Pendidikan Menurut Ibn Khaldūn
Pendidikan Ibn KhaldunSetiap penggalan sejarah pemikiran Islam selalu melahirkan dan meninggalkan tokoh, ide, dan falsafah hidupnya sendiri, khususnya dalam bidang pendidikan. Ide dan falsafah hidup inilah yang menjadi kebanggaan generasa berikutnya untuk senantiasa “ditoleh” untuk diambil ‘api’-nya dan dinyalakan kembali hari ini. Diantara tokoh penting dalam ranah pendidikan ini adalah Ibn Khaldūn, yang sampai hari ini “api” ide dan pemikirannya terus digali dan dikembangkan. Dan tulisan ini hanya akan fokus pada satu warisan penting pengarang kitab al-Muqaddimah yang sangat fenomenal itu, yaitu pemikiran tentang pendidikan.
Berbicara tentang kehidupan Ibn Khaldūn, Dr. Muhammad Fārūq al-Nabhān membaginya ke dalam empat fase:
Fase Kelahiran dan Pertumbuhan
Fase ini dimulai sejak kelahirannya tahun 732 H sampai 751 H. Fase hidupnya ini dia habiskan di Tunisia: menuntut ilmu kepada guru-gurunya yang merupakan para ulama Tunisia. Mereka ini memiliki hubungan dekat dengan bapaknya yang memang tipe pencari ilmu dan menjauhi hiruk-pikuk politik. Apa yang dilakoni bapaknya ini sangat berbeda dengan keluarga Ibn Khaldūn.
Fase ini merupakan fase pembentukan kepribadian Ibn Khaldūn, wawasan, dan amunisi keilmuannya. Sekiranya kondisi hidup di Tunisia diikuti terus oleh Ibn Khaldūn, kemungkinan besar dia tak mendapat kesempatan untuk menulis tentang filsafat sejarah, kebudayaan, peradaban, dan negara.
Pada fase ini pula ternyata Ibn Khaldūn sangat kagum kepada Sultan al-Murīnī yang bernama Abū al-Hasan, yang berkuasa di Tunisia pada tahun 748 H. Dan dia tidak sendirian, melainkan diikuti oleh para ulama yang ada di zaman itu. Kemungkinan dia juga mengagumi para ulama yang dipilih oleh Sultan untuk mengiringinya, yaitu para ulama Maghrib dan Tunisia. Pada masa itu pula terjadi “Peristiwa al-Qairuwān” ketika rakyat Tunisia memprotes Sultan dan mengepungnya. Akhirnya Sultan dapat melepaskan diri dari genggaman mereka dan dapat kembali berkuasa atas Tunisia.
Fase Kedua: Fase Berpolitik Praktis
Fase ini memanjang dari tahun 751 H, ketika Ibn Khaldūn diangkat sebagai juru tulis tanda (simbol) pada masa perdana menteri Ibn Tāfrākīn yang otoriter dalam memerintah Tunisia ketika itu, sampai tahun 776 H ketika pulang dari perjalanannya yang kedua ke Andalusia. Dia kemudian menyendiri di benteng Ibn Salāmah. Pada fase kehidupannya yang subur ini, Ibn Khaldūn dibawa kepada kondisi stabil. Tetapi kehidupannya bergolak dan menyedihkan, meski kadang masa-masa menyenangkan. Meskipun begitu, ia hidup dalam kegoncangan jiwa, alienasi yang berkelanjutan, terkadang jiwa ingin mendapatkan kemuliaan yang diimpikannya. Namun impian itu kadang lenyap secara tiba-tiba: yang meninggalkan di belakangnya rasa sakit dan sedih. Namun harus segera dicatat bahwa Ibn Khaldūn bukan orang yang gila jabatan, kedudukan, dan popularitas. Itu mungkin hanya terjadi di awal fase hidupnya ini.[1]Fase Ketiga: Fase Menulis dan Kerja Ilmiah
Fase ini berlangsung dari akhir 776 H sampai 784 H. Secara khusus Ibn Khaldūn menyendiri untuk melakukan kerja ilmiah setelah jiwanya merasa “sempit” dengan aksi-aksi politik. Akhirnya dia pun membenci kehidupan yang tak pasti itu. Karena kehidupan ini pula yang menjadikannya berjalan begitu berat, karena digelayuti oleh kesulitan dan kesedihan. Selama empat tahun ia hidup di Benteng Ibn Salāmah secara zuhud: jauh dari keramaian untuk secara khusus menulis. Di masa inilah ia berhasil menorehkan karya yang sangat penting dalam hidupnya. Dan tentu saja ini lahir dari kondisi jiwanya yang dinikmatinya selama fase ini.[2] Maka dimulailah di sini penulisan al-Muqaddimah, sebagai pengantar untuk bukunya yang amat terkenal al-‘Ibar. Buku al-Muqaddimah ini menjadi buku yang terpenting: yang harus dikaji dan diteliti, karena merupakan karya penting yang lahir di masa itu dalam lapangan studi sosial.[3] Hingga hari ini kitab al-Muqaddimah menjadi rujukan terpenting dalam ranah sosiologi. Ini menegaskan bahwa apa yang ditulis oleh Ibn Khaldūn benar-benar membumi dan matang.
Fase Keempat: Masa Mengajar dan Menjadi Hakim
Fase ini dimulai sejak akhir 784 H sampai akhir 808 H yang memakan waktu 24 tahun. Fase ini dianggap sebagai penyempurna fase sebelumnya. Dan sejatinya, fase kehidupan Ibn Khaldūn segara garis besar dapat dibagi menjadi dua saja: fase kerja politik dan fase kerja ilmiah. Di fase pertama ia tenggelam dalam lautan politik.[4]
Perjalanan Hidup Ibn Khaldūn
Dalam autobiografinya[5], Ibn Khaldūn mencatat bahwa nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Rahmān ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Muhammad ibn Jābir ibn Muhammad ibn Ibrāhīm ibn ‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn. Itu asal-usul nasabnya yang berjumlah sepuluh, meskipun menurutnya lebin banyak dari itu, karena Khaldūn adalah yang masuk (datang) ke Andalusia.[6] Nasabnya di Hadramaut berasal dari Arab Yaman yang memiliki rantai nasab sampai Wā’il ibn Hujr, seorang Sahabat. Yang pernah didoakan oleh Rasulullah Saw. untuk diberkahi oleh Allah, anaknya, dan cucunya sampai hari Kiamat. [7] Dia juga biasa disebut dan dikenal dengan Abū Zaid Walīy al-Dīn ibn Khaldūn. Panggilannya Abū Zaid dan gelarnya Walīy al-Dīn. Namun masyhur dengan nama Ibn Khaldūn. Walīy al-Dīn sendiri merupakan gelar yang diberikan kepadanya setelah diangkat sebagai hakim di Mesir.[8]
Ibn Khaldūn dilahirkan di Tunisia, 1 Ramadan 732 H/27 Mei 1332 M. Sampai hari ini, rakyat Tunisia masih mengetahui rumah tempat dimana Ibn Khaldūn dilahirkan. Jallan dikenal dengan Jalan Turbah al-Bāy. Beberapa tahun lamanya rumah kelahirannya ini digunakan sebagai Sekolah Tinggi Manajemen. Di pintu masuknya digantungkan tanggal kelahiran Ibn Khaldūn.
Memasuki masa belajar, Ibn Khaldūn memulai pendidikannya dengan menghafal Al-Quran dan tajwidnya, sesuai dengan metode yang digunakan di berbagai negara Islam. Karena masjid di masa itu menjadi sentral pengajaran, Ibn Khaldūn menghafal Al-Quran dari masjid sampai menguasai ilmu qirā’āt kepada para huffāz disamping talaqqī ilmu kepada para syaikh. Masjid tempat mulai belajar Ibn Khaldūn ini pun masih dikenal baik oleh rakyat Tunisia sampai sekarang. Mereka menyebutnya dengan Masyid al-Qubbah (Masjid al-Qubbah).
Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri. Karena Tunisia di zamannya merupakan pusat para ulama dan sastrawan di belahan negara Maroko serta tempat hilir-mudiknya para ulama Andalusia. Kepada para ulama ini lah Ibn Khaldūn belajar Al-Quran sampai menguasai qirā’āt sab‘ah, khususnya qirā’at Ya‘qūb ibn Ishāq ibn Zaid ibn ‘Abd Allāh ibn al-Hadramī al-Basrī (118-204 H). Selain itu, kepada mereka Ibn Khaldūn belajar ilmu Tafsir, Hadits, dan Fiqh menurut madzhab Maliki (sebagai madzhab yang merupakan madzhab yang terus dipegang sampai hari ini di Maghrib), Usūl al-Fiqh, Tawhid, dan ilmu-ilmu linguistik (bahasa Arab, Nahwu, Saraf, Balāghah, dan Sastra). Selanjutnya, Ibn Khaldūn pun mempelajari ilmu logika (al-mantiq), filsafat, ilmu alam, dan matematik.
Diantara nama-nama guru yang disebutkannya adalah: Muhammad ibn Sa‘d ibn Burrāl al-Ansārī, Muhammad al-‘Arabī al-Hashāyirī, Muhammad ibn al-Syawwāsy al-Zarzālī, Ahmad ibn al-Qassār, Muhammad ibn Bahr, Muhammad ibn Jābir al-Qaisī, Muhammad ibn ‘Abd Allāh al-Hayyānī, Abū al-Qāsim Muhammad al-Qasīr, Muhammad ibn ‘Abd al-Salām, Muhammad ibn Sulaiman al-Syatthī, Ahmad al-Zawāwī, ‘Abd Allāh ibn Yūsuf ibn Ridwān al-Mālaqī, Abū Muhammad ibn ‘Abd al-Muhaimin ibn ‘Abd al-Muhaimin al-Hadramī, dan Abū ‘Abd Allāh ibn Ibrāhīm al-Ābilī.
Dua diantara guru-guru yang disebutkannya tersebut memiliki pengaruh besar terhadap horizon dan wawasan keilmuan Ibn Khaldūn, yaitu: Pertama, Abū Muhammad ibn ‘Abd al-Muhaimin ibn ‘Abd al-Muhaimin al-Hadramī, sebagai imam para muhaddits dan Nawhu di Maghrib. Dari beliau ini Ibn Khaldūn “mengambil” hadits, mustalah al-hadīts (ilmu klasifiksi hadits), sīrah nabawiyah, dan ilmu-ilmu bahasa. Dan kedua, Abū ‘Abd Allāh ibn Ibrāhīm al-Ābilī, yang dikenal dengan syekh ilmu-ilmu rasional (al-‘ulūm al-‘aqliyyah) yang dikenal sebagai ilmu filsafat dan ilmu hikmah, meliputi logika (al-mantiq), metafisika, matematika, ilmu alam, ilmu falak, dan musik.[9]
Pada usianya yang ke-18 tahun, Ibn Khaldūn berhenti belajar karena disebabkan oleh dua hal: Pertama, wabah penyakit yang menyebar tahun 749 H. Wabah ini melanda sebagian besar dunia, timur dan barat. Wabah ini akhirnya berkeliling di negara-negara Islam: dari Samarqand hingga ke Maghrib. Lalu singgah ke Italia, Eropa dan Andalusia.[10] Kedua, banyaknya para ulama yang meninggalkan Tunisia dan pergi ke Maghrib tahun 750 H beserta Sultannya, Abū al-Hasan, penguasa negara Bani Maryan. Kedua peristiwa getir inilah yang menjadikan Ibn Khaldūn putus belajar.[11] Kondisi ini memaksanya harus bekerja di Maghrib dan Andalusia (751-776 H/1351-1374 M).[12]
Di masa-masa akhir hidupnya Ibn Khaldūn memiliki kecenderungan yang jelas untuk memilih kehidupan sufi – yang juga dipilih oleh sahabatnya, Lisān al-Dīn al-Khatīb, setelah keduanya sama-sama bergelut dengan kehidupan politik yang membuat keduanya menderit. Dan ia habiskan sisi hidupnya di Mesir dengan sibuk membaca, mengajar, menulis, beribadah, dan bergaul dengan para sufi. Ia menaruh penghormatan dan kekaguman yang besar kepada kaum sufi.[13]
Buah Pena Ibn Khaldūn
Ibn Khaldūn telah menulis berbagai buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan: Logika (al-mantiq) dan telah meringkas filsafat Ibn Rusyd; Fiqh, Matematika, dan sastra. Hanya saja, karya dalam bidang-bidang ini tidak sampai ke tangan ini. Beritanya hanya termaktub dalam kitab al-Ihātah fī Akhbār Gharnātah karya Lisān al-Dīn ibn al-Khatīb (1313 -1374 M).[14]
Perjalanan ilmiah Ibn Khaldūn seperti dijelaskan sebelumnya benar-benar luar biasa. Dan hasil dari wisata ilmiah itu dia tuliskan dalam bentuk buku yang diwariskan sampai hari ini (sejak 776-784 H/1374-1382 M). Diantara karya Ibn Khaldūn adalah Kitab al-Muqaddimah, sebagai pengantar buku sejarahnya yang amat terkenal, Kitāb al-‘Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Tārīkh al-‘Arab wa al-Barbar wa Man ‘Āsarahum min Dzawī al-Sya’n al-Akbr.[15]
Kitab al-‘Ibar sendiri ditulis sejak 776 s/d 780 H di Benteng Ibn Salāmah. Kitab ini kemudian diedit ulang oleh Ibn Khaldūn dan disempurnakan di Tunisia (780-784 H) untuk kemudian dihadiahkan kepada Sultan Abū al-‘Abbās. Sementara autobiografinya ditulis dengan judul al-Ta‘īrf bi Ibn Khaldūn wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan, yang ditulis oleh Ibn Khaldūn menjadi satu dengan Kitāb al-‘Ibar di jilid terakhir.[16] Dan buku Syifā’al-Sā’il li Tahdzīb al-Masā’il.
Konsep Pendidikan Ibn Khaldūn
Ibn Khaldūn merupakan salah satu tokoh penting dalam dunia pendidikan dalam penggalan sejarah peradaban Islam. Bahkan, ia dianggap sebagai pelopor pendidikan Islam paling berpengaruh.[17] Pergumulannya dengan dunia pendidikan telah menuntunnya pada satu kesimpulan bahwa pendidikan adalah urusan setiap personal.[18] Selain itu, sebagai sosiolog, Ibn Khaldūn melihat bahwa ilmu dan pengajaran merupakan dua fenomena sosial. Sehingga dia sampai menyatakan, أن العلم والتعليم طبيعي فى العمران البشرى (ilmu dan pengajaran/pendidikan merupakan dua fenomena yang ada dalam peradaban manusia).[19]
Bahkan, dengan memahami berbagai keadaan pemerintahan yang silih berganti dan mengadakan pendekatan kepada berbagai penguasa dan pejabat, Ibn Khaldūn menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu peroses untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkebudayaan serta masyarakat masa depan. Dari sini dapat diketahui bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi.[20] Pertanyaannya adalah: Bagaimana Ibn Khaldūn merumuskan konsep pendidikannya sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdisiplin tinggi itu? Berikut ini adalah ulasannya.
Konsep Ilmu
Menurut Ibn Khaldūn ilmu dan pengajaran atau pendidikan (al-ta‘līm) merupakan hal yang natural (tabī‘ī) di dalam peradaban manusia (al-‘umrān al-basyarī). Bahkan ilmu itu sendiri merupakan sikap berseni (al-tafannun) dalam memperoleh dan menguasainya. Dan ilmu harus dikuasai sampai melekat. Jika tidak, maka ilmu berarti belum dikuasai dengan baik dan benar. Karena penguasaan ilmu secara melekat tidak dapat disebut sebagai pemahaman dan kesadaran.[21] Dan perkembangan ilmu ini sejalan dengan berkembangnya satu peradaban. Dan jika suatu peradaban runtuh, secara perlahan cahaya ilmu pun akan meredup.[22]
Dan ilmu menurut Ibn Khaldūn yang beredar di kota-kota besar (metropolitan) dan ditekuni oleh manusia terbagi kepada dua jenis: (1) ilmu tabī‘ī (alam) dan (2) ilmu naqlī (syariat, agama). Yang pertama manusia dapat meraihnya lewat pemikirannya. Sementara yang kedua hanya dapat diambil (dipelajari) yang menurunkannya.
Jenis pertama disebut dengan ilmu-ilmu hikmah falsafi. Sementara yang kedua disebut ilmu-ilmu naqliyah, yang seluruhnya disandarkan kepada khabar (berita) dari yang membuatnya. Pada bagian keduanya itu akal manusia tidak dapat masuk, kecuali hanya menggali hal-hal yang cabang (al-furū‘) yang disarikan dari fondasi-fondasinya (al-usūl).[23] Dan sumber ilmu-ilmu naqliyah ini adalah Al-Quran dan Sunnah yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya.[24]
Yang masuk ke dalam kategori ilmu-ilmu naqliyah ini adalah: ilmu Tafsir, ilmu Qirā’āt, ilmu Hadits, ilmu Usūl al-Fiqh, ilmu Fiqh, ilmu Kalam, ilmu, ilmu bahasa (al-Lughah), ilmu Nahwu, ilmu al-Bayān, ilmu Sastra (al-Adab), ilmu al-Farā’id, ilmu Tasawuf, ilmu tafsir mimpi (ta‘bīr al-ru’yā) dan sebagainya. Semua ilmu naqliyah ini hanya ada di dalam agama Islam.[25]
Sementara ilmu-ilmu rasional (al-‘ulūm al-‘aqliyyah) tidak hanya dimiliki oleh satu agama. Ia ada dan dikembangkan dalam setiap agama. Ilmu ini dikenal dengan ilmu filsafat dan ilmu hikmah (‘ulūm al-falsafah wa al-hikmah) yang terbagi kepada empat kategori: (1) ilmu logika (al-Mantiq), (2) ilmu alam (al-‘ilm al-tabī‘ī), (3) ilmu metafisika (al-‘ilm al-ilāhī), dan (4) ilmu ukur, yang meliputi empat ilmu di bawahnya, yakni: (a) Engineering (‘ilm al-handasah), (b) ilmu Aritmatika, (c) ilmu Musik, dan (d) ilmu struktur (al-hai’ah). Dan bangsa yang paling menaruh perhatian besar kepada ilmu-ilmu ini adalah orang Persia dan Romawi.[26]
Dimasa kejayaan peradaban Islam ilmu-ilmu rasional ini kemudian dikembangkan oleh para ilmuan dan saintis Muslim, seperti: Abū Nasr al-Fārābī dan Abū ‘Alī ibn Sīnā di Timur, al-Qādī Abū al-Walīd ibn Rusyd, dan Abū Bakr ibn al-Sā’igh di Andalusia. Selain ada Jābir ibn Hayyān dan Maslamah ibn Ahmad al-Mujrītī dari Andalusia.[27]
Dari sana sejatinya Ibn Khaldūn ingin memberikan catatan penting bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. Bahwa ilmu sumbernya sama: Allah Swt. Maka istilah ilmu agama dan ilmu umum adalah istilah yang tidak tepat untuk digunakan. Selain terminologinya keliru, juga tidak memiliki dasar dalam konsepsi ilmu di dalam Islam. Yang ada adalah klasifikasi yang dibuat oleh Imam Abū Hāmid al-Ghazālī: ilmu fard ‘ain dan ilmu fard kifāyah.[28]
Konsep Pengajaran dan Pendidika
Berkenaan dengan masalah memperoleh ilmu, Ibn Khaldūn mencatat bahwa banyaknya karangan (buku) dan beragam terminologi yang digunakan dalam pengajaran merupakan penghambat dalam menuntut ilmu (al-tahsīl). Disamping banyak cara yang digunakan kemudian seorang murid harus menghadirkan (hafalan) dari itu semua. Kalau demikian, usia murid bisa habis hanya untuk mempelajari satu cabang ilmu.
Misalnya dalam Fiqh menurut madzhab Maliki: harus dimulai dengan kitab-kitab induk, kemudian dilanjutkan dengan berbagai buku syarh-nya seperti kitab Ibn Yūnus dan al-Lakhmī, Ibn Basyīr, begitu juga dengan kitab Ibn al-Hājib. Kemudian seorang murid juga diharuskan membedakan metode Al-Qairuwāniyah dari al-Qurtubiyyah, al-Baghdādiyyah, dan Mesir. Kalau semua harus dilakoni, maka umur sang murid keburu habis. Padahal baru satu madzhab yang dipelajari. Sekiranya seorang guru mengajari muridnya hanya pada masalah-masalah Fiqh, ini sepertinya lebih ringan.[29]
Maka dalam konsep pendidikan, Ibn Khaldūn mengusulkan satu konsep penting dalam mengajar, yaitu al-tadrīj (gradualitas): dilakukan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Misalnya, setiap cabang ilmu harus diajarkan terlebih dahulu adalah persoalan-persoalan yang ada di setiap babnya. Kemudian dijelaskan secara global, disamping seorang guru harus memperhatikan potensi nalar setiap murid sampai akhir dari suatu cabang ilmu.[30]
Ibn Khaldūn juga mengaskan bahwa seorang guru tidak boleh mengajarkan dua cabang ilmu kepada murid dalam satu waktu. Karena pasti ada satu cabang ilmu yang tidak akan dikuasainya dengan baik. Hal ini disebabkan terbelahnya konsentrasi: lebih mengutamakan yang satu dan melalaikan yang lainnya.[31]
Tentang ilmu apakah yang harus pertama kali diajarkan kepada anak oleh kedua orangtuanya, Ibn Khaldūn mengatakan bahwa Al-Qur’an lah jawabannya. Dan pengajaran Al-Qur’an merupakan syiar agama. Lebih dari itu, Al-Qur’an harus menjadi fondasi pengajaran yang di atasnya akan dibangun segala jenis ilmu yang dikuasai oleh sang anak.[32]
Oleh karena itu, kata Ibn Khaldūn, setiap bagian negara Islam menaruh perhatian yang dalam terhadap Al-Qur’an untuk diajarkan kepada anak-anak mereka. Meskipun caranya yang berbeda-beda, tapi Al-Qur’an benar-benar menjadi acuan dasar pendidikan. Misalnya, di Maghrib Al-Qur’an diajarkan secara khusus dan tidak dicampur-adukkan dengan pelajaran dan pengajaran apapun (seperti diselingi dengan Hadits, Fiqih, Syair, bahasa Arab, dan yang lainnya).[33]
Sementara penduduk Afrika lebih cenderung menyatukan pengajaran Al-Qur’an dengan Hadits. Hanya saja perhatian terhadap Al-Qur’an lebih dominan dibanding pengajaran ilmu-ilmu yang lain. Metode mereka ini lebih dekat kepada metode yang dilakono oleh penduduk Andalusia, karena sanad (rantai riwayat) mereka bersambung dengan para syaikh yang ada di Andalusia.
Di Timur (al-Masyriq) pengajaran Al-Qur’an dicampur dengan ilmu-ilmu lainnya. Karena mereka mengutamakan Al-Qur’an di masa muda dan tidak mencampur-adukkannya dengan ilmu lain, seperti ilmu cara menulus (al-khat). Karena teknik menulis (al-khat) memiliki aturan dan guru khusus.[34] Dan penduduk Afrika dan Maghrib cenderung mengajarkan Al-Qur’an.[35] Sementara penduduk Andalusia mendahulukan nyeni (al-tafannun) dalam mengajar dan lebih banyak meriwayatkan bait-bait syair dan mempelajari seluk-beluk bahasa Arab sejak dini. Oleh karena itu, mereka sangat minim dalam cabang ilmu yang lain karena jauh dari mengkaji Al-Qur’an dan Hadits yang berfungsi sebagai fondasi segala ilmu.[36]
Namun intinya, Al-Qur’an menjadi mata pelajaran inti di berbagai belahan dunia Islam. Inin menunjukkan metode pengajaran atau pendidikan ilmu yang benar. Karena anak didik harus terlebih dahulu dikenalkan Kitabullah, bukan yang lainnya. Karena pengajaran Al-Qur’an merupakan bentuk syiar agama Islam.
Tujuan Pendidikan
Rumusan Ibn Khaldūn mengenai tujuan pendidikan adalah untuk: (1) Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu, kemudian kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat; (2) Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya; dan (3) Memperoleh lapangan pekerjaan yang digunakan untuk memperoleh rezeki.
Dan ada beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidian, yaitu: (1) Pengaruh filsafat sosiologi, yang tidak bisa memisahkan antarmasyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat; (2) Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya; dan (3) Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgen dalam kehidupan individu.[37]
Jika ditelaah lebih dalam, tujuan pendidikan Ibn Khaldūn di atas dapat dilihat dalam tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan oleh Al-Attas, yaitu: to produce a good man and not a good citizen (untuk melahirkan seorang manusia yang baik dan bukan warga negara yang baik).[38] Karena pendidikan dalam Islam, menurut Al-Attas, tidak tepat jika hanya disebut tarbiyah, melainkan ta’dīb (proses penanaman adab: etika atau akhlak mulia)[39], baik secara individual maupun di tengah-tengah masyarakat.
Penutup
Tak dapat dipungkiri bahwa Ibn Khaldūn merupakan tokoh pendidikan klasik kesohor yang dimiliki oleh Islam. Pandangan dan konsepsinya mengenai pendidikan, khususnya pendidikan Islam, dapat kembali dihadirkan saat ini. Apalagi di tengah-tengah kondisi pendidikan saat ini yang sudah begitu sekular. Dimana ilmu tidak melahirkan amal, karena hanya sebatas makanan nalar (kognitif) dan membunuh sisi afektif anak didik. Usulan Ibn Khaldūn tentang pengajaran Al-Qur’an bagi anak didik penting mendapat perhatian khusus oleh setiap institusi pendidikan Islam. Kemudian disusul dengan ilmu-ilmu turunannya yang masuk dalam rumpun ‘ulūm naqliyyah-syar‘iyyah. Kemudian disempurnakan dengan ‘ulūm ‘aqliyyah. Dengan begitu pendidikan akan maju dan melahirkan a good man, seperti yang diimpikan oleh Al-Attas di atas. Wallāhu a‘lamu bi al-sawāb.
[1] Dr. Muhammad Fārūq al-Nabhān, al-Fikr al-Khaldūnī min Khilāl al-Muqaddimah (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-Risālah, cet. I, 1417 H/1998 M), hlm. 35. Lebih lanjut, lihat al-Fikr al-Khaldūnī, hlm. 35-37.
[2] Dr. Muhammad Fārūq al-Nabhān, al-Fikr al-Khaldūnī, hlm. 38.
[3] Dr. Muhammad Fārūq al-Nabhān, al-Fikr al-Khaldūnī, hlm. 69.
[4] Dr. Muhammad Fārūq al-Nabhān, al-Fikr al-Khaldūnī, hlm. 38.
[5] Ibn Khaldūn menulis autobiografinya dalam kitab Tārīkh Ibn Khaldūn di jilid yang terakhir. Dalam sebagian naskah disebutkan tambahan Wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan. Kitab Tārīkh Ibn Khaldūn dikenal dengan nama Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Tārīkh al-‘Arab wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sya’n al-Akbar. Selanjutnya kitab ini akan disingkat dengan Tārīkh Ibn Khaldūn. Dan kitab al-Ta‘rīf bi Ibn Khaldūn akan ditulis al-Ta‘rīf.
[6] Lihat, Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn, editor: Prof. Khalīl Syahādah dan review: Dr. Suhail Zakkār (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1421 H/2001 M), VII: 503. Lihat juga, Ibn Khaldūn, al-Ta‘rīf bi Ibn Khaldūn wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan (Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979), hlm. 3.
[7] Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn, VII: 503. Lihat juga, Ibn Khaldūn, al-Ta‘rīf, hlm. 4. Menurut Abū Muhammad ibn Hazm al-Andalusī dalam kitab al-Jamharah, nama lengkapnya adalah: Wā’il ibn Hujr ibn Sa‘īd ibn Masrūq ibn Wā’il ibn al-Nu‘mān ibn Rabī‘ah ibn al-Hārits ibn ‘Auf ibn Sa‘d ibn ‘Auf ibn ‘Adī ibn Mālik ibn Syurhabīl ibn al-Hārits ibn Mālik ibn Murrah ibn Himyarī ibn Zaid ibn al-Hadramī ibn ‘Amr ibn ‘Abd Allāh ibn Hānī ibn ‘Auf ibn Jursyum ibn ‘Abd Syams ibn Zaid ibn Lu’ay ibn Syabt ibn Qudāmah ibn A‘jab ibn Mālik ibn Lu’ay ibn Qahtān. Anaknya adalah ‘Alqamah ibn Wā’il dan ‘Abd al-Jabbār ibn ‘Alqamah ibn Wā’il. Lihat, Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn, VII: 503-504. Lihat juga, Ibn Khaldūn, al-Ta‘rīf, hlm. 4.
[8] Lihat, Dr. ‘Alī ‘Abd al-Wāhid Wāfī,‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn: Hayātuhu wa Ātsāruhu wa Mazhāhir ‘Abqariyyatihi (al-Fajjālah-Mesir: Maktabah Misr, ttp), hlm. 12.
[9] Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldnū, VII: 511-514. Lihat juga, Ibn Khaldūn, al-Ta‘rīf, hlm. 17-23.
[10] ‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn, hlm. 37.
[11] ‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn, hlm. 38.
[12]‘Abd al-Rahmān ibn Khaldūn, hlm. 40-76 [diringkas].
[13] Prof. Dr. Said Ismail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, Terj. Muhammad Zaenal Arifin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. I, 2010), hlm. 82-83.
[14] Tāhā Husain, Falsafah Ibn Khaldūn al-Ijtimā‘iyyah: Tahlīl wa Naqd, Terj. Muhammad ‘Abd Allāh ‘Anān (Mesir: Matba‘ah al-I‘timād, cet. I, 1343 H/1925 M), hlm. 26. Lihat juga, Tāhā Husain, Falsafah Ibn Khaldūn al-Ijtimā‘iyyah: Tahlīl wa Naqd, Terj. Muhammad ‘Abd Allāh ‘Anān (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2006), hlm. 33.
[15] Buku ini ditulis terkadang dengan judul Kitāb al-‘Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Ayyām al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Āsarahum min Dzawī al-Sultān al-Akbar.
[16] Buku ini kemudian diterbitkan sendiri dengan judul al-Ta‘rīf bi Ibn Khaldūn wa Rihlatuh Gharban wa Syarqan (Kairo: Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979 M).
[17] Lebih detail, lihat Prof. Dr. Said Ismail Ali, Pelopor Pendidikan Islam, Paling Berpengaruh, Terj. Muhammad Zaenal Arifin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. I, 2010).
[18] Prof. Dr. Said Ismail Ali, Pelopor Pendidikan Islam, hlm. 55.
[19] Ibn Khaldūn, Muqaddiman Ibn Khaldūn (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. IX, 1427 H/2006 M), hlm. 341. Selanjutnya, buku ini akan ditulis al-Muqaddimah.
[20] Marasudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun: Suatu Analisa Fenomenologi (Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar (Yogyakarta), cet. I, 1999), hlm.35-36.
[21] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 341-242.
[22] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 344-345.
[23] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 345.
[24] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 345.
[25] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 346. Ulasan secara detail dan mendalam untuk setiap cabang ilmu tersebut di atas, lihat Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 347-392.
[26] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 392, 393.
[27] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 394. Ulasan mengenai ilmu bilangan, ilmu hitung, Aljabar, kedokteran, pertanian, ilmu sihir dan jimat, kimia, dsb, lihat Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 395-454.
[28] Lebih detail, lihat Imam al-Ghazālī, Ihyā’‘Ulūm al-Dīn, Jilid I (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1428-1429 H/2008 M). Lihat juga, Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur-Malaysia: Institute for Policy Research, 1992), hlm. 181-219.
[29] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 454.
[30] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 458.
[31] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 459.
[32] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 461.
[33] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 462.
[34] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 462.
[35] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 462.
[36] Ibn Khaldūn, al-Muqaddimah, hlm. 463.
[37] Lihat, Marasudin Siregar, Konsepsi Pendikan Ibnu Khaldun, hlm. 41-42.
[38] Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), hlm. ix. Lihat juga, Al-Attas, “Introduction”, dalam Al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), hlm. 1-15. Lihat juga, Al-Attas, “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”, dalam Al-Attas (ed.), Aims and Objective of Islamic Education, hlm. 35-37.
[39] Al-Attas, The Concept of Education of Islam, hlm. 12-38.