat. Mengecam sebagian orang yang berkhianat kepada republik.
Ironisnya ia sendiri kemudian menjadi korban para pengkhianat ini.
Saat pasukan sekutu bersama NICA semakin leluasa memasuki Ampel.
Puluhan pemuda dan orang tua ditahan. KH Mas Masnyur tak luput dari
fitnah ini. Ia dituduh menjadi kolaborator Jepang, karena pernah bekerja
sama dan menduduki pucuk pimpinan PUTERA. Dalam keadaan puasa sunnah,
dia ditahan dan diikat. Rumahnya di Kampung Baru Nur Anwar digeledah.
Tulisan-tulisan penting beliau ikut diangkut. Beliau kemudian diancam
dengan hukuman berat. Kecuali jika mau bersedia berpidato di radio
AMACAB milik sekutu. Untuk menghasut rakyat menghentikan perlawanan.
Tawaran ini ditampiknya.
Ia kemudian dibebaskan dalam keadaan sakit. Namun ini hanya sementara. Tak lama ia ditangkap kembali. Karena terlalu lemah ia dilarikan ke rumah sakit swasta di Darmo. Tanpa ditemani siapa pun, termasuk anak, istri atau kerabatnya, Di situ berbaring seorang diri dalam kesunyian. Hingga malaikat menceraikan ruh dari badannya. Begitu sunyi dan terasing, bahkan hingga saat ia menghembuskan nafas terakhirnya pun, tak ada yang mengetahui dengan pasti waktu wafatnya. Tanggal kematiannya tercatat dalam beragam versi. Corong radio AMACAB melalui Djojobojo memberitakan tanggal 1 April 1946. Ada pula yang mengatakan 24 atau 25 April. Jenazahnya dimakamkan di kuburan Gipo, dekat Masjid Ampel. [13]
Roda sejarah terus berputar. Zaman terus berganti, dari masa revolusi
kemerdekaan hingga Demokrasi terpimpin. Mungkin Inilah masa yang
memakan korban ulama serta tokoh Islam terbanyak. Khususnya tokoh-tokoh
Masyumi yang dilumpuhkan dengan keji oleh rezim Soekarno, yang didukung
oleh pihak komunis. Terjangan fitnah bertebaran dimana-mana. Memaksa
siapa pun untuk ikut menari dalam tabuhan Sang Pemimpin Besar Revolusi.
Namun tidak bagi Masyumi. Mereka terus mengkritik kebijakan Soekarno.
Menolak agama disandingkan dengan komunisme. Menampik laku
sewenang-wenang penguasa. Soekarno mulai kehabisan akal. Tangan besi
diayunkan. Tokoh-tokoh Masyumi pun bertumbangan. Akhirnya 13 September
1960, Masyumi pun memilih menghabisi dirinya sendiri, ketimbang
dihabisi. Namun tragedi baru saja dimulai. Satu persatu anggotanya
diterjang fitnah. Ditangkap. Dilumpuhkan.[14]
27 Januari 1963, siang itu sungguh mengejutkan. Empat orang datang
mengetuk pintu. Sang tuan rumah dengan ramah membuka pintu dan menyambut
tamunya. Tak disangka, para tamu membawa surat sakti. Surat penangkapan
atas sebuah tuduhan. Sang tuan rumah, Buya Hamka, tersentak. Ia
kemudian dibawa pergi.
“Dalam keadaan tak tahu apa kesalahan saya dalam tengah hari letih
berpuasa, saya dijemput dan dicabut dengan segenap kekerasan dari
ketentraman saya dengan anak istri, disisihkan dari masyarakat dan
dimasukkan ke dalam tahanan,” tutur Buya hamka.[15]
Tuduhan pada Buya Hamka begitu hebat. Ia dituduh hendak membunuh
Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri. Dituduh pula ia pernah menghasut
mahasiswa untuk meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureu’eh,
M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara. Mimpi buruk untuk Buya Hamka
baru saja bergulir. Ia difitnah. Untuk melanggengkan penangkapan atas
dirinya, segala macam usaha dipakai, memaksa ia mengaku.
“Dengan tekanan batin yang sangat menyesak, dipasang
pertanyaan-pertanyaan jebakan. Kadang dengan ancaman, kadang dengan
gertak, kadang-kadang tidak membiarkan istirahat agak sejenak, kita yang
ditanya disuruh mengakui hal-hal yang telah disusun menjadi tuduhan.”[16]
Dan setelah “selesai” segala pemeriksaan, teruslah ditahan. Dua
setengah bulan dihujani perlakuan semacam ini, membuat Buya Hamka ambruk
juga. Ia akhirnya terpaksa menandatangani tuduhan kepada dirinya.
Pengakuan yang dipaksakan itu dilakukan Buya Hamka, karena ia mengira
kelak di pengadilan, akan bisa melawan. Membeberkan segala kebusukan.
Nyatanya tak akan pernah ada pengadilan atasnya.
Situasi semakin suram dengan diterbitkannya sebuah keputusan dari
Presiden Soekarno, Pen. Pres No. 11/1963. Tiga hari setelah setelah Buya
Hamka ditahan. Sebuah keputusan Presiden yang menceraikan manusia dari
fitrahnya. Pen Pres menjadi pisau tajam sebuah tuduhan subversif, yang
berhak menahan siapa pun. Setengahnya disiksa dengan kejam, sampai jarak
antara mereka dengan maut hanya beberapa langkah lagi, bahkan ada turut
berjumpa dengan maut.
Salah satunya yang hampir berjabat dengan maut adalah KH Ghazali Sahlan. Seorang Masyumi jua.
KH Ghazali Sahlan ditangkap di rumahnya selepas sholat subuh, 7
Januari 1964. Salah satu tuduhannya adalah membentuk organisasi gelap.
Awalnya pemeriksaan berlangsung sopan dan pantas. Tiga hari kemudian
dunia seakan runtuh bagi KH Ghazali Sahlan. Ia mulai ditekan untuk
mengakui segala tuduhan kepadanya. Kepolisian yang banyak dikuasai
komunis menjadi-jadi. Suatu waktu, ditengah malam buta, Inspektur Polisi
Solihun, memerintahkan Ghazali Sahlan untuk melepas pakaiannya. Ghazali
hanya mengenakan pakaian dalam saja. Pukukl 1 malam ia mulai dipukuli,
hingga berdarah-darah. Pukul 3 pagi ia ditanya,
“Jikalau saudara mati terbunuh dalam pemeriksaan ini, apakah pesan saudara?” Ia menjawab, “Saya hanya pesan agar jenazah saya dikirimkan ke Jakarta atas biaya keluarga saya.”
Pukul 4 pagi, Ghazali Sahlan makan sahur. Tak lama ia kembali ditelanjangi. Dipaksa melalkukan scotch Jump. Terus menerus scotch Jump
hingga terjatuh-jatuh. Ditengah-tengah jatuh bangun, ia ditodong
pistol. Kembali ditanya pesan terakhirnya. Ia menjawab hal yang sama,
dengan tambahan, “Sesudah saya mengucapkan kalimat, La ilaaha’illalah, barulah tembak.”
Nyatanya tim pemeriksa menolak untuk menembak, lebih senang untuk
menyiksanya. Izin Ghazali Sahlan untuk sholat pun ditampik. Pukul 9 pagi
Ghazali rubuh. Ia terkapar. Namun pukul 11 ia kembali disiksa. Hanya
kali ini lebih keji. Ia disetrum. Berkali-kali KH Ghazali Sahlan
meneriakkan kalimat Tauhid. Berharap syahid menjemput. Ia kerap
dipaksa untuk mengaku, namun paksaan itu ditolaknya. Berkali-kali ia
disetrum hingga tangannya mengeluarkan darah. Namun itu tak menghentikan
siksaan. Lipatan tangan, kaki, pinggang hingga kuduk, dilekatkan dengan
aliran listrik. Siksaan berlanjut esok harinya. Semakin menggila. Dalam
keadaan telanjang bulat alat vitalnya disetrum. Lalu mulutnya.
Berulang-ulang, padahal ia sedang berpuasa. Hingga akhirnya ia tak
sadarkan diri. 10 hari KH Ghazali Sahlan terkapar tanpa daya.Ternyata
penyiksaan kepada KH Gahzali Sahlan dan Buya Hamka hanya jebakan untuk
menangkap Kasman Singodimedjo, salah satu tokoh Masyumi yang paling
lantang. Pengakuan mereka dibutuhkan untuk membuat Kasman dijebloskan ke
dalam tahanan.[17]
Namun Kasman bukanlah orang yang awam dengan hukum. Kasman tak mudah
untuk ditaklukkan. Setiap hari selama 24 jam Kasman terus diperiksa.
Bergiliran oleh 6 tim. Dalam keadaan puasa Ramadhan ia kerap ditekan,
dipojokkan dan diintimidasi, Empat hari di periksa, akhrinya Kasman
menantang untuk dikonfrontir. Pertama yang dihadirkan adalah Letkol
Nasuhi. Ketika dikonfrontir,. Letkol Nasuhi hanya berbicara pelan.
Hingga Kasman marah, dan berteriak,
“Yang keras suaramu, supaya kedengeran!”
“Saya terpaksa,” sahut Nasuhi.
Tim Pemeriksa kemudian gaduh. Kasman kembali menantang untuk dikonfrontir dengan siapa pun.
“Pertama, saya siap dikonfrontir dengan semua pengakuan siapa pun, Termasuk H. Ghazali Sahlan dan Hamka. Silakan!,” tegas Kasman.
“Kedua, maaf, saya dapat kesan bahwa oleh team pemeriksa, terutama
dari team-team pemeriksa terdahulu telah dikerjakan penggiringan,
paksaan-paksaan, siksaan-siksaan, dan lain sebagainya, sehingga para
tertuduh yang bersangkutan itu terpaksa mengaku demi keselamatan jiwa
mereka.”
Beberapa saat kemudian, Kasman berdiri. Dia buang kursinya jatuh ke
belakang, dan dengan tangan ke atas dia berteriak sekeras-kerasnya
dengan melotot,
“Percuma pemeriksaan semacam ini. Percuma! Sekarang begini saja.
Silakan tuan-tuan cabut pistolnya dan tembaklah saya. Tembak! Tembaak!
Tembaaak!”[18]
Ketua tim pemeriksa kemudian memutuskan untuk memberikan waktu
istirahat bagi Kasman. Namun keadaan tak berubah. Beragam cara tak bisa
membuat Kasman bersalah. Barulah 16 hari kemudian Kasman dibebaskan.
Setiap penindasan yang terjadi bukan hanya melumpuhkan seorang
pejuang, tapi juga meruntuhkan tatanan keluarganya. Menceraikan dari
anak dan istrinya. Mengasingkan dari masyarakatnya. Mereka tidak saja
kehilangan kebebasan tapi juga kehilangan kesempatan untuk menafkahi
keluarga. Istri mereka tiba-tiba dipaksa memutar otak menjadi tulang
punggung keluarga. Menjual apa saja yang berharga. Seperti apa yang
dialami keluarga Syafrudin Prawiranegara yang kehilangan rumah mereka.
Penindasan ini bahkan juga memasung hak-hak mereka sebagai ayah.
Mohammad Natsir tak secuil pun diberikan kesempatan untuk menikahkan
putrinya. Ia hanya bisa berdoa di tahanan ketika putri pertamanya
menikah. Sungguh keadaan yang menekan jiwa.
Yunan Nasution, mantan sekjen Masyumi yang turut ditahan, berkisah,
dinding tahanan menjadi saksi coretan-coretan mereka. Ayat-ayat Quran
seperti, “Umat-umat yang dahulu telah silih berganti mengalami bangkit dan jatuh,” atau “Tuhan akan mempergilirkan hari-hari kehidupan manusia dengan kalah dan menang.” Kelak,
janji Allah yang ditorehkan pada dinding-dinding tahanan itu terbukti.
Tatkala mereka dibebaskan, pihak-pihak dari komunislah yang kemudian
berganti mengisi tempat mereka. [19]
Peristiwa membungkam dan melumpuhkan sesungguhnya tidak berhenti
sampai di sini saja. Masih banyak dan kerap terjadi peristiwa dan
pejuang lain yang di bungkam dan dilumpuhkan, bahkan hingga beberapa
langkah saja dari maut. Atau malah menjemput syahid. Bahkan hingga kini.
Para penguasa lalim kerap mengikuti langkah yang sama, namun tak akan
pernah bisa menumpas setiap gema kebenaran. Mereka hanya bisa
melumpuhkan raga, namun tidak jiwanya. Menceraikan nyawa dari badannya,
tapi tidak mematikan semangatnya.
Para pejuang itu adalah pejuang yang membumi, namun dengan hati
mengingat ke langit. Menolak hidup berbalut kemewahan, dan memimpin
dengan segala keberanian. Dan sesunggunya, api perjuangan itu tak akan
pernah padam, dan selamanya berkobar-kobar. Sejarah mencatat, sebuah
pembungkaman hanya akan memicu rentetan perlawanan yang lain. Satu
penindasan akan memacu gema kebangkitan lain. Semua itu karena api itu
di bakar oleh keinginan menegakkan kalimat Allah dalam bumi nusantara
ini.
Catatan.
- Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
- 2. Ibid.
- 3. Hal ini diungkapkan Pangeran kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia. Tiada lagi yang tersisa bagi dirinya di dunia ini, kecuali mati sebagai sabilillah dalam pertempuran.
- Radjab, Muhamad. (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838). Jakarta : PN Balai Pustaka.
- Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara.
- 6. Ibid.
- Ibid.
- Ibid.
- Alfian, Ibrahim. (1987). Perang di Jalan Allah : Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan.
- Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
- Suminto, H. Aqib. (1996). Politik Islam Hindia Belanda. Het Kantoor voor Indlandsche Zaken. Jakarta: LP3ES
- Zuhri, Saifudin. (1974). Guruku Orang-orang Pesantren. Bandung: PT AlMa’arif.
- I.N, Soebagijo. (1982). K.H. Mas Mansur. Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
- Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
- Hamka. (2004). Tafsir Al Azhar Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
- Ibid.
- Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
- Ibid.
- Nasution, Yunan. Kenang-Kenangan Di Belakang Terali Besi di Zaman Orla. Jakarta : Bulan Bintang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jejak Islam Bangsa adalah sekumpulan peminat sejarah Islam di nusantara, sebuah komunitas pecinta sejarah Islam. Dididirikan pada Juli 2013, bermula dari keprihatinan kami akan penafsiran sejarah yang tidak berpandangan Islam serta seakan mengubur peran besar Islam dalam bangsa ini.
JIB kembali menepuk memori Indonesia, membuka cakrawali ke perbendaharaan lama, bahwa Islam di Indonesia saling berpilin, tak dapat dipisahkan
JIB kembali menepuk memori Indonesia, membuka cakrawali ke perbendaharaan lama, bahwa Islam di Indonesia saling berpilin, tak dapat dipisahkan