Mengenal Syekh Al Buthi, Sang Al Ghazali Kecil Dari Syam
PADA masa-masa awal di Syiria, kerisauan hati sering bergelanyut. Rasanya, saya tidak pantas belajar di Timur Tengah. Baru setelah mendengar khutbah Jumat, “Fafirruu ilallah…” (Berlarilah menuju jalan/ridha Allah) kemantapan telah datang dan menyingkap awan keragu-raguan dalam hati. Ucapan ini keluar dari seorang khatib yang memiliki kekuatan dalam berbicara, di kemudian hari, saya baru tahu bahwa beliau adalah Syaikh Prof. Dr. Muhammad Sa’id ibnu Mula Ramadhan al-Buthi.
***
Sosok Jenius
Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi dikenal sebagai sosok berintelektual tinggi dan pandai memposisikan diri. Jika sedang menyampaikan sebuah ilmu –baik dalam forum stadium general atau di hadapan mahasiswa dan kaum cendekiawan- tampak jelas kalau beliau mempunyai wawasan yang menyamudera. Jika sedang mengurai sebuah permasalahan berikut problem solvingnya seolah untaian kalam fasih begitu mudah mengalir hingga banyak kalangan yang menyebut dengan mutsaqqaf (kaya dengan wawasan keilmuan).
Namun, sikap berbeda akan beliau perlihatkan ketika memberikan pengajian di beberapa masjid atau halaqah di Syiria, beliau tampak sebagai ahli sufi. Mengapa metode ini dilakukan? Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi mengatakan bahwa: “As-shufi ibnu waqt”, seorang sufi sejati adalah ia yang bisa menyesuaikan diri sesuai situasi dan kondisi. Menyampaikan sebuah ilmu haruslah sesuai dengan situasi dan objek penyampaian agar ilmu itu mudah dicerna.
Dengan kata lain, jika kita berhadapan dengan kaum cerdik-cendekiawan maka sebisalah berbicara dengan bahasa mereka, jika yang kita hadapi adalah orang awam maka bicaralah dengan kadar kemampuannya. Pada intinya setiap ilmu yang kita sampaikan harus bersumber dari al-Qur’an, adapun cara mengemasnya harus disesuaikan, melihat siapa yang dihadapi. Inilah implementasi sabda Rasulullah SAW, zayyin al-qur’an bi aswaatikum, hiasilah al-Qur’an dengan suaramu. Al-Qur’an akan terasa indah jika yang mendengar itu paham akan esensi yang ada di dalamnya.
Beliau punya pandangan bahwa manusia punya‘atifah dan ‘aqlu. ‘atifah adalah perasaan atau ruh sedangkan ‘aqlu adalah syariat. Sehingga dikatakan ad-diin al-aqlu, agama adalah akal, tidak ada istilah ad-diin al-qalb. Tapi al-ilm an-nuur yuqdzafu fi al-qalbi, ilmu adalah cahaya yang ditaruh dalam hati.
Oleh ulama sekarang sering diungkapkan bahwa syariat itu adalah pikiran sedangkan thariqat itu hati, sehingga orang bisa mengambil jalan(thariqat) dalam hal ini ruh jika akalnya sudah ada. Atau dalam bahasa lain, orang boleh mengikuti satu thariqat bila sudah paham benar akan syariat, ia memahami tata cara beribadah seperti syarat rukunnya salat, dll. Bagaimana nantinya jika seseorang mengikuti satu thariqatnamun syarat rukunnya salat saja belum ia kuasai, itulah nafsu menurut pandangan Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi.
Menutup Rapat-rapat Amalan Harian
Dalam setiap masa manusia harus bisa menghambakan diri di hadapan Sang Pencipta karena pada dasarnya manusia tercipta adalah untuk beribadah kepadaNya. Untuk menjaga hubungan sebagai seorang hamba kepada Penciptanya, Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi –dalam peribadatannya- selalu menunjukkan sikap rendah diri. Di setiap gerak langkah, baik berangkat menuju masjid untuk berjamaah, mengajar di kampus atau mengisi halaqah-halaqah, mulut Syaikh Sa’id tak henti-hentinya bergeming membaca istighfar, tasbih, tahmid dan kalam-kalam mahmudah lain dengan memutar tasbih yang beliau masukkan ke dalam saku. Sekali lagi (memegang tasbih dalam saku) ini dilakukan karena tak ingin amalan-amalan Syaikh Sa’id dilihat oleh orang lain.
Menguraikan siapa sebenarnya Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi adalah perkara yang sulit, karena beliau adalah pribadi yang tertutup. Semua hal yang berkaitan dengan amal ibadah juga sisi kepribadiannya tak ingin diketahui oleh orang lain. Adaikan beliau pernah bercerita tentang kepribadian, tak lain itu karena terpaksa. Dengan sikap seperti ini, beliau tak ingin orang lain menghormati karena kedalaman ilmu atau keluhuran nasab beliau.
Keturunan Bangsa Kurdi
Dalam kitab yang ditulis oleh Sa’id Ramadhan al-Buthi yang berjudul Hadza Walidi, disebutkan bahwa beliau lahir di Beliau lahir di Buthan (Turki) pada tahun 1929 M/ 1347 H, beliau lahir dari sebuah keluarga religius. Ayah beliau adalah Syaikh Mula Ramadhan al-Buthi, seorang ulama besar di Turki, ahli Thariqah an-Naqsyabandiyah.
Beliau adalah keturunan kaum Kurdi yang notabenenya adalah keturuan nabi Syueib. Kaum ini terkenal dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata. Kehidupan Kaum Kurdi sendiri berpencar-pencar di pelabagai daerah karena memang tidak mempunyai Negara sendiri. Ayahanda, Syaikh Mula adalah sosok yang sangat mengagumi dan menghormati para ulama meski beliau sendiri adalah seorang ulama besar. Diceritakan bahwa dulu Syaikh Mula suka mengisi atau menyediakan kebutuhan air untuk para ulama dan masyarakat Buthan. Berkat khidmah inilah, sang putra, Syaikh Sa’id kelak menjadi seorang ulama besar.
Dalam mendidik, Syaikh Mula selalu memberikan contoh akhlak dan tuntunan Rasulullah kepada keluarga. Diceritakan, Syaikh Mula pernah dibuat mengangis ketika sang anak (Syaikh Sa’id) memakaikan kaos kaki kepada beliau karena memulainya dari kaki kiri. “Ya Abati… kenapa engkau menangis?” Syaikh Mula berkata: “Wahai anakku apakah engkau tidak tahu kalau Rasulullah senang memulai sesuatu dengan anggota yang kanan?”.
Begitulah didikan Syaikh Mula kepada anaknya. Beliau ingin anak dan keturunannya kelak tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak seperti Sang Nabi, Muhammad SAW.
Hijrah dan Belajar ke Negeri Syam
Setelah terjadi kudeta yang dilakukan oleh Musthafa Kemal Attaturk, Negara Turki mengalami masa-masa pergolakan yang luar biasa. Beberapa kebijakan semena-mena dari Kemal Attaturk menyulut berbagai berbagai perlawanan dari kalangan ulama. Perempuan tak lagi diperkenankan memakai kerudung, adzan boleh berkumandang tapi dilarang memakai bahasa Arab dan lain sebagainya.
Situasi pelik ini mendorong Syaikh Mula untuk mengajak semua keluarga berhijrah ke Syiria. Dalam perjalanan hijrahnya, di perbatan Syiria dan Turki, Syaikh Mula sering bertemu sekelompok orang yang mengatakan bahwa Syiria juga termasuk daerah yang rawan nan menakutkan. Kalimat-kalimat penakut tersebut tak menyurutkan niat dan kemantaban Syaikh Mula untuk berhijrah. Beliau punya keyakinan, jikalau seseorang berhijrah karena (ingin menjalankan syariat) Allah, maka semua jalan akan dimudahkan, hingga pada nantinya ia akan mengecap nikmatnya sebuah kehidupan.
Awal mula di Negara Syiria, keluarga Syaikh Mula menetap di daerah Jabal Qaash, daerah yang dikenal sebagai tempat 40 waliyullah, sebagaimana sabada Rasulullah SAW: Al-abdaal fi asy-Syaam, semua Wali Abdal berada di Syam, mereka berjumalah 40 wali dan kesemuanya berada di Jabal Qaash. Untuk mencukupi nafkah keluarga, Syaikh Mula berjualan kitab hingga sang putra, Syaikh Sa’id tumbuh besar.
Kemudian Syaikh Sa’id dipondokkan ke Syaikh Hasan Habannakeh. Beliau adalah pakar tafsir, termasuk guru tafsir dan musnid dari Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliky. Syaikh Hasan Habannakeh sendiri adalah ulama keturunan keluarga berilmu. Beliau punya saudara bernama Syaikh Shadiq yang juga terkenal kealimannya, putra sendiri yang bernama Syaikh Abdurrahman Habannankeh pun dikenal dengan keluasan ilmunya. Saat menimba ilmu di sana, Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi mendapat pengajaran secara privat dari seorang guru bernama Syaikh Musthafa Khin, pengarang berbagai kitab yang diaji oleh beberapa pelajar di Jawa, Indonesia seperti kitab At-Tahdzib fi Adillati at-Taqrib dan Al-Waafi fi Syarhi Arbain Nawawy.
Sekitar umur 6 atau 7 tahun, sebenarnya Syaikh Sa’id ingin menghafal al-Qur’an. Namun orang tua tak merestuinya, karena khawatir satu saat anaknya akan lupa dengan hafalannya yang berujung pada dosa besar. Meski demikian, Syaikh Mula menuntut putranya agar selalu ajekmembaca al-Qur’an melebihi orang yang hafidz al-Qur’an. Karena tingkat kecerdasan yang luar biasa, saat berumur 12 tahun, Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi sudah hafal kitab Juman, Zubad, Nihayah at-Tadhrib (kitab Taqrib yang di kalam nadhamkan oleh Syaikh ‘Amrithi, dan jamak dikaji di daerah Syiria).
Menikah di Usia Muda
Dalam satu riwayat hadis disebutkan:
“Barang siapa dikarunia seorang anak maka namailah dengan nama yang indah. Dan ketika sudah baligh maka nikahkanlah ia, jika tidak maka dosanya akan kembali kepada orang tua.”
Hadis tersebut digunakan oleh Syaikh Mula sebagai penguat niat untuk menikahkan anaknya tercinta, meski waktu itu Syaikh Sa’id masih berumur 18 tahun, angka yang masih dikatakan terlalu dini bagi seorang laki-laki untuk menikah. Meski hadis yang diriwayatkan Al- Khudri di atas terklasifikasi sebagai hadis Dla’if namun bisa dipegang sebagai acuan hukum, dan tidak untuk diseberluaskan.
Kemuadian Syaikh Sa’id benar-benar menikah. Oleh Ayahanda, Syaikh Sa’id dinikahkan dengan adik dari istri kedua Syaikh Mula (Syaikh Mula beristri lagi setelah istri pertama meninggal). Dalam hal pendamping hidup, Syaikh Sa’id tak pernah memandang fisik sebagai pilihan utama, karena yang terpenting adalah wanita itu memiliki kekuatan agama.
Mungkin banyak -termasuk saya- yang beranggapan kalau Syaikh Sa’id orang yang sering keluar rumah melihat padatnya jadwal kegiatan beliau. Anggapan itu ternyata tak terbukti karena ternyata sosok kepala keluarga yang selalu setia menemani keluarga setiap saat kecuali kalau sedang berjamaah, mengajar atau berdakwah ke luar negeri.
Dalam hal pendidikan keluarga, Syaikh Sa’id tak ubahnya seperti Ayahanda (Syaikh Mula) yang selalu mengedepankan keteladanan Rasulullah. Beliau bukan tipikal orang yang selalu menggantungkan kehidupan orang lain, kebutuhan sandang, pangan maupun papan hanya ala kadarnya saja. Syaikh Sa’id juga tak ingin merepotkan orang lain, sebagai contoh setiap berpergian beliau akan mengajak cucun-cucunya secara bergiliran. Para cucu itu yang biasa membawakan sandal karena jangan sampai ada orang lain yang membawakannya. Bagi Syaikh Sa’id, cucu atau anak ibarat badan, ia harus selalu didoktrin agar menjadi manusia yang mandiri, tak menggantungkan uluran tangan orang lain.
Ulama’ yang Rendah Hati
Pasca menikah, semangat Syaikh Sa’id dalam belajar tak lantas luntur. Rasa haus akan ilmu agama beliau lampiaskan menuju Universitas al-Azhar untuk belajar di sana sampai mendapat gelar doktor. Setelah beberapa tahun di al-Azhar, Syaikh Sa’id kembali ke Syiria dan mengajar di Jami’ah Dimisyqa (Universitas Damaskus, Syiria) hingga menjabat sebagai ‘amid (Dekan). Tak berselang lama, beliau di pecat dari jabatan dekan. Ijazah aliyah beliau dianggap tidak sah karena hanya didapat dari lembaga non formal yang diampu oleh Syaikh Hasan Habannakeh.
Perjuangan belum sampai pada titik nadir, Syaikh Sa’id tak mau menyerah begitu saja dalam menyerukan Islam lewat pendidikan formal. Di masa vakum dalam mengajar di kampus, Syaikh Sa’id kemudian mengikuti ujian paket aliyah (di Indonesia setara dengan SMA) sebagai persyaratan untuk kembali mengajar di Universitas Damaskus.
Satu langkah yang –mungkin bagi orang biasa- terasa berat karena harus menangung malu. Bagi Syaikh Sa’id, seseorang yang berada di jalan Allah pasti akan dimudahkan olehNya selama masih ada kesungguhan. Syaikh Sa’id berambisi untuk menyerukan Islam kepada semua elemen masyarakat, baik itu orang-orang kuno atau terbelakang lewat pengajian di beberapa masjid dan halaqah-halaqah yang dibinanya, juga kepada kaum terpelajar lewat pendidikan formal. Akhirnya usaha Syaikh Sa’id untuk (kembali) mengajar di Universitas terkabulkan setelah mendapatkan ijazah aliyah melalui program kejar paket.
Menulis dengan Bahasa Hati
Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi adalah ulama yang sangat produktif. Banyak sekali karya-karya hasil goresan tangan beliau yang sudah disebar-luaskan dipelbagai belahan dunia. Dari beberapa karya beliau yang fenomenal adalah Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Kubra al-Yaqiniyyah al-Kauniyyat, Al-Mar’ah Baina Thughyan an-Nidham al-Gharbi wa Laa Thaif at-Tasyri’ al-Islami. Dan kitab terbaru yang lahir dari pemikiran beliau di antaranya Yughalithunaka(mengupas/menentang pemikiran Barat), danMin Sunanillah Fi ‘Ibaadihi yang membahas tentang perkara-perkara yang sudah jadi kebiasaan Allah di dunia.
Gaya bahasa dalam tulisan Syaikh Sa’id sangat lugas dan menarik. Syaikh Sa’id tidak akan menulis sesuatu yang sudah ada dan diperlukan sebelumnya. Sehingga semua yang beliau tulis adalah berdasar pada bahasa hati dan kejernihan pemikiran bukan menukil dari karya-karya lain (plagiat). Dari sinilah saya yakin kalau Syaikh Sa’id adalah seorang Mujtahid.
Banyaknya karya Syaikh Sa’id di semua fan ilmu menunjukkan betapa komplitnya keilmuan beliau. Jarang ditemui seorang ulama yang menguasai semua disiplin ilmu secara merata. Sebagai gambaran bila seseorang mahir di bidang Fikih, maka biasanya dalam bidang yang lain tidak begitu menonjol. Ada juga seseorang yang ahli di bidang tasawuf tapi penguasaan ilmu yang lain terkadang kurang, begitu seterusnya.
Syaikh Sa’id termasuk di antara (ulama) yang jarang itu. Keilmuan beliau mengingatkan dunia Islam kepada sang Hujjah al-Islam, Imam Ghazali yang memiliki kemampuan berkarya di setiap cabang ilmu. Imam Ghazali mempunyai kitab Wajiz, Wasith, dll di bidang Fikih, di bidang Ushul Fikih beliau punya kitab bernamaMustasyfa, sedang di bidang tasawuf beliau punya karya fenomenal, Ihya’ Ulumuddin, dan seterusnya. Kemampuan itu pula yang ada dalam diri Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan karya-karyanya yang mencapai puluhan buku/kitab dari berbagai disiplin ilmu terkecuali bila ilmu tersebut tidak memungkinkan adanya pembaharuan seperti Nahwu. Oleh karena itu, banyak kalangan mengatakan bahwa Syaikh Sa’id adalah titisan Imam Ghazali atau biasa disebut dengan laqab “Al-Ghazali as-Shaghir” (Imam Ghazali kecil)
Kekuatan dari Tawakkal
Tak ada doa-doa khusus ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah SWT. Hanya doa: “Nas’aluka Ya Allah bidlulli ‘ubudiyyatina laka” yang sering terucap dari bibir beliau. Kalimat tersebut merupakan wasilah tertinggi dalam berdoa kepada Allah. Karena dengan ucapan tersebut berarti seseorang memposisikan dirinya pada ketundukan yang paling tinggi disertai rasa mahabbah kepada Allah.
Ketika dalam majelis ilmu, Syaikh Sa’id juga tak banyak meminta kepada Allah. Beliau hanya meminta kepada Allah agar memberi pertolongan dan kekuatan di manapun beliau bertempat. Allahumma a’inna ala ma aqamtana fiih, (Ya Allah berilah aku pertolongan di manapun Engkau menempatkan hambaMu ini). Jika Engkau berkehendak menaruhku di majelis ilmu maka berilah kekuatan untuk mengajar. Jika Engkau jadikan aku ahli mengarang, maka berilah kekuatan untuk mengarang, dan lain sebagainya.
Doa itulah yang –mungkin- memberikan kekuatan luar biasa pada diri Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam menjalankan aktifitas sehari-hari sebagai pemegang pucuk pimpinan perkumpulan ulama Syam (Ra’is Rabithatu Ulama’ as-Syam), pengajar di Universitas Damaskus, pengisi majelis ta’lim dan halaqah di beberapat tempat di Damaskus. Lain dari itu, Syaikh Sa’id juga sering mengisi sebuah forum-forum internasional di beberapa Negara seperti Amerika, Perancis, Inggris. Andai saja kekuatan –dari Allah- itu tidak datang, mungkin saja seluruh ilmu yang dimiliki Syaikh Sa’id akan habis ludes, termakan mentah-mentah oleh para pemikir Barat.
Termasuk yang menjadi keistiqamahan Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi adalah berjamaah di Masjid al-Iman Damaskus meski rumah beliau berada di pucuk gunung. Selain itu beliau juga sering membaca Hizb Nawawi sebagai wirid pegangan semasa hidupnya. Tak ketinggalan pula, beliau selalu bershalawat di waktu sore hari Jumat. Perihal membaca shalawat ini, beliau sering mengutarakan hadis Rasulullah yang berbunyi: “Man shalla ‘alaiyya masaa’a yaum al-Jum’ah tsamaanina marrat ghafarallau dunuuba tsamanina sanah”, Barang siapa membaca shalawat kepadaku (Rasulullah) di saat sorenya hari Jum’at sebanyak 80 kali maka Allah akan mengapuni dosanya selama 80 tahun [Hadits Maqbul].
Menurut Syaikh Sa’id, sesorang yang hidup dalam bermasyarakat harus mempunyai wirid. Dengan wirid yang selalu diistiqamahkan, maka hidup seseorang akan ditata oleh Allah SWT.
Pemersatu Ulama Syam
Saya tidak setuju kalau Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi disebut pro pemerintah Bashar Assad. Polemik yang sedang menimpa Negara Syiria layaknya pergolakan politik yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno. Nama Soekarno ketika menjadi Presiden karena kekuatan yang dimiliknya waktu itu, sehingga Soekarno disebut sebagai Waliyyu al-amri aw dharuri bi asy-saukah. Kondisi itu pula yang terjadi di Syiria. Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi mendukung pemerintahan bukan karena sosok Bashar Assad, atau tergiur dengan gemerlap materi dunia, tapi beliau hanya ingin membantu atau dalam bahasa lain menyelamatkan pemerintah yang terindikasi ditunggangi kekuatan-kekuatan yang tidak baik.
Al-Qur’an menceritakan bagaimana Allah mengutus Musa dan Imran agar “mendekati” Fir’aun (yang jelas-jelas laknat). Ketika sudah berhasil mendekati Fir’aun maka berkatalah Musa dan Imran dengan halus kepadanya, siapa tahu ia akan lulut dan kembali ke jalan Tuhan. Dasar inilah yang diterapkan oleh Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi terhadap pemerintahan Bashar Assad. Kita tahu Bashar adalah penguasa Syiria yang mempunyai kekuatan luar biasa, tak mudah untuk mempengaruhi apalagi menurunkannya dari kursi presiden. Maka cara paling tepat adalah mendekatinya untuk kemudian –secara perlahan- mengajaknya kembali ke jalan yang benar.
Usaha yang dilakukan Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi terbilang berhasil. Jika dibanding penguasa sebelumnya, Hafedz Assad (ayah Bashar Assad), Bashar Assad lebih bisa mendengar perkataan para ulama. Banyak majelis tahfidz yang didirikan, semua masjid seantero Syiria ditanggung biaya listriknya oleh pihak pemerintah, meski ada beberapa kalangan yang mengklaim bahwa ini adalah usaha dari Syaikh Kaftaru.
Pemikiran para ulama memang berbeda apalagi jika menyangkut masalah politik karena tak semua ulama pandai dalam berpolitik. Inilah yang kemudian menyebabkan pandangan politik Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi bersebrangan dengan beberapa ulama yang lain di sana. Sekali lagi kontradiksi pemikiran Syaikh Sa’id dan beberapa ulama hanya pada ranah politik, bukan pada masalah syariat atau akidah.(mkf).
*KH. Rojih Ubab Maimoen
Adalah murid Syaikh Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, yang sekarang mengabdi di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang Jawa Tengah dan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.
Sumber: Majalah Langitan