Kebebasan Beragama
oleh Prof. Dr. K. H. M. Rasjidi
Kebebasan beragama atau religious freedom adalah salah satu daripada kata-kata yang dalam perkembangannya telah kehilangan artinya yang bersifat ilmiah dan pasti. Biasanya kebebasan beragama disalahpahamkan dan dianggap sama dengan kemerdekaan berpikir (freedom of thought), padahal orang yang menganjurkan kemerdekaan berpikir belum tentu setuju dengan kebebasan beragama. Kemerdekaan berpikir adalah dasar filsafat yang menganggap dirinya mempunyai kebenaran mutlak sedangkan kebebasan beragama hanya merupakan suatu prinsip yuridis yang mengatur hubungan luar antara beberapa individu-individu atau kelompok.
Kebebasan beragama, menurut Rufini (La liberté religiosa, 1901, terjemahan Inggris 1912) berarti: Menciptakan suatu kondisi dalam masyarakat di mana seorang manusia dapat menuntut tujuan-tujuan spiritual yang tertinggi dengan tidak dihalangi orang lain. Dengan begitu maka syarat dapat terciptanya kemerdekaan beragama, di samping adanya pemerintah dan lebih dari satu agama dalam negara, adalah pendidikan moral yang cukup berkembang, sehingga kepribadian individu dalam masyarakat tersebut dapat dianggap mampu untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.
Menurut gambaran tersebut di atas, kebebasan beragama nampak dalam tiga aspek. Pertama: otonomi individu untuk menentukan agama yang ia sukai; kedua: otonomi suatu kelompok masyarakat agama untuk melakukan hal-hal yang mengenai masyarakat tersebut; dan ketiga: persamaan hak-hak agama dari segi hukum dan pemerintah.
Untuk menjamin persamaan tersebut di atas ada dua jalan, pertama jurisdictionalism dianut di Eropa. Di sana pemerintah menjaga kedudukan yang sama bagi tiap-tiap agama dalam daerah pemerintah tersebut dengan cara memperhatikan aktivitas agama dengan cara yang ketat. Cara kedua atau separatism, yaitu cara yang dipakai di Amerika Seri-kat juga bertujuan menjaga kedudukan yang sama bagi tiap-tiap agama, akan tetapi dengan jalan lain, yakni dengan menyerahkan urusan-urusan kelompok agama itu kepada mereka sendiri. Pemerintah akan campur tangan hanya bila keselamatan bangsa terancam. Dua cara tersebut di atas masing-masing mempunyai argumentasi sejarah dan doktrin yang jika dipraktekkan akan menjamin kebebasan beragama.
Ide kebebasan beragama justru berawal dari pemaksaan agama di daratan Eropa pada masa kegelapan. Pada tahun 1184, Paus Lucius III mengadakan persetujuan dengan Frederick Barbossa yang maksudnya: “Persatuan agama (hanya agama Katolik) harus dipaksakan dengan segala cara yang dahsyat”. Hal tersebut dilaksanakan pada zaman Paus Innocent III, Gregory IX, dan Innocent IV, tanpa mendapat tantangan dari rakyat karena waktu itu belum muncul hak perorangan.
Pada zaman Renaissance abad XV dan Reformasi (permulaan abad XVI) muncullah rasa kepribadian perorangan, dan hal tersebut mempengaruhi pertumbuhan kebebasan beragama.
Laboulaye mengatakan dalam karyanya La Liberte Religieuse 1875, bahwa “kebebasan beragama mendapat dukungan dari ide-ide reformasi seperti: hak untuk berontak melawan kekuasaan (yang disalahgunakan) gereja, hak untuk menyelidiki kebenaran agama tanpa batas apa pun dan ide tentang hubungan langsung antara Tuhan dan Manusia”. Pengaruh ide-ide reformasi tersebut telah menjerumuskan Eropa ke dalam peperangan yang hebat dan mengalihkan perhatian dari segi keagamaan menjadi segi urgensi praktis. Dan oleh karena kedua pihak sama-sama kuat maka penyelesaian problema dilakukan dengan jalan kompromis, agar kedamaian dapat kembali atas dasar yang lebih berperikemanusiaan.
Kemudian terjadi pula perang antar keluarga Bourborns dari Perancis yang beragama Protestan dan keluarga Hapsburg di Spanyol yang beragama Katolik. Akhirnya diadakan perjanjian perdamaian yang disebut perjanjian Westphalia pada tahun 1648. Perjanjian ini mengandung hal-hal penting diantaranya pengangkatan hakim-hakim Protestan dan Katolik dalam jumlah yang sama.
Jelaslah bahwa toleransi adalah ide barat, dalam masyarakat Kristen yang bersekte-sekte, terjadi pada abad ke XVII.
Bagi Ummat Islam, toleransi tidak berarti kita harus diam jika kaum penginjil mengkristenkan kaum awam yang beragama islam. Islam memberikan petunjuk berkenaan dengan persoalan perbedaan agama.
Pertama: Islam adalah agama Tuhan yang terakhir yang mengoreksi agama-agama sebelumnya. “Sesungguhnya agama yang benar di hadirat Allah adalah agama islam (Al-Imran: 19)”.
Kedua: Di dunia ini harus ada rasa saling hormat menghormati, antara agama. Kalau tidak begitu akan terjadi kekacauan. “Dan sekiranya Allah tidak melindungi manusia sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain (dengan diakuinya prinsip kebebasan beragama) niscaya telah dirobohkan oranglah tempat-tempat pertapaan dan gereja-gereja Kristen dan tempat-tempat sembahyang Yahudi dan masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah padanya (Al-Hajj: 40).”
Ketiga: Orang yang melakukan dakwah harus dengan sopan santun. “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik (An-Nahl: 125)”.“Tak ada paksaan dalam agama. Telah nyata kebenaran dari kesesatan (Al-Baqarah: 256).”
Keempat: “Dan jika Tuhan menghendaki, tentu berimanlah semua manusia yang ada di bumi. Karena itu patutkah engkau memaksa manusia sehingga mereka jadi mu’min (percaya) (Yunus: 99).”
Prof. Dr. K. H. M. Rasjidi |
Hubungan antara umat islam dan orang-orang yang tidak islam yang hidup di antara mereka adalah hubungan yang mesra. Hak-hak mereka terjamin. Pada zaman nabi Muhammad berada di Madinah terdapat di kota itu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Begitu juga pada masa Khulafaur Rasyidin, ketika islam berkuasa di daerah yang sebelumnya telah dikuasai oleh kerajaan Romawi
---------------------------------------------------
Khazanah adalah lembaran yang diterbitkan secara berkala oleh DISC Masjid UI yang bekerjasama dengan Komunitas NuuN dengan tujuan menghadirkan kembali karya para ahli terdahulu.*
Pada kesempatan ini, kami hadirkan artikel yang ditulis oleh Prof. Dr. K. H. M. Rasjidi yang terdapat dalam buku yang berjudul Kebebasan Beragama yang diterbitkan oleh Fajar Shadiq pada tahun 1979.