Berdakwah di Suku Pelaut
AIR satu jerigen harganya tiga ribu rupiah. Itupun harus beli di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Itulah yang terjadi di Pulau Kera. |
Pulau ini memang berada di tengah lautan air. Tapi air bersih menjadi barang langka di sini. Sebab, lautan air itu tidak bisa digunakan untuk memasak. Maklum air laut, rasanya asin. Maka untuk mendapatkan air bersih penduduk harus menempuh perjalanan sekitar 40 menit dengan naik perahu tempel. Bukan hanya air bersih yang langka. Listrik dan papan juga tidak ada. Jika malam, untuk menyalakan lampu, penduduk memakai minyak gas. Lebih menyedihkan lagi keadaan rumah mereka, semuanya berupa gubuk yang terbuat dari seng atau jerami.
Mereka selama ini dianggap masyarakat liar. Pemerintah Kabupaten Kupang hingga kini tidak mengakui keberadaan mereka. Sekalipun faktanya, mereka sudah menghuni pulau berpasir putih itu sejak puluhan tahun lalu. Tapi anehnya, walau pemerintah tidak mengakui keberadaan mereka, setiap pemilu mereka diberi hak mencoblos. Karena tidak diakui keberadaannya, di pulau ini tidak ada fasilitas umum seperti pendidikan atau kesehatan. Padahal jumlah penduduknya cukup banyak, ada sekitar 80 KK atau 350 orang. Mereka berasal dari suku Bajo dan beragama Islam.
Lantaran tidak ada sekolah, nyaris semua pendudukanya tidak mengenyam bangku sekolah. Termasuk anak-anak dan remajanya. Ini yang memprihatinkan. Mata pencarian mereka melaut, yang hasilnya untuk makan saja pas-pasan.
Keadaan seperti itulah yang mengetuk nurani Syaiful Bahri, dai Hidayatullah di Kupang. Sejak tahun 2000, anak muda ini membina masyarakat Pulau Kera. Sekarang, setidaknya seminggu sekali Syaiful datang membina mereka. Bukan hanya memberi siraman rohani, terkadang ia juga membagi-bagi sembako gratis. Belakangan, Syaiful tidak sendirian. Ia ditemani Ramli, dai dari Dewan Dakwah Islamiyah (DDI). Merekalah yang kini bahu membabu membina masyarakat Pulau Kera. Perhatian utama mereka sekarang adalah pendidikan untuk anak-anak dan remaja. “Sekarang kami sedang membangun sekolah,” kata Syaiful.
Bangunan sekolah itu baru setengah jadi. Berukuran sekitar 5 X 10 meter, dindingnya terbuat dari batako dan beratap seng. Itupun dinding bagian atasnya masih bolong.
Untuk fasilitas lain seperti bangku, papan tulis dan buku-buku juga belum ada. “InsyaAllah, nanti kami lengkapi. Sekarang cari dana dulu,” kata Syaiful. Nah, siapa berkenan membantu?*
Dukung dakwah para dai nusantara melalui rekening donasi Bank Syariah Mandiri 7333-0333-07 a/n:Pos Dai Hidayatullah, BNI, no rek: 0254-5369-72 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta, Bank Muamalat no rek: 0002-5176-07 a/n: Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta. Ikuti juga program dan kiprah dakwah dai lainnya serta laporan di portal www.posdai.com
sumber : www.posdai.com